Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Ketua Badan Koordinasi Mahasiswa Papua atau BKMP se-Kalimantan, Tonny Wenda menyatakan cara aparatur negara memperlakukan orang Papua membuat orang Papua tidak percaya kepada hukum. Hal itu disampaikan Wenda dalam diskusi daring bertajuk “Dari Injak Kepala, Pelanggaran HAM, Revisi Undang-undang Otsus, Hanya Menggores Luka bagi Generasi Papua” yang diselenggarakan BKMP se-Kalimantan pada Senin (2/8/2021).
Wenda mengatakan beragam perlakuan aparatur negara kepada orang Papua membuat orang Papua tidak menganggap hukum di Indonesia berpihak kepada orang Papua. Pasalnya, perlakuan aparatur negara kepada orang Papua sering tidak manusiawi.
“Kami orang Papua mempunyai kekayaan alam, emas, tambang, nikel, [juga] tanah yang luas. [Akan tetapi] ketika kami membela hak-hak kami, kami dipandang bertolak belakang dengan hukum atau [dianggap] melawan hukum,” kata Wenda.
Wenda mengatakan aparatur negara Indonesia lebih sering menganggap orang Papua tidak taat hukum. Selain itu, orang Papua dipandang sebagai orang-orang terbelakang dan tertinggal.
Baca juga: JDP menduga insiden Merauke dilatarbelakangi prasangka rasial
“Tindakan dan pola pikir orang memandang [orang] Papua terbelakang. Padahal, tidak seperti apa yang dibayangkan orang luar, kami justru menjunjung tinggi hukum yang berlaku di Indonesia,” katanya.
Wenda mengatakan tindakan aparatur negara itu, dan pemahaman orang Papua yang merasa mereka berbeda ras dari mayoritas orang Indonesia, membuat orang Papua semakin tidak percaya hukum Indonesia.
“Orang non Papua melakukan kekerasan kepada orang Papua karena ras berbeda. Perbedaan ras itu akan memengaruhi cara pandang orang luar melihat Papua. Dan mereka sendiri yang membuat hukum [Indonesia seperti] tidak berlaku [di Papua]. Kekerasan terhadap orang Papua terus terjadi, dan bukan hal baru. [Itu terjadi] sejak tahun 1961 – 2021,” katanya.
Wenda mengatakan streotipe orang luar memandang orang Papua terbelakang, tukang miras, dan lain sebagainya membuat cara penanganan orang mabuk di Papua berbeda. “Kalau di luar, orang mabuk melakukan kesalahan, mereka selesaikan baik. Tapi, di Papua, kalau ada orang mabuk mereka dipukuli [hingga] babak belur, lalu dibawa ke polisi. Itu juga yang membuat orang Papua tidak percaya hukum,”katanya.
Wenda mengatakan orang Papua berulang kali mengalami ujaran dan tindakan rasial, termasuk kasus ujaran rasial yang dinyatakan orang berseragam TNI kepada para mahasiswa Papua di Asrama Mahasiswa Papua Kamasan III Surabaya pada 2019 lalu. “Hukum Indonesia menjamin semua orang sama. Kenyataanya tidak, kami selalu distigma [dengan sebutan] nama nama binatang [seperti] monyet dan lain sebagainya,” katanya.
Baca juga: Rasialisme terhadap orang Papua dilakukan aparat negara maupun warga
Wenda mengatakan negara juga membungkam ekspresi mahasiswa Papua yang berusaha menyampaikan apa yang salah di Papua. “Dalam undang-undang, [jaminan kebebasan berekspresi] sudah ada. [Tapi] ketika kami mau menyampaikan terhadap publik, selalu ada pembatasan. Di Jayapura, mahasiswa melakukan demo, tetapi dibubarkan. Aparat keamanan masuk kampus, membubarkan massa aksi. Itu pelanggaran, tetapi tidak pernah dilarang oleh pihak kampus. Itu juga membuat orang Papua tidak percaya kepada hukum NKRI,” katanya.
Eks Narapidana Politik Papua, Alexander Gobay mengatakan aparat keamanan terkesan lebih melindungi kepentingan penguasa ketimbang mengawal aspirasi orang papua. “Setiap kali aksi, orang Papua dibubarkan paksa oleh aparat kemanan. Hal itu juga bagian dari perlakuan rasial aparat kemanan terhadap orang asli Papua,” kata Gobay.
Ia mengatakan pemerintah harus bisa mendegarkan aspirasi mahasiwa. Ia minta pemerintah jangan melulu melihat berbagai aspirasi itu dengan kacamata politik semata. “Negara selalu melihat cara penyampain aspirasi orang Papua dengan sepihak. Padahal mahasiswa sebagai agen perubahan sedang mengawal aspirasi masyarakat, itu poin yang harus dilihat,” tegasnya. (*)
Editor: Aryo Wisanggeni G