Oleh: Aleksius G.

Persoalan diskriminasi dan rasial menjadi topik hangat akhir-akhir ini, baik di tingkat dunia, maupun Indonesia dan Papua. Pada Agustus 2019 silam, persoalan rasis terjadi di negara yang kita cintai ini, tepatnya di Kota Surabaya, Jawa Timur.

Ketika itu mahasiswa Papua dari asrama Papua di Surabaya menjadi semprotan dengan ujaran “monyet dan usir Papua” bahkan kata-kata lain yang melecehkan harkat martabat orang Papua.

Ujaran yang dikeluarkan itu berasal dari ormas dan oknum aparat keamanan yang mengepung asrama Papua di Surabaya.

Dalam menanggapi ujaran rasialis dan diskriminatif terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, rakyat Papua dan mahasiswa Papua di seluruh kota/kabupaten, baik Provinsi Papua, maupun Papua Barat, turun ke jalan.

Aksi menentang ujaran rasis terhadap orang Papua itu dilakukan secara spontanitas. Mereka yang turun ke jalan tidak hanya orang asli Papua (OAP), tetapi juga non-OAP, baik PNS, karyawan swasta, maupun rakyat kecil dan mahasiswa.

Aksi mereka didasarkan atas solidaritas kemanusiaan dan bahwa tindakan rasisme dilarang di negara Indonesia, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

Penentangan terhadap tindakan rasialis dan diskriminatif terhadap sesama warga negara memang harus dibela, apalagi negara Indonesia terdiri dari berbagai macam suku, bahasa, agama, ras dan golongan, sehingga dalam kehidupan bernegara mereka harus saling menghargai.

Kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum sebagaimana dimuat di dalam Undang-Undang Nomor 9 tahun 1998, dan kebebasan berkumpul dan berserikat yang diatur dalam undang-undang, juga menjadi landasan yang harus dijunjung tinggi sebagai konsekuensi dari negara demokrasi.

Atas dasar itu, mahasiswa dari unsur akademik yang dilindungi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2002 tentang Perguruan Tinggi memiliki sikap dan kewajiban untuk menyuarakan sesuatu demi menjaga dan melindungi negara dari sikap yang membeda-bedakan suku dan rasis, apa lagi mendiskriminalisasi antarsesama.

Kewajiban mahasiswa telah melakukan perlindungan terhadal ideologi Pancasila. Hal itu mesti dilindungi dan dihargai negara dalam rangka menjaga intoleransi dalam satu bangsa.

Mahasiswa dari seluruh pimpinan BEM se-Jayapura dan Cipayung (GMKI, HMI, GMNI, PMKRI) Cabang Jayapura mengorganisir massa di Kota Jayapura dalam rangka menentang rasisme di tanah Papua. Bahwa ujaran rasisme bagi orang Papua adalah sikap yang melecehkan orang Papua.

Oleh sebab itu, negara mempunyai kewajiban untuk melindungi warganya demi menjunjung tinggi nilai Pancasila.

Aksi protes rasisme di Jayapura dan beberapa kota/kabupaten baik Papua dan Papua barat adalah aksi spontanitas rakyat Papua, karena ujaran rasis dan diskriminasi terhadap orang Papua berkali-kali disampaikan dalam seluruh sektor.

Rasisme mengakibatkan orang Papua marah hingga berunung pada anarkhistis.

Kericuhan kemudian berujung pada penangkapan terhadap sejumlah OAP, baik mahasiswa, maupun rakyat biasa.

Mereka ditangkap dan ditahan di kota yang berbeda-beda. Ada yang ditahan dan diadili di Jakarta, Papua, Papua Barat dan Kalimantan Timur.

Tahanan di Jakarta yang dituduh dengan pasal makar divonis 8 dan 9 bulan penjara dan mereka sudah bebas. Tahanan di Nabire dengan pasal penghasutan divonis 7 bulan penjara dan sudah bebas.

Namun, di Jayapura mereka dituduh dengan pasal penghasutan dan divonis 7 bulan penjara dan sedang menjalani kasasi di MA, sedangkan tahanan di Sorong, Papua Barat yang dituduh dengan pasal makar divonis 8 bulan 15 hari dan sudah bebas.

Sementara di Kalimantan Timur mengalami persoalan yang sama, yakni menentang rasisme dan diskriminasi dan mereka masih ditahan dan sedang menjalani persidangan. Kini masuk pada agenda tuntutan.

Buchtar Tabuni (aktivis Papua) dituntut 17 tahun penjara dan Irwanus Uropmabin (Mahasiswa) dituntut 5 tahun penjara.

Sedangkan Agus Kosay (aktivis Papua) dan Feri Kombo (mahasiswa) akan masuk agenda tuntutan pada Kamis 4 Juni 2020, dan Alexander Gobai (mahasiswa) bersama Hengky Hilapok (mahasiswa) dan Steven Itlay (aktivis Papua) akan masuk agenda tuntutan pada Jumat, 5 Juni 2020.

Sikap negara dalam hal ini penegak hukum, baik jaksa, maupun hakim perlu menuntut dan memutuskan persoalan kasus menentang tindakan rasial dengan bijak dan profesional.

Anehnya, pelaku ujaran rasisme di Surabaya justru divonis 5 dan 7 bulan penjara, sedangkan korban rasisme (OAP) dituntut dan divonis lebih lama dari pelaku ujaran rasisme di Surabaya.

Tuntutan yang diberikan jaksa untuk tujuh tahanan Papua di Balikpapan, Kalimantan Timur, yang merupakan pendemo menentang rasisme sangat diskriminatif dan tidak adil. Penentang rasisme di Papua merupakan sikap orang-orang yang menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila.

Situasi menentang rasial di Amerika

Negara Indonesia perlu melihat dampak dan sikap sebuah negara demokrasi, Amerika Serikat yang menjunjung nilai-nilai demokrasi.

Rakyat Amerika Serikat, baik orang kulit putih, maupun orang kulit hitam turun aksi/demonstrasi untuk menentang rasisme dan diskriminasi.

Sikap polisi Amerika Serikat malah berlutut dan meminta maaf kepada pendemo, meski bendera Amerika dibakar, dan kerusuhan besar-besaran tidak ditindaklanjuti aparat penegak hukum.

Bagaimana dengan negara Indonesia yang menganut demokrasi?

Ujaran rasisme dan diskriminasi terhadap sesama suku-suku lain sangat kejam dan sangat berbahaya. Aksi menentang rasisme di Papua hampir sama dengan aksi menentang rasisme di Amerika Serikat.

Negara dalam hal ini penegak hukum, baik jaksa, maupun hakim, mesti jeli melihat perkara rasisme yang sedang dituntut dan akan divonis terhadap tujuh tahanan di Balikpapan.

Mereka harus dituntut dan divonis dengan seadill-adilnya. (*)

Penulis adalah mahasiswa Papua, tinggal di Jayapura