Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh: Vredigando Engelberto Namsa, OFM
Pentingnya pendidikan baiknya secara fair kita mulai (dengan) pandangan para ilmuwan dan negarawan dari luar spesialisasi pendidikan. Tidak kurang para filsuf besar dunia seperti Plato, Aristoteles, Jean Jacques Rousseau, Jhon Dewey, bahkan Albert Einstein, telah ikut mendefinisikan tentang hakikat dan tujuan sejati dari sebuah pendidikan. Hal ini tertuang dalam berbagai aliran filsafat pendidikan dunia.
John Dewey adalah salah satu nama yang banyak diakui kemampuannya dalam formulasi arah dan tujuan pendidikan. Aristoteles, sang pemberi arti besar dalam pendidikan karakter anak-anak bangsa, selain itu tidak ketinggalan memberikan penekanan akan pentingnya pendidikan. Einstein juga tidak ketinggalan.
Ketika berbicara di depan siswa, pada tahun 1934, ia menandaskan bahwa pendidikan adalah karya besar sebagai warisan abadi dari generasi ke generasi, yang prinsipnya harus diterima, dihormati, dan dinyatakan dalam hidup dengan memperlihatkan sikap yang baik terhadap bangsa lain dan generasi lain dari seluruh umat manusia (Robert, The Balanced Scorecard: Strategy into Action, Harvard School Press, 1996).
Geoff Haselhurst, menurutnya pendidikan harus berlandaskan pada kebenaran dan realita, dalam arti bagaimana hal ini berhubungan dengan interkoneksi antara pikiran, zat, dan ruang. Interkoneksi ketiga hal ini jelas dalam pendidikan dan secara umum dapat disebut sebagai suatu pendekatan evolusi atau pendekatan ekologis, yang berdiri di atas struktur ruang dari dunia ini.
Berbagai aliran pendidikan pun berkembang dalam filsafat atau yang sering dikenal dengan nama filsafat pendidikan. Aliran eksistensialisme, misalnya, menekankan bahwa pendidikan harus mampu menyuburkan dan mengembangkan eksistensi subjek yang dididik seoptimal mungkin melalui fasilitas yang dilaksanakan melalui proses pendidikan yang bermartabat, memihak pada perubahan, menumbuhkan dan mengembangkan bakat, minat dan kemampuan subjek yang dididik.
Selain itu, aliran esensialisme menekankan bahwa pendidikan harus berfungsi dan relevan dengan kebutuhan berbagai sektor, baik itu sektor lokal, nasional maupun sektor internasional.
Secara umum kedua aliran di atas ini memberi gambaran yang bersifat saling mengisi atau saling melengkapi bahwa agen pendidikan haruslah siswa atau secara baku disebut subjek didik. Peran guru dan tenaga kependidikan lainnya, sarana-prasarana, organisasi dan kelembagaan dll., haruslah ditempatkan sebagai fasilitator keberhasilan, bukan sentral dari seluruh proses.
Akan tetapi, karena pendidikan tidak bisa dihindari untuk berjalan formal dalam sistem persekolahan, maka aspek keterukuran output dan outcome juga harus ditekankan. Dalam hal ini, haruslah memahami gagasan esensialisme, diperlukan target pencapaian kegiatan pendidikan yang harus membawa manfaat bagi manusia. Oleh karena itu, pendidikan harus dikelola dalam manajemen pendidikan yang profesional.
Kekacauan atau ketidakjelasan manajemen pendidikan biasanya mulai terjadi ketika ada campur tangan kepentingan politik dan ekonomi yang dikuasai oleh para penguasa.
Penekanan pada pentingnya peran subjek didik sebagai agen sentral dan yang dibantu dengan proses yang mendukung, tergambar juga dalam pendidikan UNESCO yang menekankan arah pendidikan sebagai learning to know, learning to do, learning to be, learning to live together (LNS 2003).
Demikian juga halnya dengan pengertian pendidikan menurut UU Sisdiknas RI sebagaimana diuraikan, bahwa batas pendidikan nasional mencakup the what of education dan the how of education sekaligus. Pemenuhan potensi subjek didik sesuai dengan hakikat pendidikan nasional sangat menentukan bagaimana proses pendidikan itu harus berlangsung (Abel, Nasional Edukasi Sistem, 2011).
Don Berg, pendiri Attitutor Services, mendefinisikan pendidikan sebagai sebuah proses kartografi yang menekankan pengalaman-pengalaman dan menemukan berbagai arah untuk bergerak dari kondisi belum optimal menjadi optimal. Berg menekankan bahwa pendidikan harus ditempatkan sebagai proses mandiri (untuk) memetakan pengalaman, baik pengalaman nyata dalam hidup, maupun pengalaman yang dirancang dalam kegiatan belajar dan menemukan jalan kepada keadaan mental yang baik atau sering dikenal dengan keadaan mental yang optimal.
Dengan demikian, pendidikan adalah sekaligus penekanan pada proses (mengakses, mengolah, dan memahami) dan menjadi terdidik (mampu menciptakan sesuatu yang baru yang ada, mampu memutuskan, mampu memperluas dan memperdalam, serta mengantar negative state of mind ke arah positive state of mind).
Pada prinsipnya, buanglah jauh-jauh pandangan bahwa pendidikan itu berarti mentransfer pengetahuan, informasi dan keterampilan belaka. Kalau hanya soal itu, tidak perlu ada sebuah pendidikan, di zaman sekarang ini, cukup main internet sepanjang hari, maka anak-anak akan mengetahui apa yang mereka lihat dan mungkin menirunya sebagai bagian dalam praktik hidupnya.
Mulai juga, buanglah jauh-jauh pandangan bahwa seorang sarjana/master/doktor/profesor pastilah pribadi terdidik, apalagi bila dibandingkan dengan koruptor, mafia kriminal, dll.
Pendidikan sejati, pada prinsipnya tidak mendidik manusia pintar, tetapi mendampingi dan mengarahkan perkembangan manusia untuk menjadi terdidik dalam arti seluas-luasnya. Menjadi pintar adalah hal yang otomatis ditambahkan kepada pribadi yang terdidik.
Pendidikan tidak bisa direduksi menjadi hanya sekadar menilai dan mendengar bentuk, suara, cerita, fakta, dst. Pendidikan, sebagaimana ditegaskan Daniel Willingham, adalah sebuah proses aktivitas kemampuan berpikir, sekalipun kemampuan berpikir dipicu dan dipertajam dengan memori dan persepsi dengan objek, fakta-fakta, data-data dan informasi (Daniel Willingham, 2011).
Memori sebaliknya, akan semakin bertahan lama seiring intensitas pemikiran akan makna di balik objek dan fakta yang dijumpai. Kalau seseorang tidak terlalu memikirkan sesuatu yang ia jumpai, ia tidak akan mudah mengingatnya, seberapa sering ia menjumpainya.
Bila mengacu pada penjabaran logis filosofi pendidikan nasional yang tertuang dalam UU Sisdiknas ke dalam standar nasional pendidikan, lalu dilanjutkan dengan penjabaran ke dalam berbagai peraturan dan petunjuk pelaksanaan, standar tenaga kependidikan dsb., sampai pada rencana strategis dan baik, tepat sasaran di tingkat sekolah merupakan sebuah pemahaman dan pelaksanaan yang pada akhirnya bisa kabur keterukurannya.
Di pihak lain, pada era globalisasi sekarang ini, model-model sistem pendidikan dari berbagai sumber dapat kita pelajari dan bandingkan dengan mudah. Karena itu, berdasarkan hakikat pendidikan yang sudah diuraikan di atas, untuk pendidikan kita di Indonesia pada umumnya dan Papua pada khususnya, ke depan dibutuhkan sebuah pembaharuan yang signifikan yang sesungguhnya tidak terlalu terikat dengan kebijakan pusat. (*)
Penulis adalah mahasiswa pascasarjana STFT Fajar Timur Abepura, Papua
Editor: Timo Marten