Papua No. 1 News Portal | Jubi
Stung Treng, Jubi – Peneliti mengumpulkan sampel dari kelelawar di wilayah Kamboja Utara guna memahami pandemi Covid-19. Cara yang dilakukan dengan mengembalikan kelelawar ke tempat asal virus yang nyaris serupa ditemukan di hewan tersebut satu dekade lalu.
Tercatat dua sampel dari kelelawar tapal kuda dikumpulkan pada 2010 di Provinsi Stung Treng dekat Laos dan disimpan dalam lemari pembeku di Institut Pasteur du Cambodge (IPC) di Phnom Penh.
Baca juga : Cina tolak rencana penyelidikan Covid-19 oleh WHO
Tim WHO di Wuhan, sejumlah misteri corona yang belum terjawab
China tak terima dengan tuduhan menutup data ke tim WHO
Pengujian dilakukan pada kelelawar tersebut tahun lalu dan hasilnya sangat berhubungan erat dengan virus corona yang telah menyebabkan kematian lebih dari 4,6 juta orang di seluruh dunia.
Tim peneliti IPC yang beranggotakan delapan orang telah mengumpulkan sampel dari kelelawar dan mencatat spesies, jenis kelamin, usia, dan informasi rinci lain dari mereka selama satu minggu. Penelitian yang sama juga tengah dilakukan di Filipina.
“Kami berharap hasil dari penelitian ini dapat membantu dunia untuk lebih memahami tentang Covid-19,” koordinator lapangan Thavry Hoem kepada Reuters saat ia memegang sebuah jaring untuk menangkap kelelawar, dikutip Antara dari Reuters, Selasa, (16/11/2021).
Spesies-spesies inang, seperti kelelawar, biasanya tidak menunjukkan gejala patogen tetapi jenis-jenis itu berpotensi merusak jika ditularkan ke manusia atau hewan lainnya.
Kepala Virologi IPC, Dr.Veasna Duong, mengatakan telah melakukan empat perjalanan dalam dua tahun belakangan, berharap menemukan petunjuk tentang asal dan evolusi virus yang ditularkan dari kelelawar.
“Kami ingin mencari tahu apakah virus itu masih berada di sana dan mengetahui bagaimana virus itu berevolusi,” katanya.
Virus mematikan yang berasal dari kelawar termasuk Ebola dan virus-virus corona lainnya, seperti Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) and Middle East Respiratory Syndrome (MERS).
Namun, Veasna mengatakan manusia bertanggung jawab atas kekacauan yang disebabkan Covid-19 akibat gangguan dan perusakan habitat alami.
“Jika kita mencoba mendekati satwa liar, peluang tertular virus yang dibawa oleh mereka lebih banyak dari normal. Peluang virus untuk bertransformasi untuk menginfeksi manusia juga lebih banyak,” kata Veasna menjelaskan.
Proyek yang didanai Prancis tersebut juga bertujuan melihat bagaimana perdagangan satwa liar bisa berperan, kata Julia Guillebaud, insinyur peneliti di Unit Virologi IPC.
“Proyek ini bertujuan memberikan pengetahuan baru terkait rantai perdagangan daging satwa liar di Kamboja, mendokumentasikan keragaman betacoronavirus yang beredar melalui rantai tersebut dan mengembangkan sistem deteksi dini yang fleksibel dan terpadu dari peristiwa penyebaran virus,” kata Guillebaud. (*)
Editor : Edi Faisol
Papua No. 1 News Portal | Jubi
Stung Treng, Jubi – Peneliti mengumpulkan sampel dari kelelawar di wilayah Kamboja Utara guna memahami pandemi Covid-19. Cara yang dilakukan dengan mengembalikan kelelawar ke tempat asal virus yang nyaris serupa ditemukan di hewan tersebut satu dekade lalu.
Tercatat dua sampel dari kelelawar tapal kuda dikumpulkan pada 2010 di Provinsi Stung Treng dekat Laos dan disimpan dalam lemari pembeku di Institut Pasteur du Cambodge (IPC) di Phnom Penh.
Pengujian dilakukan pada kelelawar tersebut tahun lalu dan hasilnya sangat berhubungan erat dengan virus corona yang telah menyebabkan kematian lebih dari 4,6 juta orang di seluruh dunia.
Tim peneliti IPC yang beranggotakan delapan orang telah mengumpulkan sampel dari kelelawar dan mencatat spesies, jenis kelamin, usia, dan informasi rinci lain dari mereka selama satu minggu. Penelitian yang sama juga tengah dilakukan di Filipina.
“Kami berharap hasil dari penelitian ini dapat membantu dunia untuk lebih memahami tentang Covid-19,” koordinator lapangan Thavry Hoem kepada Reuters saat ia memegang sebuah jaring untuk menangkap kelelawar, dikutip Antara dari Reuters, Selasa, (16/11/2021).
Spesies-spesies inang, seperti kelelawar, biasanya tidak menunjukkan gejala patogen tetapi jenis-jenis itu berpotensi merusak jika ditularkan ke manusia atau hewan lainnya.
Kepala Virologi IPC, Dr.Veasna Duong, mengatakan telah melakukan empat perjalanan dalam dua tahun belakangan, berharap menemukan petunjuk tentang asal dan evolusi virus yang ditularkan dari kelelawar.
“Kami ingin mencari tahu apakah virus itu masih berada di sana dan mengetahui bagaimana virus itu berevolusi,” katanya.
Virus mematikan yang berasal dari kelawar termasuk Ebola dan virus-virus corona lainnya, seperti Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) and Middle East Respiratory Syndrome (MERS).
Namun, Veasna mengatakan manusia bertanggung jawab atas kekacauan yang disebabkan Covid-19 akibat gangguan dan perusakan habitat alami.
“Jika kita mencoba mendekati satwa liar, peluang tertular virus yang dibawa oleh mereka lebih banyak dari normal. Peluang virus untuk bertransformasi untuk menginfeksi manusia juga lebih banyak,” kata Veasna menjelaskan.
Proyek yang didanai Prancis tersebut juga bertujuan melihat bagaimana perdagangan satwa liar bisa berperan, kata Julia Guillebaud, insinyur peneliti di Unit Virologi IPC.
“Proyek ini bertujuan memberikan pengetahuan baru terkait rantai perdagangan daging satwa liar di Kamboja, mendokumentasikan keragaman betacoronavirus yang beredar melalui rantai tersebut dan mengembangkan sistem deteksi dini yang fleksibel dan terpadu dari peristiwa penyebaran virus,” kata Guillebaud. (*)
Editor : Edi Faisol