Penguasa ceroboh membawa tujuh tapol Papua ke Kalimantan Timur

Pengadilan di Papua
Foto ilustrasi, Dewi Keadilan. – Pixabay
Dewi Keadilan – Jubi/Pixabay

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Oleh: Yosep Riki Yatipai

Read More

Apa yang orang Papua dan keluarga mau katakan? Maklum penguasa memberikan keraguan kepada rakyat Papua secara beruntun dan signifikan. Tujuh tahanan politik (tapol) Papua yang ditahan di Kalimantan Timur akibat dipersekusi dan dikatai dengan rasis, telah menerima ganjaran yang buruk dari pihak penguasa. Sebab, tindakan ini hanya memberikan kegelisahan mendalam terhadap rakyat Papua, khususnya keluarga para tahanan.

Penguasa segera memulangkan 7 tapol untuk disidangkan di Papua. Persoalan rasisme bermula ketika pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya dan mendapatkan tindakan persekusi dan ujaran rasis pada 16 dan 17 Agustus 2019. Kasus ini ditandai dengan reaksi orang-orang Papua dengan melakukan demonstrasi untuk melawan tindakan yang merendahkan harkat dan martabat orang Papua.

Seluruh orang Papua, entah sebagai pemimpin dan sebagai rakyat disebut dengan kata ‘monyet’. Tindakan rasis ini sudah dan masih sering diujarkan kepada orang Papua. Reaksi spontan orang Papua telah mencuri perhatian internasional, nasional, dan lokal. Kurang lebih aksi demonstrasi ini dilakukan pada 19-29 Agustus 2019.

Aksi yang dilakukan di seluruh dunia merupakan suatu rasa hormat terhadap nilai kemanusiaan yang urgen. Malum penguasa telah menghina orang Papua, yang membuat orang Papua merasa tidak dihargai sebagai manusia. Pemindahan tujuh tapol Papua ke Kaltim merupakan bukti kecerobohan penguasa dalam menangani kasus secara tidak bijaksana.

Kegelisahan orang Papua terhadap 7 tapol dan keluarga ialah tidak adanya kepastian informasi mengenai jaminan kesehatan, keamanan, kunjungan keluarga, dan pendampingan hukum.

Tanggal 4 Oktober 2019, Polda Papua melalui Direktorat Reserse Kriminal Umum mengeluarkan surat perihal pemberitahuan pemindahan tempat penahanan tersangka atas nama: Buchtar Tabuni (BT) sebagai Ketua II Komite Legislatif United Liberation Movement For West Papua (ULMWP), Agus Kossay (AK) sebagai Ketua Umum Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Alexander Gobay (AG) sebagai Presiden Mahasiswa Universitas Sains dan Teknologi Jayapura (USTJ), Hengky Hilapok (HH) sebagai Mahasiswa USTJ, Irwanus Uropmabin (IU) sebagai Mahasiswa USTJ, Fery B. Kombo (FK) sebagai Mantan Presiden Mahasiswa Universitas Cenderawasih Jayapura (Uncen).

Penahanan dan pemindahan tidak diketahui oleh orang Papua, terlebih keluarga para tahanan, sekertas pun tidak disampaikan kepada keluarga. Para tahanan dipindahkan tempat penahanannya dari Rutan Polda Papua ke Rutan Polda Kalimantan Timur di Balikpapan, sambil menunggu penetapan pengalihan tempat persidangan dari Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Rasanya, ada pemindahan yang tidak prosedural. Terkesan pemindahan dilakukan berdasarkan kepentingan sepihak.

Dimanakah posisi keadilan dan kemanusiaan bagi rakyat Papua? Situasi ini dapat dilihat dan dipandang sebagai kasus yang bermotif politik-ekonomi. Sebab, informasi terkait 7 tahanan dibungkam dan diredusir sedemikian rupa agar tidak diketahui oleh pihak manapun. Namun, setelah didesak oleh rakyat dan beberapa media, barulah mulai ada buka-bukaan terhadap khalayak umum.

Sekalipun demokrasi dibangun di atas dasar Pancasila ataupun sebaliknya, sebuah kepastian dari sebuah bangsa dan negara yang demokratis tetaplah hanya mimpi di siang “bolong”. Hukum justru bukan sebagai hukum, hukum justru menjadi ketakutan publik.

Sebenarnya siapa yang berhak dan berkewajiban penguasa ataukah rakyat? Bukankah rakyat perlu mengetahui hukum yang diterapkan penguasa? Yang katanya demi keamanan dan kesejahteraan rakyat. Pada kenyataannya, apa yang rakyat dapatkan? Apakah itu demokrasi? Ataukah Pancasila?

Transparansi hukum di Papua sangat minim dan hanya diketahui oleh orang-orang pintar pada jajaran elite politik. Tapol merupakan bukti yang nyata bagi orang Papua. Negara Indonesia belum bisa mengakomodir hukum sesuai dengan kebijakan di Papua.

Hari-hari ini persoalan Papua semakin memanas, setelah ujaran rasis terjadi. Kemudian seluruh pasukan pengamanan rasis diberangkatkan ke Pegunungan Papua. Rasanya, rasisme hanyalah suatu lompatan untuk menuju ke pegunungan. Sekarang ada apa di pegunungan? Benarkah untuk mengamankan OPM (Organisasi Papua Merdeka) di pegunungan? Jika demikian apa kesalahan mereka?

Masyarakat di Nduga dan Intan Jaya diliputi dengan ratap tangis dan kertak gigi terhadap tanah leluhurnya sendiri. Sebab, mereka harus mengungsi dari tempat asal mereka sendiri.

Persoalan Papua semakin mendramatisir dan mengada-ngada di Papua. Tahanan Politik yang diduga dan ditandai dengan separatis dalam aksi rasial berujung tak pasti. Aksi ujaran kebencian TNI bersama ormas yang bermula dari Surabaya dan Malang kepada orang Papua di asrama Papua, kemudian beralih di Papua menjadi reaksi separatis, yang juga memulangkan mahasiswa dari luar Papua.

Dua hal yang ditandai dengan ketidakadilan. Pertama orang Papua mengalami intimidasi dengan tindakan diskriminasi rasial, dan kedua, orang Papua dikepung dengan operasi psikologi pasukan di Papua. Tindakan ini (dianggap) tidak berperikemanusiaan, dengan penanganan yang tidak bijaksana.

Ada apa dengan penurunan pasukan dalam jumlah yang banyak dan penahanan tapol di beberapa daerah yang berlama-lama? Jika penahanan dilakukan secara hukum dan memiliki bukti, maka semestinya disidangkan dengan cepat. Tetapi, penanganan terkait tahanan politik rasial ini dilaksanakan di dalam situasi yang seolah-olah aman.

Setelah peristiwa itu, aparat keamanan di Jayapura dialihkan menuju wilayah pegunungan. Dalam hal tersebut, secara serta merta belum ada kejelasan tujuan dan maksud dari keberadaan aparat di wilayah pegunungan. Justru yang nyaring terdengar di telinga ialah adu senjata antara aparat dan OPM dan pengungsian rakyat setempat di pegunungan.

Momen penting terungkap pada sidang perdana bagi tujuh tapol Papua 11 Februari 2020. Mereka didampingi oleh 54 advokat yang berasal dari beberapa daerah, yakni: Kalimantan Timur, Jakarta, dan Papua. Dalam hal ini, menurut Gobai,  Sejak 31 Januari 2020, Pengadilan Negeri Balikpapan telah mengeluarkan Surat Penetapan Nomor: 34/Pid.B/2020/PN.Bpp yang didalamnya menjelaskan tentang waktu sidang 7 tapol Papua yang jatuh pada hari Selasa, 11 Februari 2020, Pukul : 09.00 WIT di Pengadilan Negeri Balikpapan (Kabarmapegaa.com, Kamis, 6/2/2020).

Maka dari itu, kita akan menunggu tindak lanjut dari proses persidangan yang akan dilangsungkan di Kalimantan Timur. Sekalipun persidangan tidak disaksikan oleh keluarga dan orang Papua di Papua, tetapi tetap diharapkan pengadilan yang dilaksanakan secara intens di Papua. Keluarga dan semua orang Papua dapat menyaksikan panorama politik pengadilan.

Oleh karena itu, para tahanan politik mesti dipulangkan. Namun dengan tidak mengurangi semangat, pihak yang berwajib agar dapat memberikan keputusan yang tidak merugikan, tetapi justru mengangkat harkat dan martabat orang Papua. Sebab, orang Papua adalah juga manusia yang mesti dihargai dan dihormati sebagai manusia. Manusia yang juga dikenal sebagai gambar dan citra Allah. (*)

Penulis adalah mahasiswa STFT Fajar Timur Abepura, Papua

Editor: Timo Marten

Related posts

Leave a Reply