Oleh: Rode Wanimbo
Tiru adalah kata dalam bahasa Lani dan bahasa Walak yang berarti tiang penopang. Tiru yang berjumlah empat tiang, berdiri kokoh tepat di tengah-tengah mengelilingi Wun’awe atau tungku api di dalam ome (honai)–rumah tradisional penduduk pribumi Papua yang mendiami wilayah adat Lapago.
Tiru atau tiang penopang terbuat dari jenis kayu terkuat bernama A’pe (pohon kayu besi). Semakin lama kayu besi tersebut mendapat panas dan asap dari api yang dibuat di dalam honai, jenis kayu tersebut akan menjadi semakin kuat. Ukurannya tergantung pada diameter honai dan rekatan paling ujung dari keempat tiru merupakan titik pusat rangka atap. Tanpa tiru, honai tidaklah mungkin berdiri kokoh.
Menyalakan api di dalam honai merupakan kegiatan pertama yang pada umumnya dilakukan oleh perempuan, khususnya seorang mama. Mereka mengambil potongan kayu bakar yang telah disiapkan dan diletakkan pada tempatnya yang disebut mundu.
Api dinyalakan untuk membakar ubi dan memasak air bagi sarapan pagi keluarga. Seusai makan pagi, mama-mama akan bergegas mengambil noken yang dalam bahasa Lani disebut Yum.
Noken adalah anyaman kulit kayu yang dijadikan sebagai wadah untuk menidurkan seorang bayi dengan memberi kehangatan dan rasa aman. Noken juga digunakan untuk mengisi hasil kebun. Dewasa ini noken dirajut dengan ukuran kecil untuk dijadikan tas.
Mereka ke kebun untuk bercocok tanam, mengambil hasil kebun, dan atau ke pasar untuk memenuhi kebutuhan makan sehari keluarga serta makanan ternak peliharaan (babi). Babi merupakan ternak yang pada umumnya dipelihara oleh masyarakat Lapago.
Dewasa ini, pada umumnya penduduk asal Lapago yang berdomisili di luar wilayah adatnya pun beternak babi karena babi memiliki nilai budaya yang sangat tinggi. Selain sebagai mas kawin utama, babi menjadi syarat mutlak dalam prosesi upacara-upacara adat, dan dalam penyelesaian konflik/masalah (perdamaian).
Hasil penjualan babi digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, mendukung pelayanan gereja dan memenuhi kebutuhan lainnya.
Tanggung jawab perempuan khususnya para istri menjadi semakin berat dengan adanya pemekaran kabupaten. Beberapa kabupaten yang dimekarkan di wilayah adat Lapago memberi dampak negatif terhadap kualitas hidup keluarga. Para suami terpaksa harus hidup terpisah dari istri dan anak-anak mereka dikarenakan belum tersedianya rumah, dan sekolah yang berkualitas bagi pendidikan anak-anak.
Perpisahan yang terjadi cenderung lama (beberapa minggu bahkan bulan) dan hal tersebut dianggap sebagai hal yang wajar. Namun perpisahan yang lama tersebut berdampak buruk terhadap keharmonisan rumah tangga walaupun dengan alasan menjalankan tugas sebagai pegawai negeri.
Para istri harus berperan ganda dalam keberlangsungan hidup sehari-hari bersama anak-anak dan anggota keluarga lain dari kerabat dekat dan jauh yang hidup bersamanya. Dalam menjalani hidup dengan beban kerja lebih, diperparah lagi dengan suami yang tidak setia. (Ada beberapa kesaksian dari para istri yang terluka karena suami yang selingkuh sampai bahkan memperistri perempuan lain di tempat tugas mereka).
Meskipun jiwa tertekan, hati terluka tetapi para istri harus tetap menjalani hidup. Mereka harus berjuang memastikan biaya sekolah dan atau biaya kuliah anak-anak mereka harus dilunasi. Berbagai usaha dikerjakan dengan menjual hasil kebun, menganyam noken, membuat kue atau roti, menawarkan jasa untuk melakukan pekerjaan domestic pada rumah-rumah tetangga atau komunitasnya.
Kehidupan perempuan yang dalam kesehariannya mengalami beban kerja lebih merupakan salah satu bentuk ketidakadilan akibat budaya patriarki. Mereka juga terpinggirkan secara ekonomi.
Untuk memasarkan hasil kebun, mama-mama harus mengorbankan waktu, tenaga dan uang. Khususnya dari kampung-kampung terdekat di sekitar Wamena, bahkan yang datang dari Bokondini, Kelela, Wolo, dan Ilugua. Bagi mereka yang tinggal di kampung harus naik transportasi umum (jenis mobil strada) dan setibanya di pasar umum di Wamena, mereka juga tidak mendapat tempat yang layak.
Tempat yang baik sudah dibangun kios-kios kecil yang hampir semua dimiliki oleh orang-orang non-Papua. Ada mama-mama yang mendapat tempat layak dan ada banyak pula yang berjualan pada pinggiran atau di depan daerah kios langsung di atas tanah yang beralaskan karung, plastik dan karton. Ada juga yang mendapat tempat jualan bersebelahan dengan tempat pembuangan sampah.
Di Sentani, daerah Pasar Lama dan pertigaan Sosial Kemiri, dan pertigaan Toladan, Mama-mama Papua berjualan di pinggiran badan jalan raya.
Debu dari tanah, becek dan air yang tergenang jika hujan, polusi dari kendaraan (motor dan mobil) yangmelintas, endapan dari sampah bahkan dari air selokan yang sangat berdampak buruk terhadap kesehatan mama-mama dan para penjual lainnya.
Pada umumnya, mama-mama yang belum mengenal huruf dan angka tidak memiliki akses ke bank. Secara budaya, konsep menabung dimaknai dan dipraktikkan pada manusia. Hal ini juga mempengaruhi terpenuhinya akses terhadap layanan kesehatan. Dengan tidak adanya simpanan uang, akses untuk membeli obat ketika sakit juga menjadi sebuah pergumulan.
Tantangan lain yang dihadapi oleh perempuan yaitu peredaran minuman keras (miras). Miras yang dikonsumsi oleh para suami merupakan salah satu pemicu kekerasan dalam rumah tangga. Ada pula orang tua yang terpaksa kehilangan anak yang masih sekolah dan kuliah akibat mengkonsumsi miras.
Konflik di lingkungan tetangga dan komunitas masyarakat yang berbeda suku dan agama yang akhirnya berujung pada perkelahian dan pembunuhan. Meskipun beberapa demonstrasi terjadi dan telah mendapat perhatian pemerintah secara khusus gubernur Papua mengeluarkan surat pelarangan beredarnya miras tetapi terkesan ada beberapa pihak yang kebal terhadap aturan tersebut.
Perempuan juga menjadi korban dari keputusan politik dan kebijakan pemerintah yang terkesan terlalu cepat untuk diimplementasikan seperti sistem pemilihan langsung untuk kepala daerah dan pemekaran kabupaten. Rakyat belum siap dihadapkan dengan sistem tersebut karena pendidikan politik belum secara maksimal dilakukan sampai kepada masyarakat akar rumput.
Masyarakat dengan sistem kekerabatan sosial yang masih sangat kental ketika diperhadapkan dengan praktik pilih langsung akan mengisahkan berbagai benturan. Misalnya, salah satu tahapan seperti kampanye. kampanye politik dilakukan secara terbuka oleh partai politik sebagai peserta pemilu yang jumlahnya relatif banyak menjadi pemicu tumbuhnya benih-benih persaingan yang tidak sehat.
Para pendukung salah satu kandidat yang dinyatakan kalah pascapemilu mengetahui dengan mudah siapa saja yang menjadi target mereka dan mereka siap berbuat apa saja jika kandidat yang kalah tidak siap menerima kekalahannya. Tanpa mempertimbangkan akibat, mereka siap mengekspresikan kemarahan mereka untuk menunjukkan ikatan emosional yang dalam.
Ada beberapa kisah konflik pascapemilu di beberapa kabupaten (Tolikara, Puncak Papua, Mamberamo Tengah, dan Puncak Jaya) yang merenggut banyak jiwa, banyak rumah warga dibakar mengakibatkan rakyat mengungsi, berpisah dengan keluarga dan hidup dalam kebencian dan trauma hingga saat ini.
Perempuan tidak hanya mengalami kekerasan secara budaya, ekonomi dan kesehatan, perempuan juga masih mengalami stigma sosial dalam komunitas yang telah mendengar “kabar baik” atau Injil.
Ternyata, walaupun sudah setengah abad lebih masuknya Injil dirayakan secara organisasi di Tanah Papua, Injil itu belum benar-benar menjadi kabar baik. Seharusnya Injil menjadi berita yang membebaskan perempuan dari lingkaran kekuasaan yang sangat patriarki, membebaskan perempuan dari stigma sosial dan memposisikan perempuan kembali kepada maksud dan tujuan awal Sang Pencipta.
Allan Boesak, pejuang kemanusiaan asal Afrika Selatan menulis:
“Untuk mengatakan Injil sebagai kabar baik, Injil itu seharusnya menjadi berita sukacita bagi orang-orang yang tertindas, orang-orang yang dimiskinkan secara sistematis, dan orang-orang yang terluka. Untuk mewujudkan shallom Tuhan berarti memeluk dan memulihkan gambar dan rupa Tuhan dalam seluruh umat manusia tidak peduli siapa dan di mana mereka berada.”
Injil yang telah didengar dan diyakini oleh para pemimpin gereja di Tanah Papua harus diwujudnyatakan dalam pengajaran-pengajaran teologi yang tidak hanya berorientasi kepada keselamatan pribadi setelah kematian, tetapi juga menghadirkan shallom itu dalam kehidupan sehari-hari bagi diri sendiri dan dalam berinteraksi dengan sesama yang berbeda suku, negara, gender, sikap dan perilaku kita terhadap tanah, air, gunung dan ciptaan lainnya sebagai suatu kesatuan yang saling membutuhkan. Hal tersebut haruslah dijadikan bahan renungan bersama.
Dengan demikian kabar baik akan dimaknai secara utuh sehingga mengubah pola tindak kita yang berdampak pada semua aspek hidup manusia sebagaimana dimaksudkan oleh Lisa Sharon Harper sebagai Injil yang utuh dalam bukunya The Very Good Gospel.
Tiru dan Yum sangatlah identik dengan kehidupan perempuan yang mendiami wilayah adat Lapago. Perempuan menghidupi fungsi dan peran tiru sebagai tiang penopang dalam honai serta bergerak memberi harapan dan kehidupan sebagaimana makna yang tersirat di dalam noken atau yum.
Apakah stigma sosial, termarginalisasi, terbatasnya akses untuk memenuhi hak dasarnya dan berbagai bentuk kekerasan yang dialami perempuan ibarat api dalam honai? Api yang panasnya mengakibatkan tiru semakin kuat menopang berdirinya honai? (*)
Penulis adalah Ketua Departemen Perempuan GIDI