Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Gagasan anak-anak muda Papua dalam menggelar iven tahunan Festival Film Papua (FPP). Tema tahun ini adalah Perempuan Penjaga Tanah Papua.
Perempuan kampung di Papua sungguh menanggung beban berlapis-lapis, karena dia seorang perempuan, karena kondisi keluarga yang miskin. Demikian disampaikan oleh Agus Kalalu, saat dihubungi via selular, Sabtu (29/6/2019).
Agus Kalalu, selaku Ketua Panitia FFP III, menambahkan Papua tumbuh menjadi masyarakat yang plural, baik dari segi etnis, budaya, agama, ekonomi, dan motif politik. Kehadiran perusahaan-perusahaan besar dan serbuan pendatang berbagai etnis justru semakin menciptakan jurang pemisah antara si kaya dan si miskin, orang asli dan migran, sementara nilai-nilai baru yang datang telah menyebabkan culture shock yang hebat pada penduduk asli.
“Situasi ekonomi yang tumbuh cepat tidak secara signifikan menyejahterakan orang Papua. Ketimpangan distribusi keuntungan dari eksploitasi alam Papua semakin mempertajam fragmentasi dalam masyarakat, dan sentimen kesukuan semakin memperburuk peta sosial yang ada,” ujar Agus Kalalu.
Sementara itu, Wakil Ketua Panitia FFP III, Max Binur, menjelaskan bahwa kekerasan berbasis gender terhadap perempuan dengan pelaku utama anggota keluarga, anggota masyarakat, maupun aparatur negara, merupakan kenyataan yang dapat dijumpai setiap saat. Kekerasan yang dialami oleh perempuan ini terjadi baik di ruang domestik maupun publik, oleh keluarga, lingkungan, maupun pemerintah.
“Saat ini isu perempuan Papua banyak mendapat apresiasi dari berbagai elemen masyarakat. Narasi mama-mama Papua dalam pemberdayaan ekonomi, perlindungan keluarga, pendidikan, dan lain sebagainya, telah banyak terekam dalam benak orang Papua yang terus memperjuangkan keadilan,” ujar Max Binur, yang juga mantan Koordinator Umum Papuan Voices.
Ditambahkannya bahwa penyadaran terus menerus melalui sosok perempuan adalah rekam jejak perjuangan dalam melawan diskriminasi, khususnya saat mengangkat ketidakadilan, pengabaian, dan belum meratanya pelayanan publik.
Sesungguhnya, kata Max, dalam konsep budaya Orang Papua, kaum perempuan mendapat tempat yang cukup baik, seperti pada beberapa suku yang menggambarkan perempuan dalam simbol-simbol keagungan. Misalnya simbol pohon sagu yang artinya sumber kehidupan.
“Saat ini banyak ditemui kaum perempuan yang menjalankan hidupnya dengan beban ganda, namun masih tetap berkomitmen menjaga masa depan Tanah Papua. Untuk memberikan ruang dan apresiasi kepada para perempuan Papua yang tangguh dalam menjaga, melindungi, dan mengadvokasi pemenuhan hak-hak perempuan, maka kami memilih tema FFP III adalah Perempuan Penjaga Tanah Papua,” kata Max Binur.
Festival Film Papua III tahun 2019 di Sorong, secara khusus akan membahas masalah masalah-masalah mendasar yang dialami oleh perempuan Papua di semua aspek kehidupannya. Dokumentasi film tentang Perempuan yang berjuang di semua aspek (politik, ekonomi, sosial, budaya, lingkungan, pendidikan, lingkungan hidup, dll) untuk menjaga Tanah Papua sebagai ibu yang memberikan kehidupan bagi manusia Papua dan dunia.
Untuk diketahui bahwa FFP I, 2017 berlangsung di Merauke dan FFP II, 2018 berlangsung di Kota Jayapura, Papua. Kegiatan ini sepenuhnya diselenggarakan oleh Papuan Voices sebagai wadah generasi anak-anak muda Papua yang concern dan peduli kepada situasi Tanah Papua melalui karya film dokumenter. (*)
Editor: Yuliana Lantipo