Papua No.1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Salah seorang seniman Papua, Stephen Wally, menginisiasi petisi melawan apropriasi kultural pada PON XX tahun 2021 di Papua. Petisi di change.org tersebut tembus hingga ribuan pendukung.
“Petisi ini dibuat agar menjadi saluran aspirasi rakyat Indonesia, terhadap apropriasi budaya dan standar kecantikan di Indonesia yang hanya dilekatkan pada budaya dominan,” katanya kepada jubi, melalui pesan singkatnya, Selasa (20/6/2021).
Wally mengatakan, jumlah pendukung petisi semakin bertambah artinya banyak orang yang peduli dengan petisi ini, tidak hanya orang Papua bahkan orang di luar Papua.
“Para penandatangan ini berasal dari berbagai kalangan, dari seluruh Indonesia. Kalau mau lihat grafiknya, ada di link ini change.org/ikonponpapua,” katanya.
Lanjutnya, sampai detik ini jumlah orang yang menandaitangan petisi sudah 12.300 dan masih terus bertambah jumlah.
“Kami tidak memaksa mereka. Namun mereka berinisiatif untuk mengikuti petisi yang sudah saya mulai dua pekan lalu,” katanya.
Wally berpendapat bahwa ikon berarti representasi dari sebuah identitas, karena konteksnya adalah PON XX di Papua maka penunjukan Nagita Slavina sebagai ikon PON XX di Papua telah menggeser dan menukar identitas manusia Papua, khususnya identitas perempuan Papua.
“Saya pikir identitas sebuah etnis tidak dapat dihilangkan dengan alasan publikasi atau alasan ekonomis lainnya. Sebab Ini adalah wajah kebhinekaan kita yang dapat dikelola di lokal,” katanya.
Menurutnya, untuk pemilihan perempuan Papua sebagai ikon PON diserahkan kembali kepada PB PON. Sebab banyak perempuan Papua yang berprestasi di level nasional, ASEAN, Sea Games, bahkan sekelas Olimpiade.
“Saya pikir panitia punya banyak catatan mengenai hal ini, untuk memilih perempuan-perempuan terbaik dari Tanah Papua,” katanya.
Ia mengatakan, alasan menolak apropriasi kultural sebab kebudayaan adalah segala sesuatu yang melekat pada sebuah kelompok etnis. “Misalnya, letak geografis, warna kulit, bahasa, nyanyian, dan lain sebagainya kita pahami dengan sebutan budaya. Jika ada upaya dari pihak dominan untuk mengganti budaya tersebut demi tujuan ekonomi, publikasi, maka ini adalah apropriasi budaya,” katanya.
Menurutnya dampak dari petisi yang dibuatnya, mendapatkan respons dari Ikatan Mahasiswa Papua di Jerman (instagram @pmp_de) lalu mereka menggelar meeting bersama dengan Ketua II PON XX Papua.
“Kami menggelar rapat pada Sabtu 12 Juni 2021, pukul 15 WIB, sebuah diskusi terbuka yang difasilitasi oleh ikatan Mahasiswa Papua di Jerman dan dihadiri Ari Kriting, Ikatan Mahasiswa Papua Universitas Indonesia, Ikatan Mahasiswa Papua Canada, Ikatan Mahasiswa Papua Amerika, Ikatan Mahasiswa Papua New Zealand, Ikatan Mahasiswa Papua Australi, Ikatan Mahasiswa Papua Oceania dan lainnya, bersama dengan Roy Letlora Ketua II PON XX Papua.” katanya.
Sementara itu, Ketua II PON XX Papua, Roy Letlora, berjanji untuk mengevaluasi penggunaan istilah ikon dan akan menghadirkan sosok perempuan Papua untuk mendampingi Boaz Solossa. (*)
Editor: Kristianto Galuwo