Pewarnaan kain tenun Bali gunakan abu vulkanik

Proses merajut kain tenun, pixabay.com

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Singaraja, Jubi – Tim akademisi Undiksha Singaraja, Bali, mengembangkan teknologi pewarnaan kain endek Buleleng menggunakan fiksator nanopasta. Teknologi fiksator nanopasta anorganik berwujud pasta dengan ukuran partikel nanometer yang terbuat dari campuran silika abu sekam padi, abu vulkanik Gunung Agung, serta tambahan bubuk terusi dan bubuk tunjung.

Read More

Teknologi itu diklaim berperan meningkatkan kekuatan ikatan antara molekul zat warna dengan molekul serat dari benang baik katun maupun sutra saat proses pencelupan. Hasilnya, warna yang terikat pada benang menjadi tidak mudah luntur.

“Nanopasta ini telah berhasil dikembangkan sejak 2019 meniru komposisi kimia dari lumpur Nunleu yang digunakan masyarakat NTT, lalu tahun ini dikembangkan dari lumpur abu vulkanik Gunung Agung ditambahkan nanosilika sekam padi untuk memperkuat serat sehingga tidak mudah putus saat benang ditenun nantinya,” kata Ketua Tim Undiksha, I Wayan Karyasa, Jumat (27/11/2020) pekan lalu.

Baca juga : Kain tenun buatan masyarakat adat Badui diminati pasar

Khawatir dijiplak, Dekranasda Bali minta motif songket dipatenkan

Pengrajin karawo dibekai ilmu desain

Pengembangan dan aplikasi teknologi itu terangkum dalam program berjudul ‘Membangkitkan Kerajinan Tenun Khas Buleleng Melalui Revitalisasi Teknologi Pewarnaan Menggunakan Fiksator Nanopasta Anorganik dan Penguatan Branding Industri Kreatif Ramah Lingkungan.

Program itu terpilih di antara program pemberdayaan masyarakat UKM Indonesia Bangkit Tahun 2020 di Kementerian Ristek Badan Riset dan Inovasi Nasional.

“Program ini dibuat setelah menemukan sejumlah persoalan yang membelit industri tenun endek di Buleleng,” kata Iwayan menambahkan.

Menurut Wayan, industri kreatif berupa tenun masih menjadi sektor unggulan Kabupaten Buleleng, namun akibat pandemi Covid-19, saat ini terbelit sejumlah masalah. Ia mencontohkan usaha pertenunan Artha Dharma di Desa Sinabun, Kecamatan Sawan, yang disebutnya terkendala bahan baku benang.

“Terutama benang sutera alam semakin mahal dan sulit diperoleh, namun di pasaran banyak beredar sutera sintetik dengan kualitas hasil tenunan yang kurang baik,” kata I Wayan menjelaskan.

Selain itu pewarnaan masih bergantung dengan warna sintetik. Selain harga warna sintetik dan bahan-bahan kimia pendukungnya semakin mahal. Belum lagi limbah pencelupan yang dihasilkan industri ini juga belum mampu terolah secara maksimal, “Sehingga berpotensi mencemari lingkungan,” katanya.

Tim Undiksha juga melakukan pendampingan dalam upaya membangun sistem manajemen usaha terpadu dengan manajemen pemasaran berbasis data digital, mengintensifkan promosi daring dan menguatkan branding produk tenun yang kembali ke alam dan ramah lingkungan. (*)

Editor : Edi Faisol

Related posts

Leave a Reply