Papua No. 1 News Portal | Jubi ,
KEPALA Divisi Kampanye Sawit Watch, Maryo Saputra Sanuddin, mengatakan belum ada petani plasma atau yang diwajibkan 20 persen oleh pemerintah. Padahal itu yang seharusnya dibangun oleh perusahaan sawit.
“Pertanyannya kemana barang itu (plasma)? Apakah hanya habis di peraturan tanpa ada pengawasan serius dari pemeirntah, atau memang ada akal-akalan dari perusahaan untuk sengaja tidak dibangun?” kata Mario di Abepura, Kota Jayapura, Selasa, 6 November 2018, usai menggelar diskusi, yang dihadiri Dinas Perkebunan Papua, Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Papua, dan beberapa LSM yang konsen pada lingkungan dan masyarakat adat.
Soal plasma, lanjutnya, memang membutuhkan ketegasan. Maka soal Intruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2018 Terkait Penundaan dan Evaluasi Perizinan Kelapa Sawit Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit dan kaitan dengan RTRW, sejak awal pihaknya mengusulkan moratorium dan evaluasi secara keseluruhan terkait kelapa sawit.
“Dalam bahasa kami, ada audit kebun. Apakah benar dia membangun sesuai izin yang ada ataukah lebih luas,” ujarnya.
Ketika perusahaan membangun di luar izin, lanjutnya, ada potensi kehilangan pemasukan terhadap negara.
“Kita bisa katakan ada indikasi korupsi. Ini menjadi catatan penting juga di moratorium. Sehingga perbaikan tata kelola sawit bermanfaat betul bagi masyarakat,” katanya.
Hingga kini sekitar Rp 200 triliun pendapatan negara dari perkebunan sawit. Ini merupakan pendapatan terbesar selain sektor minyak dan gas bumi (migas).
Untuk meningkatkan pendapatan negara, pemerintah tidak perlu memperluas perkebunan kelapa sawit, tetapi meningkatkan produktivitas, dan melakukan identikasi dan tata kelola yang baik.
Sejak awal pihaknya mendukung pernyataan Presiden Jokowi tahun 2016 soal moratorium kelapa sawit dan tambang. Sejak moratorium ini dikeluarkan, pihaknya bahkan terus mengadvokasi dan melobi ke pemerintah untuk segera mengeluarkan Inpres tersebut.
Jika tidak dilakukan moratorium terhadap industri sawit di Indonesia, maka hutan di Indonesia bakal berubah menjadi hutan kelapa sawit—tidak ada lagi hutan primer dan hutan alam.
“Di data kami di seluruh Indonesia kurang lebih 20 juta hektare luas perkebunan sawit dan di Papua 1,8 juta hektare,” katanya.
Hutan sawit di Papua tersebar di Merauke, Boven Digoel, Kabupaten Jayapura, Keerom, Sarmi, Nabire, dan wilayah pegunungan.
“Itu yang menjadi keheranan kami, kenapa sampai ada kelapa sawit juga di wilayah pegunungan?”
Dirinya belum mengetahui alasan pemerintah daerah tidak membicarakan pendapatan ini ke pusat. Karena pajak yang didapat di daerah itu pajak bumi dan bangunan. Itu pun hanya beberapa persen saja.
Menurut dia, permasalahan di sektor perkebunan sawit di seluruh Indonesia sama, misalnya, konflik lahan dan proses transparansi perusahaan itu sendiri dan konflik plasma, dan pendapatan yang diterima pemilik lahan tidak sesuai luas lahan.
Kepala DPMPTSP Provinsi Papua, Jamal Tawarutubun, mengatakan sebelum memberikan izin usaha perkebunan, terlebih dahulu dilakukan izin prinsip, lalu izin pelepasan kawasan, AMDAL, dan penyelesaian dengan masyarakat adat.
“Kalau itu semua sudah beres baru keluar SK IUP. Berarti dari sisi teknis dan administrasi sudah beres,” kata Jamal.
Ia melanjutkan, jangan sampai ada kebun di dalam kawasan hutan. Di Boven Digoel, katanya, pihaknya mencabut izin setelah evaluasi dan cek di lapangan. Perusahaan tidak melakukan kewajiban sesuai perizinan, maka pihaknya mencabut izin perusahaan tersebut.
“Kita sudah melalui tahapan dari bawah,” katanya.
Menurut dia, soal perizinan, yang paling penting adalah masyarakat adat. Pihaknya menerbitkan izin bagi perusahaan jika masyarakat adat menyetujuinya.
“Pertama dia (perusahaan) harus ekspos dulu di tim Pemda Provinsi. Lokasinya sudah ada. dia harus bicara dengan masyarakat. Ketika masyarakat setuju, baru mulai urus izin lokasi ke bupati. Jika bupati izin lokasi, mulai izin prinsip ke provinsi,” katanya.
Izin perkebunan sawit selama 35 tahun. Pemerintah tidak mengintervensinya jika masyarakat dan pemilik dengan perusahaan sepakat memperpanjang operasinya.
Dia tak mengetahui persis luas lahan sawit di Papua. Namun, ia mengakui laus perkebunan sawit disatukan dengan perkebunan.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Papua, Aesh Rumbekwan, mengatakan moratorium sawit penting. Perbaikan tata kelola juga bukan hanya persoalan saat ini, tetapi juga persoalan masa lalu.
Menurutnya, banyak persoalan mendasar muncul sebagai akibat dari perkebunan sawit. Ketika sumber daya alam masyarakat hilang, maka ini menjadi dilema, karena pilihan terakhir adalah petani plasma.
“Sesungguhnya bagian dari kearifan masyarakat setempat dan itu yang terpaksa. Kemudian pemerintah pakai itu sebagai justifikasi bahwa ada kebutuhan tenaga yang bisa terserap,” kata Rumbekwan.
Ia melanjutkan, masyarakat memiliki kearifan lokal yang seharusnya dikembangkan pemeirntah. Kehadiran perusahaan dengan dalih menyerap tenaga kerja malah menambah banyak konflik, seperti, masalah lingkungan, pelanggaran HAM, dan persoalan lahan.
Maka dari itu, pihaknya berharap, melalui Inpres ini pemerintah membuka akses kepada mayarakat untuk mengelola kayu atau nonkayu demi kesejahteraan mereka. (*)