Penolakan jenazah korban covid-19 dapat “berujung pidana”

Ilsutrasi, sejumlah 7 pasien positif Covid-19 yang dinyatakan sembuh berfoto bersama tim medis RSUD Jayapura. - Jubi/Alex
Sejumlah 7 pasien positif Covid-19 yang dinyatakan sembuh berfoto bersama tim medis RSUD Jayapura. – Jubi/Alex

Oleh: Alfredo J.M. Manullang

Penyebaran coronavirus disease 2019 (covid-19) di dunia cenderung terus meningkat dari waktu ke waktu, menimbulkan korban jiwa dan kerugian material yang lebih besar, dan telah berimplikasi pada aspek sosial, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat.

Read More

Indonesia menjadi salah satu negara yang turut terkena imbas pandemik virus corona. Langkah antisipasi yang dilakukan oleh pemerintah hingga saat ini sudah cukup optimal; mulai dari penerbitan protokol kesehatan, peningkatan fasilitas kesehatan, pengurangan waktu operasional dan utilitas sebagian besar bandara, hingga pembentukan Gugus Tugas Percepatan Penanganan covid-19 melalui Keputusan Presiden  Nomor 7 tahun 2020.

Lebih lanjut, hingga 3 Mei 2020 pemerintah melalui Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 melaporkan jumlah pasien covid-19 sebanyak 11.192 kasus positif, 1.876 pasien sembuh dan 845 pasien meninggal dunia.

Kendati bukan perkara yang mudah, langkah yang diambil oleh pemerintah dalam upaya memutus mata rantai penyebaran covid-19 patut diapresiasi.

Namun, di sisi lain muncul masalah baru yang tak kala peliknya, yakni adanya penolakan terhadap pemakaman jenazah covid-19 di berbagai daerah.

Lantas apakah tindakan penolakan terhadap pemakaman jenazah covid-19 yang dilakukan oleh warga dapat dijerat pidana?

Penjelasan teoretis

Dalam doktrin hukum pidana dikenal adanya asas geen straf zonder schuld atau tiada pidana tanpa kesalahan sebagai dasar dapat dipertanggungjawabkan pelaku.

Kesalahan merupakan elemen terpenting dalam pertanggungjawaban pidana, yang salah satu unsurnya ialah adanya sikap batin antara pelaku dan perbuatan yang dilakukan.

Sikap batin inilah yang kemudian melahirkan bentuk kesalahan dalam hukum pidana berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa).

Syarat dari kesengajaan adalah mengetahui dan menghendaki, dengan demikian dolus malus atau niat jahat pelaku dapat dibuktikan. Kendatipun membuktikan adanya dolus, malus bukanlah hal yang mudah.

Dalam konteks hukum pidana materil pelaku penolakan terhadap pemakaman jenazah covid-19 dapat dipidana dengan pasal 178 KUHP.

“Barang siapa dengan sengaja merintangi atau menghalang-halangi jalan masuk atau pengangkutan mayat ke kuburan yang diizinkan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak seribu delapan ratus rupiah”.

Ketentuan di atas merupakan delik umum, artinya dapat ditindaklanjuti oleh polisi tanpa adanya aduan.

Berkaitan dengan hal tersebut, Bernard L. Tanya, menjelaskan bahwa ringannya ancaman hukuman pada pasal 178 KUHP karena para pembuat undang-undang pada masa itu mempertimbangkan kejadian semacam ini jarang sekali terjadi.

Selain ketentuan di atas, masyarakat yang masih menolak pemakaman jenazah covid-19 dapat dikenakan pasal 212 KUHP.

“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan melawan seorang pejabat yang sedang menjalankan tugas yang sah, atau orang yang menurut kewajiban undang-undang atau atas permintaan pejabat memberi pertolongan kepadanya, diancam karena melawan pejabat, dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.

Pasal 214 ayat (1) dan (2) KUHP:

  1. Paksaan dan perlawanan berdasarkan 211 dan 212 jika dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun;
  2. Yang bersalah dikenakan:
  1. Pidana penjara paling lama delapan tahun enam bulan, jika kejahatan atau perbuatan lainnya ketika itu mengakibatkan luka-luka;
  2. Pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika mengakibatkan luka berat;
  3. Pidana penjara paling lama lima belas tahun, jika mengakibatkan orang mati.

Pasal 14 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular.

  1. Barang siapa dengan sengaja menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah sebagaimana diatur dalam undang-undang ini, diancam dengan pidana penjara selama-lamanya 1 (satu) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 1.000.000.- (satu juta rupiah).
  2. Barang siapa karena kealpaannya mengakibatkan terhalangnya pelaksanaan penanggulangan wabah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan dan/atau denda setinggi-tingginya Rp500.000.- (lima ratus ribu rupiah).
  3. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah kejahatan dan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah pelanggaran.

Perlu diketahui bahwa, tindak pidana yang dimaksud dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1984 adalah yang hanya melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (1) undang-undang aquo.

Penulis berpendirian, bahwa sarana ketentuan hukum di atas haruslah dipandang sebagai “ultimum remedium” atau alat terakhir.

Tentu dengan mempertimbangkan keadaan masyarakat setempat antara lain: agama, adat, kebiasaan, tingkat pendidikan, sosial ekonomi, perkembangan masyarakat, serta perlu adanya penyuluhan yang intensif dan pendekatan persuasif edukatif.

Dengan demikian diharapkan masyarakat akan memberikan bantuannya, dan ikut serta dalam upaya penanggulangan wabah tersebut. (*)

Penulis adalah alumnus Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih Jayapura dan Magister Hukum Litigasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Related posts

Leave a Reply