Peringatan 1 Mei, kontroversi sejarah antara orang Papua dan pemerintah RI

Peringatan 1 Mei 1963, Kontroversi Sejarah Papua
Peringatan 1 Mei 1963 yang digelar mahasiswa Papua di Gorontalo. - Dok. Mahasiswa Papua Gorontalo

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Jayapura, Jubi – Ketua Ikatan Mahasiswa Papua atau Imapa Jakarta, Depok, Tangerang, Bekasi, Matius Wonda mengatakan peristiwa 1 Mei 1963 selalu menjadi kontroversi sejarah antara orang Papua dan pemerintah RI. Kontroversi sejarah itu menjadi salah satu akar persoalan konflik Papua.
Matius Wonda menyebut 1 Mei 1963 dipahami orang Papua sebagai peristiwa aneksasi Papua oleh pemerintah Indonesia. Sebaliknya, pemerintah Indonesia menyatakan 1 Mei 1963 adalah hari integrasi Papua menjadi bagian dari Indonesia.

“Tanggal 1 Mei bagi orang Papua adalah hari di mana negara Indonesia secara ilegal menganeksasi bangsa Papua ke dalam Republik Indoesia. Sementara, bagi kelompok nasional Jakarta, 1 Mei 1963 memiliki arti sebagai hari integrasi bergabungnya Papua ke dalam NKRI,” kata Wonda saat dihubungi Jubi melalui panggilan telepon, Sabtu (1/5/2021).

Read More

Wonda mengatakan 1 Mei 1963 memiliki makna yang berbeda bagi kaum kolonialis dan imperialis gobal. Peristiwa 1 Mei 1963 bagi mereka dipahami sebagai pelaksanaan Perjanjian New York 1962, di mana Amerika Serikat, Belanda, dan Indonesia membuat kompromi politik pada masa Perang Dingin.

Baca juga: Akademisi: Kepentingan bisnis AS dibalik dukungan integrasi Papua ke Indonesia

“Indonesia berkompromi dengan Amerika Serikat untuk merebut Tanah Papua sebagai penghasil emas. [Pemahaman sejarah 1 Mei 1963] itulah yang yang menjadi problem dan kontroversi berkenjangan di Tanah Papua,” katanya.

Wonda mengatakan kompromi politik antara Amerika Serikat, Indonesia, dan Belanda itu mengorbankan masyarakat sipil di Papua, karena 1 Mei 1963 menjadi awal rangkaian panjang kekerasan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua. Kekerasan dan pelanggaran HAM itu berlanjut hingga kini, antara lain dalam konflik bersenjata di Kabupaten Puncak, Papua, saat ini.

“Rakyat Papua yang merasakan tekanan politik, pelanggaran HAM, rasialisme yang mendarah daging. Peningkatan eskalasi konflik [terjadi] seiring meningkatnya operasi militer di West Papua. Itu adalah satu bentuk pelanggaran bagi masyarakt sipil di Papau,” katanya.

Wonda mengatakan meskipun kasus pelanggaran HAM, eksploitasi sumber daya alam, maupun tindakan rasisme selalu berulang terjadi dan dialami orang Papua, kelompok nasional Jakarta selalu merayakan 1 Mei sebagai hari kemenangan untuk menjadikan West Papua bagian dari NKRI. Sementara, pemahaman sejarah orang Papua tetap diabaikan kelompok nasionalis Jakarta.

Baca juga: New York Agreement: Sebuah perjanjian tanpa tuan (bagian 1 – 2)

“Di tengah kelompok nasionalis Jakarta dan kelompok kolonialis internasional, terdapat rakyat ras Melanesia, rakyat bangsa Papua yang berada dalam posisi tidak berdaya. [Kami] menjadi subordinasi kekuasaan serta tidak jarang dipandang sebagai teroris, separatis, dan musuh yang harus ditumpas. [Itu merupakan ironi anak-anak pribumi yang terusir dari tanahnya, rumahnya, lembahnya, dan gunungnya sendiri,” katanya.

Wonda mengatakan langkah elit Jakarta menyebut kelompok bersenjata Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat sebagai teroris dirasakan orang Papua sebagai penyebutan terhadap orang Papua. “Sedangkan [yang] membunuh anak-anak West Papua di atas tanah dan honainya sendiri justru menjadi pahlawan republik. Ini satu diskriminasi rasial yang juga bikin orang Papua melawan,” katanya.

Wonda mengatakan, hingga kini ketidakadilan, pelanggaran HAM, pembantaian rakyat West Papua, monopoli sumber daya alam, dan Otonomi Khusus Papua yang setengah hati terus dijalankan. “Sehingga, kami mahasiswa menilai peringatan 1 Mei 1963 itu dapat dimaknai sebagai hari aneksasi dan dimulainya penjajahan di atas Tanah Papua,” tegas Wonda.

Di Gorontalo, mahasiswa Papua juga menggelar jumpa pers peringatan 1 Mei. Juru bicara mahasiswa Papua di Gorontalo, Enky Boma menegaskan mereka memaknai peristiwa 1 Mei 1963 sebagai hari pencaplokan orang Papua ke dalam pangkuan Indonesia.

Baca juga: New York Agreement: Sebuah perjanjian tanpa tuan (2/selesai)

“Kami berencana turun ke jalan [dan melakukan] aksi protes. Akan tetapi, karena umat muslim sedang berpuasa, kami batal melakukan aksi dan menggelar jumpa pers,” kata Boma.
Boma mengatakan Indonesia yang didukung Amerika Serikat menganeksasi Papua secara paksa. “Sehingga, dengan tegas kami menolak perpanjang [pemberlakuan] Otonomi Khusus Papua Jilid II. Kami juga menolak dengan tegas pembentukan Daerah Otonom Baru,” katanya.

Dalam orasinya di dalam Asrama Cenderawasih Kota Gorontalo, Malfred Enambere menyatakan para mahasiswa juga menuntut penarikan aparat militer baik non organik dan organik dari seluruh Tanah Papua. Para mahasiswa juga menuntut pemberian Hak Penentuan Nasib Sendiri. “Kehadiran militer di Tanah Papua semakin menambah lingkaran kekerasan di Tanah Papua, “ ujarnya kepada Jubi.

Deli Wenda, mahasiswa Papua lainnya menambahkan pihaknya juga menolak pelabelan teroris Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB). Menurutnya, pelabelan itu merupakan bentuk pemusnahan orang Melanesia di Papua, karena dapat menambah lebih banyak korban. (*)

Jurnalis Jubi, Syam Terrajana ikut berkontribusi dalam penulisan berita ini.

Editor: Aryo Wisanggeni G

Related posts

Leave a Reply