Pengembangan seni budaya harus dimulai dari kampung

Tim Sanggar Nafas Danau Sentani yang tampil pada Konser Karawitan Anak Indonesia 2019 di Jakarta beberapa waktu lalu - Jubi/Engel Wally
Tim Sanggar Nafas Danau Sentani yang tampil pada Konser Karawitan Anak Indonesia 2019 di Jakarta beberapa waktu lalu – Jubi/Engel Wally

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Sentani, Jubi – Pengembangan potensi lokal seni dan budaya di setiap kampung di Kabupaten Jayapura belum begitu dimaksimalkan. Pengembangan potensi ini seharusnya dimulai saat ini dari setiap kampung, untuk mengubah pola pikir generasi muda saat ini yang rentan dengan pengaruh-pengaruh negatif oleh perkembangan zaman.

Read More

Hal ini dampak dari belum adanya ruang dan tempat bagi para seniman dan budayawan untuk berekspresi mengangkat seni dan budaya itu sendiri. Dengan tersedianya ruang dan tempat tersebut maka dipastikan banyak karya seni akan lahir dan dipertunjukkan secara umum sebagai suatu kebiasaan dan aktivitas positif bagi generasi muda saat ini.

Sekilas menegok kebelakang di era 80-90an di Kabupaten Jayapura, banyak sekali aktivitas dan yang bersifat seni dan budaya. Hal ini didukung dengan adanya pameran expo pembangunan di Waena Kota Jayapura yang setiap tahun dilaksanakan. Baik dalam kegiatan lomba, festival, pesta, dan juga pementasan umum lainnya.

Memasuki era 2000-an aktivitas tersebut seperti tertelan bumi dan generasi muda mulai tertarik dengan pengaruh budaya luar.

Seorang seniman di Kabupaten Jayapura, Kundrat Sokoy, mengatakan minimya ruang ekspresi bagi seniman dan budayawan di daerah ini mengakibatkan redupnya ekspresi dalam berkarya bagi para penggiat seni.

Selain itu, kata Sokoy, minat dan keinginan generasi muda dalam menekuni seni budaya lokal sangat minim.

“Anak-anak tidak dibiasakan untuk mengenal seni dan budaya lokal, padahal itu adalah jati diri mereka, tradisi yang turun temurun dari nenek moyang kita yang dilakukan dalam aktivitas hidup sehari-hari,” ujar Kundrat, saat ditemui di Sentani. Rabu (24/4/2019).

Menurutnya, tradsi dalam budaya dan seni harus dikembangkan di setiap kampung dengan dijabarkan dalam kehidupan sehari-hari.

Ia mencontohkan, seni dan budaya yang lazim dilakukan dalam kehidupan sehari-hari adalah menyanyi, menari, dengan menggunakan tifa, kerambut, akuilka, dan alat musik tradisional lainnya.

“Ini sebenarnya ruang yang tersedia, dalam lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat di kampung masing-masing,” ujarnya.

Secara kelembagaan, pemerintah daerah telah membentuk badan yang menangani soal seni dan budaya. Ada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Dewan Kesenian Papua, yang secara struktural terbentuk juga di masing-masing daerah kota dan kabupaten.

Lembaga ini dibentuk agar komunitas, kelompok, bahkan sanggar seni yang terbentuk secara swadaya oleh masyarakat dapat diakomodir dalam program kegiatan dan pengembangan minat serta bakat yang menghasilkan karya-karya seni yang dimiliki.

Bupati Jayapura, Mathius Awoitauw, mengatakan pengembanagn seni dan budaya di daerah yang dipimpinya ini cukup memberikan dampak positif dalam pengembangan program pembangunan yang secara umum dilakukan dalam pemerintahan.

Bupati menyebutkan Festival Danau Sentani (FDS), Festival Bahari Teluk Tanah Merah (FBTTM), Festival Masyarakat Adat Lembah Grime, dan Festival Makan Papeda adalah bagian-bagian yang secara kontinu dilakukan dalam rangka mendukung pengembangan seni dan budaya lokal di daerah ini.

“Aktivitas seni dan budaya sesungguhnya adalah bagian dari aktivitas hidup masyarakat sehari-hari dalam kehidupan masyarakat itu sendiri. Ini sudah digariskan sejak nenek moyang kita. Ruang dan kesempatan itu ada di masing-masing kampung, karena seni dan budaya lokal lingkupnya hanya sebatas di mana kampung itu berada,” katanya.

Ketua Aliakha Art Center (AAC), Markus Rumbino, mengatakan dalam konteks seni dan budaya lokal dimulai dari dalam keluarga, lingkungan kampung, dan masyarakat secara luas.

Sebagai pelaku seni, Markus juga mengakui adanya pergeseran nilai-nilai budaya di kalangan anak-anak muda saat ini.

“Pengalaman kami kemarin dalam Konser Karawitan Anak Indonesia, ketika bertemu anak-anak dari daerah lain, mereka berbicara dalam bahasa daerah mereka masing-masing setiap saat dalam kegiatan tersebut. Ketika pentas, anak-anak berusia 7-10 tahun bisa memainkan alat musik tradisional dengan baik. Hal ini menandakan bahwa pengenalan seni dan budaya sudah terbiasa dalam lingkup keluarga,” pungkasnya. (*)

Editor: Dewi Wulandari

Related posts

Leave a Reply