Penganiayaan anak di Sinak bukti negara tidak serius lindungi anak di Papua

Pelanggaran HAM di Papua
Prosesi perabuan jenazah Makilon Tabuni, anak yang diduga meninggal dunia setelah dianiaya sejumlah aparat keamanan di Sinak, Kabupaten Puncak. Jenazah Makilon Tabuni diperabuan di Sinak pada 24 Februari 2022. - IST

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Jayapura, Jubi – Tim Advokasi HAM untuk Papua mengutuk keras tindakan penganiayaan dan penyiksaan terhadap tujuh anak hingga menyebabkan satu diantaranya meninggal dunia. Mereka meminta Komnas HAM turun tangan mengusut kasus itu.

Tim Advokasi HAM untuk Papua itu merupakan koalisi sejumlah organisasi masyarakat sipil yang selama ini melakukan advokasi Hak Asasi Manusia (HAM). Mereka antara lain KontraS, YLBHI, Make West Papua Safe Campaign, Asia Justice and Rights, Southeast Asia Freedom of Expression Network, Elsham Papua, LP3BH Manokwari, Amnesty International Indonesia, TAPOL, KPKC SINODE GKI TP, Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua (YKKMP), Imparsial, dan Yayasan Pusaka Bentala Rakyat.

Read More

“Berdasarkan kronologis yang telah kami verifikasi, ketujuh anak tersebut diduga kuat dianiaya dan disiksa oleh aparat TNI karena dituduh mencuri senjata di PT Modern, Bandara Tapulunik Sinak, Kabupaten Puncak, Papua,” kata Tim Advokasi HAM untuk Papua dalam rilis media yang diterima Jubi, Rabu (2/3/2022).

“Peristiwa ini [pencurian senjata yang memicu aksi represif aparat keamanan] tentu menambah panjang deretan catatan buruk kekerasan oleh Aparat di Tanah Papua,” sambung koalisi tim Advokasi HAM untuk Papua.

Baca juga: Senjata dicuri, aparat lakukan penyisiran dan aniaya warga, 1 anak SD meninggal dunia

Berdasarkan kronologi yang telah verifikasi dan disusun oleh tim Advokasi HAM untuk Papua, pencurian senjata api prajurit TNI terjadi pada 22 Februari 2022. Senjata itu dicuri saat prajurit TNI berada di lokasi PT Modern yang berdekatan dengan Bandara Tapulunik Sinak, Kabupaten Puncak.

Kejadian itu terjadi pada malam hari, saat sejumlah aparat dan masyarakat sekitar bandara Tapulunik bermain toto gelap dan permainan dadu di sana. Saat itu, ada beberapa anak yang menonton televisi di lokasi yang sama.

Diduga, ada tiga orang yang melihat senjata api prajurit TNI di taruh. Mereka lalu mengambilnya, dan membawa lari senjata api itu. Setelah menyadari senjatanya hilang, sejumlah aparat keamanan menuduh bahwa anak-anak yang sedang nonton televisi sebagai pelaku pencurian senjata itu.

Kronologi yang disusun Tim Advokasi HAM untuk Papua menyebut ketujuh anak itu sama sekali tidak mengetahui kejadian dari pencurian senjata tersebut. Diduga, para aparat keamanan langsung melakukan kekerasan serta penyiksaan terhadap tujuh anak di bawah umur. Anak tersebut antara lain; DM (SD kelas 5), DK (SD Kelas 4), FW, EM, AM, WM dan almarhum Makilon Tabuni (SD Kelas 6).

Tim Advokasi HAM untuk Papua menyatakan tindakan penyiksaan yang dilakukan aparat keamanan membuat sejumlah anak terlukanya, bahkan satu orang meninggal dunia. Anak yang meninggal dunia bernama Makilon Tabuni.

“Jenazah almarhum kemudian diperabukan di depan Kantor Polsek Sinak,” kata Tim Advokasi HAM untuk Papua dalam laporannya.

Adapun enam korban lainnya saat ini sedang dalam perawatan di Puskesmas Sinak. Beberapa anak yang mendapatkan luka sangat parah.

Tim Advokasi HAM untuk Papua menyatakan kejadian penyiksaan tujuh orang anak di Kabupaten Puncak itu semakin mempertegas kentalnya kultur kekerasan yang digunakan oleh aparat TNI/Polri yang sedang bertugas di Papua.

“Selain menambah daftar panjang pelanggaran HAM, peristiwa ini juga memperkuat anggapan bahwa negara tidak mampu untuk menyelesaikan masalah sistemik dan mengakar di Papua. Alih-alih menyelesaikan peristiwa kekerasan dan pelanggaran HAM sebelumnya secara adil, pemerintah cenderung resisten dan menggunakan pendekatan yang sama,” tegas Tim Advokasi HAM untuk Papua.

Laporan Tim Advokasi HAM untuk Papua menyatakan dugaan tindakan penyiksaan itu dalam tataran internasional merupakan bagian dari ius cogens, sehingga tidak dapat diperkenankan dalam situasi apapun. Norma tersebut juga senada dengan mandat Konstitusi yang menyebutkan bahwa hak untuk tidak disiksa sebagai bagian dari hak yang tidak dapat dikurangi.

Selain itu, Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan (UNCAT) lewat Undang-undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Marabat Manusia. Tim Advokasi HAM untuk Papua menilai tindakan yang dilakukan aparat tersebut juga melecehkan semangat perlindungan anak yang menghendaki anak dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

“Jikapun tuduhan pencurian tersebut benar, seharusnya pendekatan yang digunakan adalah melalui sistem peradilan pidana sebagaimana diatur oleh KUHAP. Bukan main hakim sendiri dengan penyiksaan,” ujar Tim Advokasi HAM untuk Papua.

Ketujuh anak yang menjadi korban dianiaya penyiksaan tentu bukan peristiwa yang pertama kali terjadi. Anak-anak di Papua kerap menjadi korban dan kambing hitam atas konflik kemanusiaan yang terjadi selama ini.

Tim Advokasi HAM untuk Papua menyebut masih segar di ingatan terdapat dua bayi berumur di bawah lima tahun (balita) yang menjadi korban salah tembak saat terjadinya kontak senjata di Papua. Hingga saat ini kasus tersebut pun tak pernah diungkap secara tuntas.

Baca juga: Pemerintah didesak tarik pasukan militer dari Puncak

Rentetan peristiwa kekerasan ini juga menegaskan ketidakseriusan negara dalam melindungi dan menghadirkan rasa aman bagi anak di Papua. Tim Advokasi HAM untuk Papua mendesak negara bertanggung jawab dengan mengusut tindakan penyiksaan terhadap tujuh anak itu  secara transparan dan akuntabel.

Tim Advokasi HAM untuk Papua juga meminta jajaran TNI/Polri menghukum seluruh anggotanya yang terbukti terlibat dalam tindakan penyiksaan. Selain itu, pemerintah diminta melakukan pemulihan secara optimal baik secara fisik dan psikis terhadap enam korban anak yang sedang dirawat, serta melakukan pemulihan yang efektif kepada keluarga korban yang anaknya meninggal dunia.

Tim Advokasi HAM untuk Papua meminta Komnas HAM segera melakukan penyelidikan dan mengungkap dugaan pelanggaran HAM yang terjadi dalam insiden itu. Komnas HAM juga diminta mengawal agar penghukuman kepada seluruh aparat keamanan yang terlibat.

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban serta Komisi Perlindungan Anak Indonesia juga diminta bergerak secara proaktif mendampingi dan melindungi keluarga korban, termasuk anak-anak serta menjalankan pemulihan yang efektif. (*)

Editor: Aryo Wisanggeni G

Related posts

Leave a Reply