Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh: Soleman Itlay
Data pengungsi Nduga yang meninggal dunia masih diperdebatkan di mana-mana. Awalnya Tim Solidaritas untuk Nduga merilis 139 lembar fakta korban di media massa dalam konferensi pers di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) di Jakarta.
Hal tersebut langsung dibantah oleh TNI/Polri dan Kemensos Republik Indonesia. Enam hari kemudian, pemerintah Indonesia lewat TNI/Polri membantah laporan tersebut. Bantahan yang sama disampaikan oleh Kemensos RI. Militer maupun pemertintah Indonesia meyebut korban meninggal 53 orang.
Tentu ini tak sekadar perdebatan. Namun lebih dari pada itu, adalah tentang perang data yang sangat menarik (CNN Indonesia, Bantah Ada Pengungsi Tewas, Kemensos Kirim Bantuan ke Nduga, 22 Juli 2019)
Data korban terbaru
Pada awal bulan proklamasi bangsa Indonesia, Tim Solidaritas untuk Nduga kembali merilis 182 orang pengungsi yang meninggal dunia. Rinciannya adalah 21 perempuan dewasa, 69 laki-laki dewasa, 21 anak perempuan, 20 anak laki-laki, 14 perempuan balita, 12 laki-laki balita, 8 bayi laki-laki dan 17 bayi perempuan.
Mereka ini semua dipastikan meninggal dunia di tempat pengungsian. Ada yang meninggal di hutan belantara (tempat persembunyian). Ada pula yang meninggal di pemukiman warga (Jubi, 1 Agustus 2019).
Data tersebut berasal dari data sebelumnya. Pihaknya hanya memperbaharui dengan jumlah korban pengungsi yang baru dilaporkan meninggal dunia. Jumlah korban sebelumnya sebanyak 139 jiwa. Sedangkan jumlah korban yang baru tercatat 43 orang/jiwa.
Hingga detik ini, pihak TNI/Polri dan Kemensos RI, belum membantah terkait data terbaru ini. Lihat dan ikuti perkembangan besok.
Perdebatan panjang
Masing-masing masih mempertahankan data, argumentasi dan lainnya. Tidak ada yang mau kalah (mengalah). Tidak sudah menerima data maupun bantahan.
Bersih keras dengan pendapat individu, tim, instansi dan lainnya. Satu bilang benar dan satu bilang salah. Satu bilang salah, satu bilang benar. Begitu terus hingga tak sadar memasuki Agustus.
Jika dinamika ini masih berlaku, maka yang paling penting untuk dipikirkan oleh semua pihak adalah tentang validasi data tersebut.
Pertanyaanya: metode apa yang digunakan oleh Tim Solidaritas untuk Nduga untuk mengumpulkan data korban pengungsi tersebut? Mengapa TNI/Polri dan pemerintah Indonesia membantah angka korban yang disebutkan oleh Tim Solidaritas untuk Nduga?.
Pertanyaan-pertanyaan pengantar tersebut akan membantu pembaca untuk memastikan letak kebenaran dan kesalahan di balik perdebatan panjang di media sosial antara pihak yang pro pada data Tim Solidaritas untuk Nduga dengan pihak yang pro pada bantahan TNI/Polri serta Kemensos RI.
Mari kita lihat validasi data yang dikemukakan oleh Tim Solidaritas untuk Nduga dengan argumentasi bantahan dari TNI/Polri dan Kemensos Republik Indonesia.
Validasi data tim solidaritas untuk Nduga
Tim Solidaritas untuk Nduga telah memastikan, bahwa data yang mereka keluarkan di awak media bisa dapat dipertangungjawabkan. Karena data tersebut mereka kumpul berdasarkan pendekatan yang sangat jelas. Pendekatan yang meraka pakai dalam rangka mengumpulkan data korban adalah dengan metode pengamatan langsung di lapangan dan wawancara langsung dengan keluarga korban.
Hingga saat ini mereka masih mengantongi identitas korban dalam lembar fakta korban yang mereka rangkum dalam sebuah laporan lengkap. Data tersebut mereka peroleh dari hasil kerja keras selama berminggu-minggu. Mereka memiliki bukti-bukti yang kuat. Hal itu bisa dilihat dari data mentah yang mereka pegang saat ini.
Korban maupun keluarga korban pengungsi akibat operasi militer Indonesia di Nduga, sebagian besar masih hidup. Untuk memastikan lebih lanjut, bisa berjumpa langsung dengan mereka untuk memastikan kebenarannya. Sebagian berada di Wamena.
Jika ingin ketemu, bisa datang ketemu mereka di tempat pengungsian. Pasti keluarga korban akan memberikan keterangannya.
Tim Solidaritas untuk Nduga tersebut terdiri dari tokoh Adat, Gereja, pemuda, aktivis, LSM, pemerhati HAM, lembaga peemerintah (MRP), dan lain sebagainya. Mereka mengumpulkan data, mengolah data, dan mengeluarkan data secara bersama-sama.
Data yang mereka keluarkan telah diverifikasi secara baik, sesuai dengan standar-standar investigasi yang diberlakukan di mana-mana.
Hal itu bisa dilihat dari metode pengumpulan data. Metode yang mereka gunakan untuk mengumpulkan data atau informasi adalah sudah tepat.
Dikatakan demikian, karena di mana-mana, dalam investigasi, pendekatan lazim yang sering digunakan adalah dengan metode pengamatan langsung dan wawancara langsung kepada pihak terkait.
Artinya, bahwa pihaknya telah melakukan validasi data terlebih dahulu. Karena datanya telah diverifikasi atau divalidasi, maka mereka berani mengeluarkan rilis fakta korban kepada publik.
Untuk memastikan lebih lanjut, pihaknya, dengan data yang mereka pegang, masih hidup. Mereka bisa pertanggungjawabkan itu bilamana diminta kelak dipertanggungjawabkan.
Argumentasi dan bantahan TNI/Polri dan Kemensos RI
“Tidak benar berita lebih dari 130 orang meninggal dalam pengungsian. Jumlah korban meninggal dunia itu merupakan akumulasi dari awal konflik terjadi. Mereka yang meninggal karena sakit,” ujar Dirjen Perlindungan dan Jaminan Sosial Kemensos RI, Harry Hikmat, melalui rilis, Selasa (30/7/2019).
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Kemensos Sebut 53 Pengungsi Nduga Meninggal Dunia”, 30 Juli 2019.
Hikmat menilai bahwa data tersebut masih mentah. Artinya belum bisa dapat dipercaya karena bukti fisiknya belum bisa dibuktikan. Dalam artikel yang sama, Harry Hikmat menyebut bahwa data yang dipublikasi oleh Tim Solidaritas untuk Nduga secara fisik belum dapat dibuktikan.
Harry lebih percaya pada data yang dipegang oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Nduga ketimbang data yang dipublikasi oleh Tim Solidaritas untuk Nduga. Harry sendiri bicara demikian setelah tiba di Wamena. Dia angkat bicara setelah bertemu dengan sejumlah SKPD dan stakeholder terkait. Bahkan 53 orang yang ia sebut adalah data Dinas Kesehatan Kabupaten Nduga. Bukan dari hasil investigasi.
Harry sendiri belum jelaskan bagaimana pihaknya mengumpulkan data. Dia hanya menerima data dari intansi terkait di lapangan dan setelah pegang langsung buka mulut untuk membantah data dari tim Solidaritas untuk Nduga. Tidak hanya itu. Argumentasinya juga tak berdasarkan metode pengumpulan data terhadap 53 korban tersebut. Argumentasi Harry persis sama dengan bobot bantahan dari TNI/Polri.
Akhiri perdebatan
Akhiri perang data dan mencari solusi adil yang damai. Sebab perang data tidak akan menyelesaikan masalah. Perang data atau perdebatan hanya menguras pikiran, tenaga, waktu, dan material.
Lebih baik buka ruang diskusi yang terbuka. Setelah itu bicarakan semua hal, termasuk perdebatan terkait data tersebut. Bicara dari pikiran ke pikiran, perasaan ke perasaan, hati ke hati dan lainnya.
Setelah itu rencanakan langkah penyelesaian konflik guna menyelamatkan yang masih dan sedang sakit, dan menderita di hutan belantara maupun di wilayah pengungsian lainnya.
Lebih baik habiskan pikiran, tenaga, waktu, dan material untuk selamatkan mereka yang sisah dari yang tersisah ketimbang kita menghabiskan pikiran, tenaga, waktu, dan material, yang ujung-ujungnya sia-sia belaka. (*)
Penulis adalah anggota aktif PMKRI St. Efrem Cabang Jayapura
Editor: Timo Marten