Papua No. 1 News Portal | Jubi ,
Jayapura, Jubi – Sore menjelang malam angin mulai bertiup kencang di Sentani, Kabupaten Jayapura. Sekina Tabuni duduk di bawah pondok berjualan beratap seng dengan tiang balok. Di depannya tersusun jualan daging babi, tikus tanah, dan keladi bete masak.
Jualan Tabuni cukup menggoda lidah. Meski belum sampai di mulut, namun aroma dan bentuknya membuat air liur membasahi mulut. Akhirnya pelan-pelan terpaksa ludah ditelan. Apalagi daging dia punya bumbunya begitu pas dengan daging yang dimasak enak sudah.
Berjualan masakan bertahun-tahun, Tabuni tidak belajar dari seorang ahli, tapi belajar dengan kreativitasnya sendiri. Ia juga berjuang keras menyiapkan segalanya selama berjam-jam. Wajahnya terlihat lelah duduk di belakang jualan tanpa mengenakan jaket atau kain yang dapat menghangatkan tubuh.
Pembeli satu persatu berdatangan. Ada juga yang hanya datang menawar. Semangatnya tidak hilang jika seseorang tidak jadi membeli. Ia hanya menawarkan harga yang mudah didapatkan.
“Saya sudah berjualan 27 tahun, saya berjualan sejak muda sampai sudah tua ini, sudah kelihatan rambut putih, jualan yang saya taruh itu ada daging babi, tikus tanah, dan keladi bete, saya tetap berjualan ini karena saya mau jualan lain itu tidak cocok, macam jual sayur atau pinang begitu,” katanya ketika ditemui Jubi, Rabu 7 Maret 2018.
Perempuan Lanny Jaya ini mengatakan, harus bekerja keras sendiri untuk mempersiapkan daging masak. Terkadang ia meminta bantuan orang lain untuk mengupas keladi, membuat bumbu, dan persiapan lainnya.
“Mau siapkan ini itu paling susah, kalau mau suruh bantu itu biasa saya bayar mereka yang saya panggil itu Rp50 ribu hingga Rp100 ribu untuk uang saku,” ujarnya.
Agar usahanya terus berputar, Tabuni harus memiliki modal Rp1,5 juta hingga Rp2 juta setiap berjualan. Sebab tidak selamanya pembeli membayar tunai. Ada juga yang berutang atau juga tidak laku.
Ia mengaku berjualan daging wam adalah usaha yang paling tepat baginya. Pembeli pun cukup banyak, baik orang asli Papua maupun bukan.
“Ada orang Toraja, Manado, orang gunung, pejabat-pejabat, dan mereka yang ingin makan daging itu datang ke sini untuk beli,” ujarnya.
Meski sudah lama berjualan, setiap hari tidak selalu gampang baginya. Ada kesulitan juga. Kesulitan itu adalah mempersiapkan masakan hingga jadi dan mencari daging wam dan tikus tanah.
“Kalau ada boleh, tapi kadang itu tidak ada, jadi kami harus cari itu jauh, ke Koya, Arso… untuk dapat daging kami bangun jam 3 subuh itu sudah siap-siap, jam 4 itu kami di pasar, kalau tidak ada sampai jam 11 siang kami harus berusaha sampai dapat baru pulang,” katanya.
Tabuni mengaku pernah sukses dengan usahanya hingga memiliki peternakan babi sendiri. Tapi itu tinggal kenangan setelah diterpa musibah.
“Dulu dari hasil jualan saya memelihara banyak babi dengan kandang yang panjang, tapi musibah banjir 2007 mengangkat itu semua, jadi saya langsung hilang semangat dan sekarang ini keuntungan saya gunakan untuk kebutuhan hari-hari saja,” ujarnya.
Sama dengan Tabuni, Penina Wenda juga berjualan daging masak. Perempuan ini berjualan di pinggiran trotoar Expo Waena sejak 2016.
“Kalau dulu orang yang ingin makan tikus tanah itu sedikit, tapi sekarang banyak yang suka, jadi kami taruh tikus tanah lagi, jadi ada wam, tikus tanah, dan keladi bete, kalau tidak ada keladi kita ganti dengan singkong,” katanya.
Ibu dua anak ini membungkus kepalanya dengan selendang untuk penghangat. Ia duduk menanti pembeli yang datang satu persatu menanyakan hidangan di meja. Ia mengaku berjualan daging masak paling cocok baginya setelah berjualan pinang. Meski ia akui mempersiapkan daging dan keladi cukup setengah mati.
Agar usahanya lancar, setiap hari ia mesti mengeluarkan modal minimal Rp2 juta.
“Dari usaha ini saya rasa cukup puas karena dari hasil berjualan selama beberapa tahun ini saya sudah bikin rumah besar, bangunan yang berdiri pakai semen,” katanya terlihat bangga dan bersyukur.
Pembelinya tidak hanya orang asli Papua, tapi juga non Papua. Biasanya pejabat, orang Toraja, Paniai, dan orang Lanny.
“Mereka datang dari Angkasa, Abe, Sentani, dan sekitar Jayapura,” ujarnya.
Penjual lain adalah Yosina Tabuni, perempuan 46 tahun asal Kabupaten Lanny. Ia baru berjualan satu tahun. Ia menjual Wam Larak, Kom, dan singkong.
Sebenarnya pekerjaannya sehari-hari berjualan pinang di depan rumah. Untuk menambah pembeli ia berjualan daging masak.
“Berjualan ini nasib-nasiban, kalau datang hari baik pendapan lumayan, kalau tidak sedikit saja, sesuai dengan apa yang Tuhan kasih berkat itu saja,” katanya.
Seorang pembeli daging babi siap makan, Rickson B. Wenda mengatakan, apa yang dijual mama Papua ini adalah makanan yang tanpa pengawet dan pewarna buatan seperti makanan lainnya.
“Makanan asli pribumi yang enak, nikmat, masih terasa aroma enak dan kental dengan rasa sedikit mengoda lidah untuk terus makan, walaupun ada sedikit pedis makanan khas papua ini,” katanya.
Wenda yang sudah lama menjadi pembeli ini mengatakan, apa yang dilakukan mama-mama Papua ini bagian dari usaha mereka yang harus didukung. Ia berharap mama-mama yang berjualan daging masak khas Papua ini diberdayakan dengan menyediakan tempat yang layak. (*)