PH terdakwa aksi antirasisme Deiyai sampaikan pledoi

Enam terdakwa meninggalkan ruang sidang PN Nabire. - Jubi/Abeth You
Enam terdakwa meninggalkan ruang sidang PN Nabire. – Jubi/Abeth You

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Nabire, Jubi – Persidangan yang dijalani enam terdakwa kasus aksi antirasisme Deiyai yang terjadi pada 28 Agustus 2019 lalu berlanjut. Pada Selasa (17/3/2020), sidang kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Nabire dengan agenda penyampaian nota pembelaan (pledoi) terhadap tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Read More

Enam terdakwa yang dituntut JPU satu tahun penjara dikurangi dengan masa tahanan ini, masing-masing Simon Petrus Ukago, Melianus Mote, Juven Pekei, Andreas Douw, Stefanus Goo, dan Alex Pakage. Keenam pemuda Deiyai ini diancam pidana Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 dan Pasal 212 KUHP.

Dalam sidang terbuka yang dipimpin Majelis Hakim Erenst Jannes Ulaen S.H. M.H., Penasehat Hukum (PH), Oktovainus Tabuni, menyampaikan pembelaan terhadap keenam kliennya tersebut.

Sesuai pledoi, Tabuni menuturkan pada prinsipnya keenam terdakwa adalah korban kekerasan polisi yang ditersangkakan oleh penyidik Kepolisian Resor (Polres) Paniai. Fakta hukumnya tercermin dalam kronologi demonstrasi damai yang dilakukan oleh Front Rakyat Anti-Rasisme pada 26 Agustus 2019 dan dilanjutkan 28 Agustus 2019, sesuai anjuran Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Deiyai. Fakta korban pada pihak aparat keamanan baik anggota TNI maupun anggota Polri, merupakan kejadian yang terjadi di luar pagar Kantor Bupati Kabupaten Deiyai, di mana terdakwa dan massa aksi antirasisme Deiyai lainnya berada dalam pagar Kantor Bupati Kabupaten Deiyai, yang jarak antara kantor bupati dan tempat kejadian kurang lebih sejauh 500 meter.

“Terlepas dari itu, pada saat kejadian tersebut terdakwa dan massa aksi antirasis yang berada dalam pagar Kantor Bupati Kabupaten Deiyai, sedang fokus menunggu pemenuhan janji Pemerintah Kabupaten Deiyai. Berdasarkan fakta di atas, sehingga sungguh sangat tidak masuk akal jika keenam terdakwa dituduh melakukan tindakan sebagaimana dalam surat dakwaan saudara JPU,” kata Tabuni.

Dengan demikian, kata dia, proses hukum terhadap para terdakwa wajib diperhatikan secara saksama berdasarkan fakta hukum, sebab jika hakim tunggal PN Nabire tidak memperhatikannya, maka proses hukum ini akan terjebak dalam skenario ‘kriminalisasi terhadap massa aksi antirasisme Deiyai’ yang sedang dilakukan oleh aparat Kepolisian Daerah Papua, dengan maksud untuk mematikan ‘gerakan antirasisme’ yang dilakukan oleh seluruh masyarakat Papua, pasca-tindakan rasisme terhadap mahasiswa Papua di kota studi Surabaya, pada 16 Agustus 2019 dan 17 Agustus 2019 lalu.

“Bahwa terdakwa Simon Petrus Ukago tidak pernah menggunakan anak panah menembak aparat kepolisian yang berada di sekitar kantor bupati pada 28 Agustus 2019. Saat terdakwa Andreas Douw melarikan diri hingga di depan Kantor Bappeda Kabupaten Deiyai, terdakwa terkena tembakan di bagian dada dan selanjutnya terdakwa tidak sadarkan diri selama satu hari satu malam. Terdakwa Juven Pekei bilang selama ini warga memegang anak panah tanpa izin ke pihak kepolisian, karena anak panah adalah bagian dari budaya masyarakat adat suku Mee, dan saksi mengatakan terdakwa dan masa aksi dalam tali komando adalah korban,” kata Tabuni, sesuai yang tertulis dalam pledoi.

“Terdakwa Melianus Mote, setelah Bupati Deiyai tiba di kantor bupati, beberapa menit kemudian terlihat anggota keamanan menembakkan gas air mata. Karena mata terdakwa terasa pedis, sehingga terdakwa tiarap ke lantai dan anak panah lepas dari tangan terdakwa. Terdakwa tidak pernah menggunakan anak panah untuk menembak aparat kepolisian yang berada di sekitar kantor bupati pada 28 Agustus 2019. Terdakwa Steven Goo, saat melarikan diri hingga di depan Kantor Bappeda Kabupaten Deiyai, terkena tembakan di bagian dada. Terdakwa Alex Pakage tidak pernah menggunakan anak panah untuk menembak aparat kepolisian yang berada di sekitar kantor bupati pada 28 Agustus 2019, dan saat mengikuti aksi menggunakan pakaian adat dan membawa anak panah,” lanjutnya.

Pernyataan tersebut, kata Tabuni, diperkuat dengan keterangan saksi Yos Iyai, Petrus Badokapa selaku Ketua DPRD Deiyai, dan Alfret Pakage mantan anggota DPRD Deiyai, yang menyebutkan bahwa saksi mengetahui anggota polisi menembakkan gas air mata dan ada korban dari masyarakat sipil yang berjatuhan di halaman Kantor Bupati Deiyai.

“Fakta tuduhan mengada-ada terlihat juga melalui tindakan saudara JPU menghadirkan saksi Habelino Sawaki, saksi Zukarnaen Zainal Sommeng, saksi Melkyanus Sroyer di muka persidangan dan memberikan keterangan. Padahal ketiga saksi tidak ada dalam berkas perkara para terdakwa. Hal ini semakin menguatkan fakta tuduhan kepada enam terdakwa, merupakan tindakan yang mengada-ada yang dilakukan saudara Jaksa Penuntut Umum,” katanya.

PH para terdakwa meyakini, mempercayai, dan menyimpulkan bahwa berdasarkan alat-alat bukti yang sah, berupa keterangan saksi, keterangan ahli, dan keterangan terdakwa, keenam terdakwa tidak terbukti bersalah melakukan perbuatan-perbuatan yang didakwakan dan dituntutkan.

“Untuk itu menyatakan enam terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan tidak melakukan tindak pidana sebagaimana isebutkan dalam dakwaan JPU. Menyatakan keenam terdakwa bebas dari segala dakwaan JPU,” tegasnya.

Pihaknya juga memerintahkan keenam terdakwa untuk direhabilitasi dan dikembalikan pada harkat dan martabatnya, mengembalikan barang bukti kepada keenam terdakwa, dan membebankan biaya perkara kepada negara.

“Atau apabila majelis hakim berpendapat lain, kami mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono),” ucapnya.

“Majelis hakim yang agung, persidangan ini adalah peristiwa yang kelak akan dicatat oleh sejarah. Kami, para penasihat hukum terdakwa, akan ditulis sejarah sebagai pembela orang baik. Jaksa Penuntut Umum akan ditulis pula oleh sejarah sebagai penuntut orang yang tidak bersalah. Sejarah telah memperlihatkan semua hal tentang kemungkaran, kekejaman, kebijaksanaan, kebaikan, serta keadilan di mana semua orang dapat bercermin. Dan kini tiba giliran majelis hakim yang akan menentukan arah sejarahnya sendiri. Hendak dikenang sebagai hakim yang baik, arif lagi bijaksana atau direkam sejarah sebagai hakim yang menghukum orang baik dan tidak bersalah,” sampainya.

Majelis Hakim Erenst Jannes Ulaen S.H. M.H mengatakan sidang putusan atas enam terdakwa akan dilaksanakan dalam waktu dekat.

“Sidang putusan lusa ya, hari Kamis (19/3/2020),” ucapnya. (*)

 

Editor: Kristianto Galuwo

Related posts

Leave a Reply