Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh: Butuma Vidorianus Tukiye Edowai
Gereja sebagai persekutuan dan institusi melaksanakan visi-misinya di dunia ini sesuai dengan rencana dan karya keselamatan Allah. Karya keselamatan Allah yang ditujukan kepada semua manusia. Gereja tentunya bergumul dengan semua persoalan menyangkut manusia. Keberadaan Gereja sebagai sebuah fenomena dilihat sebagai suatu gejala sosial. Hal ini pertama-tama berangkat dari kesadaran bahwa gereja merupakan suatu gejala yang tidak dapat dipisahkan dari hubungan dengan masyarakat dan berbagai gejala sosial yang ada (Renwarin, 2019:7).
Dalam menanggapi realitas sosial, tentu gereja wajib hukumnya mengangkat dan menjaga nilai-nilai kemanusiaan. Gereja sebagai agent of human security adalah suatu analisa gereja dengan perspektif sosiologis. Bagaimanakah perutusan gereja baik sebagai sebuah persekutuan dan sebagai institusi? Bagaimana gereja sebagai agent of human security? Sejauh mana gereja melihat masalah-masalah Papua dalam perspektif agent of security?
Aspek teologis perutusan gereja
Pada mulanya, manusia hidup dalam kenikmatan bersama Allah di taman Eden (Kej: 2). Allah menciptakan dan menjadikan manusia serupa dengan diri-Nya. Namun Allah tidak menjadikan manusia sebagai makhluk yang hanya secara sistematis mengikuti perintah-Nya. Allah memberikan manusia akal budi dan kehendak yang menjadikan manusia lebih berharga dari makhluk ciptaan lainnya. Namun dengan kebebasan dan kehendak yang diberikan Allah, manusia justru jatuh ke dalam dosa.
Peristiwa manusia jatuh ke dalam dosa bukanlah akhir dari segalanya. Peristiwa manusia jatuh ke dalam dosa merupakan awal dari sejarah keselamatan. Allah tidak meninggalkan manusia ciptaan-Nya, melainkan membantu mereka supaya selamat. Sejarah keselamatan manusia berawal dari misteri insiatif Allah.
Maka datanglah Putra. Ia diutus oleh Bapa, yang sebelum dunia dijadikan telah memilih kita dalam Dia, dan menentukan bahwa kita akan diangkat-Nya menjadi putra-putri-Nya. Untuk memenuhi kehendak Bapa, Yesus yang adalah Putra memulai Kerajaan Surga di dunia, dan mewahyukan rahasia-Nya kepada kita, serta dengan ketatan-Nya Ia melaksanakan penebusan kita. Semua orang dipanggil ke arah persatuan dengan Kristus. Dialah terang dunia. Kita berasal dari-Nya, hidup karena-Nya, menuju kepadaNya (LG. Art 3).
Ketika sudah selesai karya yang oleh Bapa dipercayakan kepada Putra untuk dilaksanakan di dunia, diutuslah Roh Kudus pada hari Pentakosta, untuk tiada hentinya menguduskan Gereja. Dengan demikian, umat beriman akan dapat mendekati Bapa melalui Kristus dalam satu Roh. Dengan demikian seluruh Gereja tampak sebagai “umat yang disatukan berdasarkan kesatuan Bapa dan Putra dan Roh Kudus”. (LG. Art 4).
Sekarang kita sebagai Gereja—sebagai anggota-anggota dengan Kristus sebagai kepala—dipanggil untuk melanjutkan misi karya kesalamatan Allah. Gereja bukan hanya menghayati nilai-nilai Injil dalam hidup rohani saja, melainkan juga mengamalkannya dalam tugas perutusannya di dunia. Gereja mengemban tugas menyiarkan iman serta keselamatan Kristus (Mrk 16:15, dsb). Oleh karena itu, perutusan Gereja terlaksana dalam karya kegiatannya. Demikianlah Gereja, mematuhi perintah Kristus dan digerakkan oleh rahmat dan cinta kasih Roh Kudus, hadir bagi semua orang dan bangsa dengan teladan hidup maupun pewartaannya, mengantarkan mereka kepada iman, kebebasan, dan damai Kristus, sehingga bagi mereka terbukalah jalan yang bebas dan teguh, untuk ikut serta sepenuhnya dalam misteri Kristus.
Dalam menjalankan tugas perutusannya tersebut, gereja dipanggil untuk memperhatikan sesama manusia, terutama mereka yang miskin dan menderita (Mrk 2:17). Kemiskinan dan penderitaan di sini bukan hanya dalam hal ekonomi, melainkan juga dalam segala aspek. Terutama yang menjadi perhatian Gereja bersama adalah mereka yang dimiskinkan dan dibuat menderita demi kepentingan dan keuntungan beberapa individu ataupun kelompok.
Gereja menghargai setiap pribadi manusia karena keluhuran martabat setiap manusia. Manusia diciptakan seturut dan segambar dengan Allah sang pencipta. Manusia mendapatkan Roh Kehidupan yang berasal dari-Nya. Roh itulah yang membuat manusia hidup, mampu berinteraksi, dan sangat luhurlah nilai seorang manusia. maka dari itu Gereja menolak dengan tegas penghilangan nyawa manusia. Bukan hanya penghilangan nyawa melainkan juga penganiyaan terhadap harkat dan martabat seorang manusia, karena manusia diciptakan seturut dan segambar dengan Allah, maka manusia pun menjadi bagian dari keluhuran Pencipta-Nya itu sendiri.
Aspek sosiologis Gereja
Dalam perutusannya, Gereja hadir di dalam dunia. Gereja hadir pula sebagai suatu realitas sosial. Gereja dari sudut pandang sosiologis dapat dilihat sebagai intitusi sosial. Gereja dilihat sebagi institusi sosial dalam kelompok yang mempunyai kepentingan hidup tertentu, mempunyai sistem-sistem relasi sosial dan norma-norma yang kompleks serta mempunyai fungsi sosial.
Gereja dengan realitasnya hadir di tengah kehidupan masyarakat yang majemuk. Dalam eklesiologi yang berpusat pada institusi, kekuasaan dan tugas gereja pada umumnya dibagi atas tiga bagian: mengajar, menguduskan, dan memimpin.
Gereja sebagai institusi sosial juga mempunyai hukum-hukum (aturan-aturan) yang mengatur dan membimbing setiap anggotanya. Hukum-hukum dan aturan-aturan Gereja sebagai institusi lahir dari ajaran-ajaran iman yang diwartakan. Hukum-hukum itu bersumber dari kitab suci sebagai buku iman dan ajaran-ajaran yang mengandung nilai-nilai injil.
Bentuk hukum-hukum atau aturan ini terwujud dalam dogma-dogma, KGK (Katekismus Gereja Katolik), KHK (Kitab Hukum Kanonik, Dokumen-dokumen Gerejawi). Hukum-hukum atau nilai-nilai injil inilah yang mengatur dan membimbing anggota-anggota untuk bertindak dalam tugas dan pelayanan mereka sebagai masyarakat sosial. Nilai-nilai injil ini senantiasa ditunjukkan dalam relasi sosial mereka. Hukum-hukum yang ada sebagai pelindung nilai-nilai injil.
Keberadaan Gereja di ruang sosial berinteraksi dengan gejala-gejala sosial lainnya dan saling mempengaruhi secara timbal-balik, misalnya kehidupan sosial, ekonomi, politik, budaya, hukum, hak-hak asasi manusia, lingkungan hidup, pendidikan, kesehatan, perempuan dan anak, dan sebagainya. Gereja mempunyai peran penting dalam menjaga hal-hal ini. Memang di satu sisi, Gereja sebagai institusi juga tidak tidak secara penuh terlibat menjawab masalah-masalah sosial, namun harus ada tindakan dari Gereja sebagai bagian dari suara kenabian dan wujud nyata misi perutusan karya keselamatan Allah bagi dunia.
Gereja sebagai sebuah institusi mempunyai fungsi yang berkaitan dengan kaagamaan dan kemasyarakatan. Di satu sisi, gereja membangun hidup keaagamannya. Dimana Gereja secara intern membangun kehidupan peribadatannya, dan memperhatikan kehidupan rohani umatnya.
Gereja dipanggil untuk “melihat” kehidupan sosial. Dengan melihat kenyataan sosial, gereja berupaya untuk melanyani masyarakat dengan caranya sendiri. Gereja menolong menetapkan tujuan peribadi, sebagai ktirik masyarakat, mengangkat standar sosial, menjaga nilai-nilai budaya, dan membantu mengintegrasikan nilai-nilai dalam kelompok (Renwarin, 2019:36).
Apa itu human security?
Bernardus Renwarin dalam “Pembangunan dan lingkungan perspektif Human Security” ” dalam Limen Tn.6.No.1, Oktober 2009 (43-67), menjelaskan poin penting mengenai human security. Konsep human security menurut Dan Henk diartikan sebagai keamanan teritorial dari agresi atau serangan luar atau sebagai perlindungan secara nasional atau sebagai keadaan aman atau bebas secara global dari tantangan perang nuklir. Konsep keamanan ini berhubungan dengan keamanan bangsa-bangsa lebih dari pada keamanan masyarakat. Bagi orang banyak keamanan merupakan keadaan dimana manusia diproteksi dari berbagai ancaman, seperti kelaparan, pengangguran, tindakan kriminal, konflik sosial, tekanan politik, dan kerusakan lingkungan.
Konsep baru human security menurut Mahbub ul Hag ialah aman secara individual dan bukan aman sebagai bangsa atau aman bagi masyarakat dan bukan aman secara teritorial. Konsep human security sebagai suatu refleksi atas hidup masyarakat, bukan dalam arti perlindungan bagi negara. Nilai dasar yang ingin dikembangkan ialah pengalaman rasa aman sebagai individu.
Human security tidak mempedulikan senjata tetapi kehidupan manusia dan martabatnya, yakni bagaimana masyarakat hidup dan merasa lega berada di dalam suatu masyarakat, bagaimana dengan kebebasan manusia mencoba melakukan berbagai pilihan, bagaimana memperoleh akses kehidupan yang baik, dan apakah mereka hidup dalam konflik atau dalam perdamaian (Renwarin: 2009).
Melihat masalah Papua
Masalah yang ada di Papua sangatlah kompleks. Karena terlalu banyaknya masalah dalam berbagai aspek kehidupan, Papua sebagai “surga” justru dapat dikatakan sebagai ladang konflik. Segala macam hal dapat dipolitisir demi kepentingan sekelompok orang. Masyarakat justru menjadi korban atas perbuatan orang-orang tertentu.
Beberapa permasalahan yang paling mendasar yang ada di Papua adalah pelanggaran HAM. Hampir setiap tahun terjadi kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada orang Papua. Salah satu kasus yang terjadi beberapa waktu lalu adalah diskriminasi rasial. Kasus itu terjadi di luar Papua, tapi berimbas dengan berbagai peristiwa demonstrasi di beberapa wilayah di Papua.
Masalahnya tidak hanya berhenti sampai di situ; banyak terjadi pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat keamanan terhadap orang Papua selama peristiwa demonstrasi dan mungkin masih terjadi hingga sekarang, tapi dibuat secara halus agar tidak kelihatan. Di tengah-tengah permasalahan yang terjadi, banyak orang yang justru bertanya dimanakah keberpihakan Gereja?
Rupanya Gereja menanggapi permasalahan itu dengan caranya sendiri. Misalnya kasus rasisme yang terjadi baru-baru ini. Gereja mengeluarkan surat gembala untuk menanggapi situasi dan kondisi tersebut. Uskup Jayapura mengeluarkan Seruan Pastoral Keuskupan Jayapura (Fransiskanpapua.org, 11 September 2019) dan di sisi lain Administrator Apostolik Keuskupan Agung Merauke, Mgr Mandagi MSC menyatakan bahwa rasisme terhadap warga Papua adalah biadab, sehingga polisi harus menangkap pelakunya (Katoliknews.com, 23 Agustus 2019). Gereja mengajak seluruh masyarakat (umat) untuk mengambil tindakan yang baik untuk menanggapi situasi; menahan diri; tidak mempercayai berita-berita hoaks, dan sebagainya, sebagaimana diserukan tokoh lintas agama (Republika.co.id, 5 September 2019). Namun apakah sebatas seruan itu yang dibutuhkan masyarakat saat harkat dan martabatnya dihina dan diinjak-injak?
Gereja sebagai agent of human security bagi masalah orang Papua
Melihat contoh peristiwa permasalahan di atas, apa yang harus dilakukan Gereja sebagai agent of human Security sebagai tanggapan atas tugas perutusannya? Jika ditinjau dari sejarah Gereja, pada awalnya suara kenabian berasal dari suatu permasalahan sosial. Seorang nabi diutus Allah untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam kehidupan orang Yahudi. Sampai akhirnya Ia mengutus Putra-Nya yang rela mati demi nasip umat manusia. Bahkan Roh Kudus hadir sebagai penolong Gereja dalam perkembangan mengarungi waktu.
Gereja hadir menjawab kebutuhan umat. Tugas pewartaan Gereja bukan hanya terbatas pada tanggung jawab intern Gereja melainkan juga pada tanggung jawab ekstern. Perkembangan gereja tidak terlepas dari kehidupan masyarakat (umat). Gereja hadir membantu umat untuk keluar dari permasalahan-permasalahannya. Gereja memberikan jalan keluar atas permasalahn umat dengan caranya sendiri.
Salah satu aspek yang saya lihat dalam gereja sebagai agent of human security sesuai dengan permasalah yang terjadi di Papua ialah mengenai Political Security, ada perlindungan atas hak-hak asasi manusia dari berbagai kekerasan. Gereja harus berbicara mengenai pelanggaran Hak Asasi yang terjadi bukan hanya dengan kata-kata melainkan juga dengan suatu tindakan, meskipun memang kata-kata itu juga merupakan suatu tindakan atau jawaban atas masalah yang terjadi.
Gereja sebagai institusi harus melindungi nilai-nilai kemanusiaan, karena dia adalah agent of human security. Keberadaan gereja sebagai institusi jangan berada atau mencari situasi aman yakni berada pada pihak tengah. Karena suara kenabian membutuhkan suatu keberpihakkan yang jelas. Dan keberpihakkan Gereja didasarkan pada mereka yang lemah, atau orang-orang kecil dan tertindas.
Dalam gereja dan perkembangannya di Tanah Papua, gereja hadir memberikan dampak-dampak perubahan baru bagi masyarakat di Papua. Dalam segala aspek kehidupan Gereja dengan karya dan pelayanan berusaha mengembangkan dan menjaga nilai-nilai kemanusiaan. Inilah letak posisi gereja sebagai agent of human security. Pada awalnya, dalam karya pelayanannya berusaha membangun pendidikan dan kesehatan bagi masyarakat di Papua.
Dalam bidang pendidikan. Gereja sebagai persekutuan maupun institusi melihat bahwa pendidikan merupakan hal yang paling penting dan mendasar bagi pertumbuhan masyarakat. Gereja dalam perjalanannya, membangun sekolah-sekolah bertujuan memberdayakan masyarakat. Gereja senantiasa mengajar ilmu-ilmu pengetahuan umum. Disamping itu melalui pendidikan juga, Gereja memberikan pengetahuan iman yang lebih mendalam tentang iman akan Allah.
Dalam bidang kesehatan, Gereja turut memelihara dan merawat masyarakat. Dengan adanya pelayanan kesehatan, gereja sebagai intitusi bekerja dalam bidang kemanusiaan. Motto “Salus Anima Suprema Lex” atau “keselamatan jiwa-jiwa adalah hukum yang terutama”, menjadi dasar gereja dalam melihat masyarakat bukan hanya pada umat atau anggota gereja melainkan kepada semua orang.
Gereja hadir sebagai agent of human security bagi manusia. Bentuk itu diambilnya sebagai bagian dari tugas perutusannya. Dasar ini berasal dari kepercayaan gereja bahwa karya keselamatan yang dilakukan Allah bukan hanya milik orang Katolik saja melainkan juga untuk semua manusia. Gereja harus hadir di tengah-tengah umat.
Gereja baik sebagai persekutuan maupun institusi harus ada sebagai agent of human security. Menjaga dan mengangkat serta menghargai martabat manusia. Gereja melanjutkan rencana dan karya Allah melalui tugas dan karya pelayananNya. Rencana dan karya keselamatan Allah bukan hanya ditujukkan bagi anggota gereja saja melainkan kepada semua manusia. Dan gereja, baik sebagai persekutuan dan institusi melihat hal ini sebagai suatu tugas karya keselamatan yang harus diwujudkan dalam dunia. (*)
Penulis adalah mahasiswa STFT Fajar Timur Abepura, Papua
Editor: Timo Marten