Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh: Rode Wanimbo
“Ibu, suami saya kepala desa. Sekarang, setelah setiap kampung dapat uang banyak itu, dia sudah punya isteri ketiga. Dia biasa tinggal dua sampai tiga bulan di kota baru pulang ke sini. Saya harus kerja kebun sendiri dan perbaiki pagar yang sudah rusak. Waktu hari pertama dia pulang, dia langsung minta saya tidur dengan dia tapi saya tidak mau. Apakah saya berdosa ka ibu?” tanya seorang Mama dalam perbincangan kami di Kiwi, Pegunungan Bintang.
Pada kesempatan lain di Klasis Koma, Kobakma, ibu kota Kabupaten Mamberamo Tengah, seorang mama bertanya kepada saya, dalam sebuah diskusi, “Ibu ketua, saya sudah dilarang untuk melayani sebagai pengasuh sekolah minggu karena suami sudah ambil (memperisteri) perempuan lain sebagai isteri. Di dalam gereja kami, anak-anak banyak sekali dan pengasuh hanya ada tiga orang.”
Dengan tangan gementar dan berlinang air mata, mama ini melanjutkan keluhnya,”Saya kasihan anak-anak. Saya harus bagaimana? Saya harus tunggu sampai suami saya bertobat baru saya melayani ka? Tapi, suami saya jarang masuk gereja, tidak ada diaken atau gembala yang pergi kunjungi, berdoa, dan membimbing dia.”
Persoalan yang sama saya temukan dalam kunjungan pelayanan di Klasis Kanggi, Kabupaten Tolikara dan Klasis Mulia, Puncak Jaya. Sedikit kelompok pria dewasa, khususnya kaum bapak yang pergi ke gereja.
“Bapa-bapa sekarang itu, baku marah, tidak baku senang gara-gara partai banyak datang kampanye terus yang menang itu waktu jadi, bupati ganti kepala desa baru yang lain tidak senang terus baku panah. Kami ini keluarga, satu gereja tapi mereka sudah pegang uang banyak jadi lupa kalau kita ini keluarga.”
Narasi-narasi di atas hanyalah beberapa contoh kegelisahan yang diungkapkan saat “Bercerita dalam lingkaran”, sebuah program Departemen Perempuan GIDI.
Perempuan sebagai penolong
Cerita para perempuan di berbagai daerah ini semakin membuktikan bahwa perempuan di Papua mengalami kekerasan berlapis, baik kekerasan secara langsung maupun tidak langsung. Dalam artikelnya “Menguak wajah kekerasan terhadap perempuan Papua”, Elvira Rumkabu menjelaskan bagaimana patriarki dalam struktur masyarakat melanggengkan kekerasan terhadap perempuan, sehingga penelantaran suami, beban kerja ganda, tanggung jawab pencari nafkah, sampai kekerasan negara yang dialami perempuan Papua, dianggap (sebagai) sebuah kewajaran oleh masyarakat. Hal ini seperti tersurat dalam narasi mama mama di atas.
Penderitaan perempuan seringkali dianggap normal karena perempuan dianggap sebagai penolong pria sekaligus menjalani fungsi produksi dan reproduksi, sehingga mengurus suami, anak, pekerjaan rumah tangga, berjualan di pasar dan mencari nafkah, dilekatkan secara sadar ke peran perempuan karena anggapan bahwa perempuan adalah hamba laki-laki. Hal ini diperkuat dengan praktik budaya yang menomorduakan perempuan. Akan tetapi, jika dilihat secara teologis, nilai perempuan bukanlah sebagai hamba yang inferior.
Dalam artikel “Apakah yang dimaksud dengan penolong yang sepadan?” Ev.Nike Pamela mengemukakan bahwa posisi Hawa sebagai “penolong” (ezer) telah menimbulkan banyak perdebatan. Beberapa penafsir menduga Hawa adalah penolong dalam menjaga dan memelihara taman (Kejadian 2:15). Yang lain mengusulkan penolong dalam hal melahirkan keturunan (Kejadian 1:28). Penafsir lain memilih untuk tidak membatasi bentuk pertolongan yang dapat diberikan oleh Hawa (Pengkhotbah 4:9-10, Amsal 31:10-31).
Nilai perempuan yang tersubordinasi diperparah lagi dengan pernyataan-pernyataan para teolog. John Calvin mengatakan “Laki-laki lebih superior terhadap perempuan karena Adam diciptakan lebih dulu daripada Hawa.” Marthen Luther bahkan pernah berkata, “Jika perempuan kelelahan dan meninggal karena melahirkan, biarkan mereka meninggal karena mereka dilahirkan untuk itu.”
Padahal, dalam kisah penciptaan manusia (Kejadian 2:8-23), Allah untuk pertama kali melihat hasil ciptaan-Nya dan mengatakan “tidak baik” ketika melihat Adam dalam kesendiriannya (Kejadian 2:18). Keseluruhan ciptaan Allah sejak hari pertama hingga kelima adalah sungguh amat baik—dalam bahasa Ibrani TovMe’od (Kejadian 1:31). Ini berbeda dengan penilaian Allah terhadap Adam.
Ketika Allah melihat bahwa manusia (Adam) itu seorang diri saja, Ia menjadikan seorang penolong yang sepadan baginya (Kejadian 2:18). Sangatlah jelas bahwa menjadikan dan memberikan penolong yang sepadan kepada Adam adalah inisiatif Allah. Dalam kisah ini, Allah ditampilkan bukan sekadar sebagai penilai, tetapi juga pemberi solusi.
Perempuan adalah nama yang diberikan oleh manusia pertama, yang berarti sebab ia diambil dari laki-laki (Kejadian 2:23). Sedangkan penolong adalah nama yang diberikan oleh Sang Pencipta kepada perempuan (Kejadian 2:18). Perempuan diciptakan atas inisiatif Tuhan sendiri sebagai solusi atas penilaian-Nya bahwa tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja.
Oleh karen itu, posisi Hawa sebagai “ezer” atau penolong harus dibedakan dengan pembantu. Dari sisi arti kata “ezer”maupun konteks Kejadian 1-2 tidak ada petunjuk yang mengarah pada inferioritas Hawa atas Adam. Bahkan dari 19 kali penggunaan kata “ezer” dalam Alkitab 16 diantaranya ditujukan pada Tuhan sebagai penolong umat-Nya (Kel:18:4; Ul 33:7,26,29; Mazmur 33:20, 70:6; 115:9-11).
Penolong dalam perjuangannya
Dalam realitas sehari-hari, kisah mama-mama di Mulia, yang walaupun terintimidasi, bahkan trauma akibat konflik bersenjata antara TNI/Polri dan TPN/OPM tetap harus ke kebun agar ada makanan di honai. Mama-mama menghidupi makna noken (dalam bahasa Lani disebut yum) sebagai simbol kehidupan dan harapan. Saat hidupnya terancam, dia (mama) tetap berperan sebagai penolong ibarat jantung yang bertanggung jawab memompa darah ke seluruh organ tubuh.
Seorang ibu di Kobakma yang mendapat stigma sosial masih tetap merasa terbeban untuk mengajar anak-anak dalam gereja demi pembentukan karakter mereka.
Penolong identik dengan kekuatan untuk memberi karena karakter dasarnya adalah kuat, kasih, lemah lembut dan rendah hati. Selain menghidupi makna yum, mama-mama juga telah bertanggung jawab sebagai “tiru” atau tiang penopang di dalam honai.
Sejarah telah membuktikan bahwa perempuan telah berperan langsung secara aktif dalam lahir dan berkembangnya gereja mula-mula pada abad pertama hingga berdirinya gereja di atas Tanah Papua. Injil yang seharusnya menjadi berita sukacita bagi orang yang hidup tertindas belum sepenuhnya menjadi berita sukacita bagi perempuan Papua. Walaupun dalam lingkaran kekuasan yang sangat patriarkis, perempuan Papua berjuang untuk hidup dan mempertanggungjawabkan nama penolong yang diberikan Sang Pencipta kepadanya. (*)
Penulis adalah Ketua Departemen Perempuan GIDI
Editor: Timo Marten