Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh: Yoseph Bunai
Peraturan negara Republik Indonesia masih berlaku sehingga Indonesia disebut negara hukum. Namun aturan kenegaraan bangsa ini diluluhlantakkan dan tidak ditegakkan oleh para aktor/elite politik atau pemerintah. Dengan kata lain, kehidupan berbangsa dan bernegara masih diwarnai dengan daya ketidakadilan yang signifikan.
Masyarakat kecil selalu mengalami pengalaman pahit, sebagaimana kemanusiaannya tidak dihargai oleh pemimpin pemerintahan sebagai penguasa. Ukuran dari suatu bentuk penghormatan dan penghargaan belum begitu ditampilkan sebagai suatu pertanggungjawaban etis.
Pemerintah, agama, dan adat di wilayah NKRI hidup di atas peraturan negara.
Misalnya di dalam Gereja Katolik juga dikenal dengan suatu institusi Gereja yang bersifat hierarkis. Kunjungan uskup ke wilayah Dekenat (wilayah pelayanan gereja di bawah keuskupan) pun mesti ada suatu pemberitahuan ataupun informasi kepada pastor dekan dekenat yang bertanggung jawab di wilayah tersebut.
Begitu juga, pastor dekan yang berkunjung ke paroki-paroki mesti melampirkan surat pemberitahuan kepada Pastor Paroki. Begitu juga ke wilayah stasi pun dilampirkan dengan surat pemberitahuan dan informasi kepada pewarta setempat. Hal ini merupakan suatu bentuk penghargaan dan penghormatan terhadap institusi Gereja.
Kebudayaan dalam kehidupan masyarakat mesti bersandar pada tatanan hukum yang lebih intens dan menyeluruh. Pengkultusan suatu peradaban pemerintahan yang berhadapan dengan masyarakat mesti dibangun dan ditingkatkan berdasarkan wawasan kebangsaan dan kenegaraan secara baik dan benar, sehingga kehidupan berpolitik dan berekonomi di dalam NKRI, dapat memberikan kontribusi bagi kehidupan bersama.
Aturan atau hukum adat di Papua pada umumnya berkaitan dan nyaris sama. Papua memiliki berbagai macam adat istiadat dan kebudayaannya, misalnya, budaya perang suku.
Perang suku tidak akan terjadi tanpa pemberitahuan pihak korban dan pelakunya. Dalam kebiasaannya, sebelum memulai perang adat semacam kompromi atau perundingan antara kedua pihak yang bertikai, yakni, kedua kepala perang. Dengan demikian ada peraturan yang disepakati bersama dan dipatuhi. Oleh sebab itu, perang itu berjalan sesuai dengan penghormatan dan penghargaan yang dewasa secara budaya.
Problema budaya kebangsaan dan aparat militer masuk ke beberapa distrik tanpa izin kepala distrik dan kampung di Kabupaten Paniai kemudian penulis beranggapan bahwa aparat keamanan belum memahami secara sungguh hukum kenegaraan.
Kunjungan atau mungkin benar operasi militer yang dilakukan aparat di Paniai merupakan kunjungan ilegal. Sebab, kunjungan yang dilakukan itu telah mengganggu psikologi masyarakat setempat.
Selain itu, tidak adanya pemberitahuan resmi dari pihak pemerintah kepada masyarakat terkait kehadiran aparat. Pemerkosaan hukum selanjutnya dilakukan dengan penurunan aparat tanpa henti di beberapa wilayah di Paniai.
Sebagaimana yang telah diketahui bersama, bahwa aparat juga tidak memberitahukan maksud dan tujuan kehadiran mereka. Singkatnya, penempatan militer ke setiap distrik atau kampung dengan motif kepentingan negara.
Kedatangan militer di Distrik Aradide-Komopa, Distrik Paniai Barat- Obano dan Distrik Wegemino, Kabupaten Paniai sejumlah 100-an orang utusan perintah Mabes TNI Pusat Jakarta sebenarnya ada apa? Mereka diutus tanpa diberitahukan kepada pemerintahan setempat (daerah) dan pemerintahan kecil di setiap distrik dalam wilayah NKRI.
Apakah setiap distrik di pedalaman Papua bukan termasuk dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga kunjungan apapun ke distrik tidak perlu diketahui pemerintah daerah? Bukankah rasa hormat mesti dijunjung tinggi? Benarkah NKRI adalah negara hukum? Dalam hal ini, pemerintah pusat, jangan mengabaikan ketatanegaraan yang selama ini sedang berlaku di setiap wilayah.
Struktur kepemimpinan pemerintahan Indonesia sudah jelas. Kepemimpinan yang disusun secara trias politika melalui eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Ada presiden, ada gubernur, ada bupati, ada kepala dinas, desa, dan RT/RW.
Hargailah pemerintahan kecil yang dikepalai oleh seseorang, yang telah dipercayakan oleh negara (dan rakyat). Mereka telah dilantik dengan resmi oleh kepala daerah setempat.
Jika mereka tidak dihargai sebagaimana mestinya, apa gunanya aturan atau hukum di dalam kedaulatan NKRI? Semestinya negara menyeriusi hal yang substantif, bukan hal-hal yang hanya ada di permukaan saja.
(Idealnya) Penempatan TNI di distrik hanya Koramil. Koramil ditugaskan juga untuk melindungi masyarakat dan bekerja sama dengan institusi yang berhubungan di daerah tersebut, dengan tujuan melindungi dan mempertahankan kesatuan dalam kenegaraan.
Pertanyaan yang menggelisahkan ialah apakah masyarakat setempat di beberapa distrik atau kampung telah melakukan tindakan jahat atau melanggar tatanan hukum berbangsa dan bernegara? Apakah selama masyarakat hidup bernaung bersama koramil melakukan perlawanan kepada negara? Sepertinya ada kekeliruan dalam pemindahan TNI berskala besar ke setiap distrik.
Daerah Papua saat ini tidak membutuhkan keamanan dari tentara berskala besar. Beberapa distrik sementara masih aman termasuk daerah yang telah ditempati militer berskala besar tersebut. Maka Mabes TNI seharusnya menghargai Koramil yang bertahan hidup bersama masyarakat, yang masih aman-aman sampai saat ini di daerah pedalaman, yang tidak bisa dijangkau dengan jaringan dan transportasi dalam bentuk apapun.
Mantan anggota DPR Papua, Jhon NR Gobai, menyebutkan bahwa bila perlu dana untuk pembayaran pasukan berskala besar ini disalurkan kepada setiap Koramil yang bertahan hidup dan mati-matian bersama masyarakat yang selama ini aman-aman (Kabar Meepago, 26 Januari 2020).
Gerakan negara dengan menempatkan militer di distrik pedalaman pada tahun baru 2020 membawa dampak negatif terhadap masyarakat, terlebih masyarakat kecil. Masyarakat Papua pada umumnya berada dalam kondisi trauma, sehingga akan mengganggu kegiatan dan seluruh aktivitas di kabupaten. Hati kecil para masyarakat sedang bertanya-tanya, “Apa yang mereka (militer) mau lakukan kepada kami?”
Maka dari itu pemerintah pusat segera menarik pasukan militer yang sedang menakut-nakuti (?) masyarakat di setiap kampung, khususnya Distrik Agadide-Komopa, Distrik Paniai Barat-Obano dan Distrik Wegebino. Sebab, keberadaan aparat hanya memperluas dan memperdalam persoalan. Tidak ada solusi lain, tarik aparat kembali ke Mabes Pusat dan anggaran yang dialokasikan mesti dialihkan kepada koramil setempat demi keamanan dan ketenangan bersama. (*)
Penulis adalah mahasiswa pascasarjana STFT Fajar Timur Abepura, Papua
Editor: Timo Marten