Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia versi Luhut MP Pangaribuan, Sugeng Teguh Santoso mengatakan pihaknya membentuk tim advokasi hukum bagi 27 orang asli Papua yang ditangkap terkait amuk massa 29 Agustus 2019. Pebelaan itu menjadi bagian dari kerjasama advokasi Majelis Rakyat Papua dan Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia untuk membantu pembelaan hukum para terdakwa kasus itu.
“Majelis Rakyat Papua meminta Peradi untuk memberikan advokasi. Setelah kami berdiskusi, kami menemukan dasar bahwa para tersangka ini, orang asli Papua yang ditangkap, perlu mendapat pembelaan. Kita perlu melakukan pendekatan lebih jauh selain masalah hukumnya. Pembelaan itu akan kami lakukan bersama tim Lembaga Bantuan Hukum Gabah Papua,” kata Sugeng usai mengikuti sidang di Pengadilan Negeri Jayapura, Rabu (6/11/2019).
Dalam sidang Rabu itu, sejumlah empat orang asli Papua mengikuti sidang pembacaan dakwaan dalam kasus amuk massa 29 Agustus 2019. Keempat terdakwa itu adalah adalah Dorti Kawena (mahasiswa baru Uncen, berasal dari Mamberamo Raya ditangkap 20 Agustus 2019), Yali Loho (mahasiswa semester 8 Uncen), Pandra Wenda (mahasiswa semester 3 Uncen), dan Wilem Walilo (aparatur sipil negara).
Pada 16 Oktober 2019 lalu, Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Dewan Pimpinan Nasional Peradi yang diketuai Luhut MP Panggaribuan menandatangani kesepakatan kerjasama. Ketua MRP, Timotius Murib pada 17 Oktober 2019 lalu menyatakan kerjasama MRP dan Peradi itu dibuat untuk memperkuat upaya MRP menjalankan tugasnya melindungi hak masyarakat adat dan orang asli Papua.
Murib menyatakan kerjasama MRP dan Peradi itu sangat penting, mengingat banyaknya rakyat Papua yang berhadapan dengan masalah hukum. “[Kerjasama] itu berfokus [kepada upaya] advokasi masalah [hak] sipil dan politik serta [hak] ekonomi, sosial, dan budaya,” ungkap Murib saat itu.
Perjanjian itu termasuk kesepakatan kedua lembaga berkerjasama dalam advokasi bantuan hukum dan hak asasi manusia (HAM) untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak orang asli Papua, khususnya bagi para mahasiswa Papua yang berada di Surabaya, Malang, Semarang, Jogjakarta, Jakarta dan kota-kota lainnya di Indonesia. Kerjasama itu termasuk pemberian bantuan hukum terkait kasus rasisme, persekusi serta pelanggaran HAM.
“Maksud perjanjian kerjasama ini adalah memberikan advokasi, bantuan hukum dan HAM bagi orang asli Papua, khususnya mahasiswa orang asli Papua, berkaitan dengan penetapan tersangka dan penahanan terhadap sejumlah mahasiswa orang asli Papua di Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya, Polda Papua, dan Polda lainnya di Indonesia, dengan harapan terwujudnya perlindungan hak orang asli,” demikian isi perjanjian MRP dan Peradi itu.
Kedua belah pihak akan memberikan advokasi dan perlindungan hak mahasiswa orang asli Papua yang ditetapkan sebagai tersangka, mulai dari tahap penyelidikan, penyidikan, persidangan tingkat pertama sampai dengan tingkat terakhir, dengan berdasarkan asas peradilan pidana.
Kerjasama MRP dan Peradi itu juga mencakup upaya melindungi hak orang asli Papua dalam kedudukannya sebagai korban kejahatan dan/atau kekerasan. Kerjasama itu meliputi pemberian advokasi bantuan hukum melalui upaya litigasi dan non litigasi atas pelanggaran HAM orang asli Papua, khususnya hak-hak mahasiswa orang asli Papua yang berada di Papua maupun di luar Papua.(*)
Editor: Aryo Wisanggeni G