Peringati tragedi Wamena berdarah, mahasiswa Jayawijaya ajukan sejumlah tuntutan

Aksi melawan lupa oleh Mahasiswa Wamena – Jubi/Dok Mahasiswa Wamena

Papua No. 1 News Portal | Jubi 

Nabire, Jubi – 17 tahun sudah tragedi kemanusiaan “Wamena Berdarah” berlalu, namun tidak pernah diproses dengan serius yang dilakukan oleh negara melalui penegak hukum. Pemerintah dinilai seperti  berupaya  melupakan kasus ini dan melanggengkan impunitas.

Read More

Demikian dinyatakan mahasiswa Jayawijaya, “Demi menuntut keadilan bagi korban Wamena Berdarah, kami dari mahasiswa Jayawijaya menolak lupa tragedi itu,” ujar Obianus Meaga, ketua asrama Jayawijaya via rilis diterima Jubi di Nabire, Senin (6/4/2020).

Terkait hal itu  , pihaknya melayangkan beberapa tuntutan kepada pemerintah sebagai berikut. Pertama, meminta kepada Presiden Joko Widodo, agar segera mengambil langkah nyata dan mendorong kasus Wamena berdarah pada tahun 1977, tahun 2000 dan tahun 2003 ke pengadilan HAM. Kedua, para elit lokal Jayawijaya berhenti (stop) dan jangan menjadikan pelanggaran HAM berat di Wamena sebagai objek kepentingan pribadi. Dan ketiga yakni menghentikan (stop) pembangunan
Mako Brimob di Wamena dan pos – pos militer yang di wacanakan oleh pemerintah pusat maupun Pemkab jayawijaya, sebelum penyelesaian proses hukum atas kasus itu.

“ Harus ada keadilan,” kata Meaga. Dikisahkan, pada tanggal 4 April 2003 pukul 01:00 WIT, di Jayawijaya
telah terjadi peristiwa kejahatan kemanusiaan “Wamena Berdarah”. Hari itu, masyarakat sipil Papua sedang mengadakan hari raya paskah.

Namun, masyarakat setempat dikejutkan dengan penyisiran terhadap 25 kampung di Wamena kota. Di antaranya kampong Napua, Okilik, Walesi, Ibele,Pyramid, Tiom- Kwiyawage. Dan beberapa kampung di sebelah Kwiyawage yaitu Luarem, Wupaga, Negeyagin, Geneya, Mume dan Timine.

Ini terjadi akibat pembobolan gudang senjata Kodim 1702 Wamena. Aparat keamanan merespons dengan mengerahkan aparat gabungan TNI dan Polri dengan titik sasaran 25 kampung selama kurang lebih tiga bulan.

Hal itu menyebabkan jatuhnya korban jiwa, penangkapan sewenang-wenang,   penyiksaan, pengungsian secara paksa dan kerugian non fisik lainnya.

“Kabupaten Jayawijaya dan Kota Wamena ini, sudah berulangkali menjadi tempat terjadinya peristiwa kekerasan oleh negara melalui kekuatan militer,” ujarnya.

Mahasiswa lainnya, Abner Holago, menambahkan, ada tiga peristiwa besar yang tak luput dari ingatan masyarakat penggunungan tengah Papua dari generasi kegenerasi. Meninggalkan bekas luka dan trauma. Yaitu, peristiwa 1977, peristiwa 6 oktober 2000 dan peristiwa Wamena berdarah 4 April 2003.

Pada Juli 2004, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KomnasHAM) telah mengeluarkan laporan penyelidikan Pro justicia atas dugaan adanya kejahatan kemanusiaan untuk kasus Wamena, 4 April 2003.

Dalam laporan tersebut, telah dilaporkan sembilan orang sipil dibunuh, 38 orang luka berat dan cacat. selain itu terjadi pemindanaan secara paksa terhadap penduduk di 25 kampung. Menyebabkan 42 orang meninggal dunia karena kelaparan, 15 orang korban perampasan kemerdekaan secara sewenang – wenang.

“Komnas HAM juga menemukan pemaksaan penanda tanganan surat pernyataan, serta perusakan fasilitas umum, (gereja, poliklinik, gedung sekolah yang mengakibatkan pengungsian penduduk secara paksa. Maka pertanyaannya dimana keadilan di negeri ini,” ujar Holago. (*)

Editor: Syam Terrajana

Related posts

Leave a Reply