Penderitaan: Bukanlah hukuman atas dosa, tetapi panggilan untuk terlibat (Refleksi filosofis atas La Peste)

RP David Dapi Losor, OFM – Jubi/Timo Marten
RP David Dapi Losor, OFM – Jubi/Timo Marten

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Oleh: RP David Dapi Losor, OFM

Read More

Kehidupan manusia tidak pernah terlepas dari penderitaan. Cepat atau lambat manusia pasti mengalami penderitaan dalam hidupnya.

Di hadapan penderitaan itu manusia cenderung merasa dirinya tidak mampu. Manusia merasa dirinya kecil dan tidak berdaya ketika diliputi penderitaan. Bahkan ada pula orang yang mengalami depresi ketika dihinggapi penderitaan yang datang bertubi-tubi dalam hidupnya.

Akibatnya muncul pandangan tradisional yang mengkaitkan penderitaan dengan dosa, sehingga ketika berhadapan dengan penderitaan ada orang yang meragukan kebaikan Allah. Allah harusnya memberi makna kepada hidup tetapi justru begitu banyak penderitaan yang terjadi (Smith, 2000: 221).

Akibatnya ketika seseorang mengalami penderitaan dalam hidupnya, orang lain langsung menghakimi bahwa itu adalah akibat dari dosa-dosa yang diperbuatnya. Ia pantas menanggung penderitaan itu.

Di situlah letak keadilan Allah. Ia memberikan ganjaran kepada orang sesuai dengan perbuatannya.

Di hadapan situasi seperti itu muncul pertanyaannya, apakah penderitaan itu sejatinya adalah hukuman atas dosa? Dan bagaimana seharusnya manusia bersikap di hadapan penderitaan?

Dua pertanyaan ini akan kita dalami bersama Albert Camus dengan novelnya berjudul La Peste.

La Peste dan para tokoh yang terlibat di dalamnya

Di tengah pandemi covid-19 ini, saya teringat akan salah satu novel yang ditulis Albert Camus, filsuf berkebangsaan Perancis yang berjudul La Peste.

Novel ini kemudian diterjemahkan oleh N. H. Dini ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Sampar. Sementara La Peste sendiri ditulis tahun 1942 dan baru diterbitkan tahun 1947.

Kisah tentang sampar terjadi di Oran tahun 1940-an. Oran adalah sebuah kota di Pantai Aljazair. Keadaan musim di kota Oran tidak jauh berbeda dengan tempat-tempat lain di Eropa yang mempunyai empat musim (Dini, 1985: 1).

Bencana sampar adalah sebuah kejahatan tak bernama. Ia jahat karena ia membunuh siapa saja yang ada dalam jangkauannya. Bencana yang datang dan menyebabkan kematian menyadarkan kita, membuat kita bertanya dan merasa “terlibat” (Wibowo, 2011: 56).

Kepasrahan seolah menjadi sebuah jalan terakhir tanpa harus mempermasalahkan siapa yang harus bertanggung jawab atas bencana itu.

Di dalam Sampar, kita menjumpai bermacam-macam tipe yang muncul. Ada tipe orang yang terlibat karena merasa terjepit oleh situasi yang sedang terjadi. Ia merasa kesehariannya diganggu oleh berita-berita yang membuatnya harus berpikir tentang bencana yang menyebabkan penderitaan dan kematian yang tragis.

Tipe orang seperti ini terwakilkan oleh tokoh Raymond Rambert (Wibowo, 2011: 57). Dia adalah seorang wartawan yang kebetulan berada di Oran ketika sampar mewabah di kota itu.

Di hadapan situasi seperti itu, tentu saja ia ingin keluar dari kota itu agar tidak tertular dari wabah itu. Ia merasa bahwa penderitaan yang dialami oleh orang Oran bukanlah bagian dari dirinya, ia hanya seorang asing.

Ia berusaha mengerahkan segala daya upaya, baik legal, maupun illegal agar bisa keluar dari kemelut itu (Wibowo, 2011: 60). Kebahagiaannya yang sesungguhnya ialah bahwa kekasihnya sedang menunggunya untuk menikah dengannya. “Manusia hanya bisa mati atau hidup untuk apa yang dicintainya” (Camus, 1947: 180), bukan yang lainnya.

Sikap seorang politikus diwakili oleh Tarrou. Ketika ia masih terlibat dalam dunia politik di sana ia harus berhadapan dengan situasi di mana pembunuhan terhadap sesama manusia adalah hal yang wajar. Sejak saat itu ia memutuskan untuk “menolak siapa saja yang mengajak dan membenarkan tindakan pembunuhan dalam bentuk apapun” (Camus, 1947: 275).

Sejak penolakannya itu, ia sungguh-sungguh merasa bahwa ia terasing dari masyarakatnya (Camus, 1947: 276). Di hadapan bencana sampar itu ia merasa bahwa moral baginya adalah simpati dan pemahaman terhadap sesamanya (Camus, 1947: 277).

Dalam situasi seperti itu ia berusaha mencari perdamaian dengan dirinya sendiri. Usaha itu ditempuhnya dengan bersimpati dan mengerti penderitaan sesamanya. Tidak mengherankan bahwa ketika sampar melanda Oran, ia langsung terlibat di sisi korban.

Di sini sebenarnya kita bisa mengetahui inti terdalam dari jiwa Camus tentang penderitaan yaitu sebagai panggilan untuk “terlibat” di samping korban.

Novel ini juga mengangkat tipe orang yang sungguh-sungguh terlibat secara konkret dan aktif menolong para korban. Tipe orang seperti ini tampak dalam diri dokter Rieux.

Ia tidak banyak berargumen, atau bahkan mempertanyakan tentang kenyataan dari bencana sampar itu. Dalam situasi seperti itu, para penderita membutuhkan bantuan berupa tindakan konkret daripada hanya sekadar kata-kata abstrak yang menghibur.

Dokter Rieux menjadi representasi dari watak sang penulis novel yaitu Albert Camus sendiri. Bagi Camus, kebatilan dari sebuah bencana mesti diatasi dengan “moral keterlibatan” (Wibowo, 2011: 58).

Dokter Rieux berusaha untuk berjuang di sisi korban. Ia berusaha untuk menyembuhkan mereka meskipun hanya kematianlah yang ia hadapi. Kenyataan itu tidak membuat ia patah semangat, “saya menjalankan apa yang harus saya jalankan, kewajiban saya” (Camus, 1947: 125,129,146).

Ia melihat bahwa “makna” di balik perjuangannya itu ialah tidak lebih dari sebuah usaha untuk “memperlambat” datangnya kematian para pasien. Meskipun demikian, ia tetap tegar dalam menghadapi situasi itu (Wibowo, 2011: 68).

Ia yakin bahwa dasar pijakannya bukan Tuhan, ataupun janji tentang hidup yang kekal setelah kematian. Kekuatannya justru terletak pada kesadarannya bahwa apa yang dilakukannya itu semata-mata karena bertumpu pada nilai kemanusiaannya, karena dalam diri manusia ada lebih banyak hal untuk dikagumi daripada untuk dicela (Camus, 1947: 334). Semacam insting moral dalam pijakan nilai moral kodrati untuk memihak korban, untuk menjadi saksi terlibat yang menyuarakan nasib korban.

Rieux telah menunjukkan betapa luhurnya martabat seorang manusia ketika ia berusaha untuk mempertahankan martabat sesamanya di hadapan penderitaan.

Pastor Paneloux juga adalah salah satu tokoh yang dimunculkan oleh Camus dalam novel itu.

Kehadiran Paneleux menjadi simbol para religius yang selalu menekankan hal-hal yang bersifat religius lewat kata-kata penghiburan yang abstrak. Ia merasa bahwa sampar adalah sesuatu yang abstrak: wabah sampar merupakan representasi dari sesuatu yang lain daripada wajah para korban yang ada di depan matanya (Wibowo, 2011: 63).

Ketidaktahuannya terhadap yang konkret ini justru membuat dia berani untuk mengatakan bahwa sampar adalah suatu kebenaran yang seharusnya ada. Apalagi dengan segala kecerobohannya ia langsung menilai bahwa sampar adalah pewahyuan dari sebuah kebenaran yaitu, “Tuhan menghukum kita” (Wibowo, 2011: 63).

Pandangan Paneloux tentang sampar sebagai hukuman dari Tuhan itu terungkap dalam sebuah petikan khotbahnya pada suatu kesempatan kebaktian di sebuah katedral, “Saudara-saudaraku, saat ini kalian sedang bersusah hati. Kalian memang pantas mendapat itu” (Camus, 1947: 108).

Pernyataan pastor ini secara tidak langsung menuduh orang Oran bahwa merekalah yang menjadi penyebab timbulnya bencana sampar.

Pernyataan Paneleux bisa jadi dilatarbelakangi oleh cerita kitab suci tentang pembalasan Allah terhadap orang-orang yang jahat. Banyak bagian kitab suci (Kristen) khususnya Perjanjian Lama menunjukkan hal demikian, bahwa Allah selalu berpihak pada orang yang benar dan menghukum orang yang bersalah. Itulah keadilan Allah.

Di sinilah kelemahan pastor Paneloux yang tidak melihat kisah Ayub. Ayub terkenal sebagai seorang yang saleh, takut akan Allah tetapi justru mengalami penderitaan dalam hidupnya.

Paneloux berusaha meyakinkan orang Oran bahwa kelembutan dan cinta Tuhan secara nyata tampak lewat bencana sampar (Camus, 1947: 110).

Kotbah yang disampaikan oleh Paneloux tidak bermaksud untuk menyatakan kebencian seorang gembala kepada dombanya, apalagi menunjukkan bahwa Allah itu Mahabenci.

Ia mencoba mendamaikan apa yang secara abstrak dengan kenyataan sampar yang menimpa Oran.

Paneluox yakin bahwa kebaikan Tuhan tak terbatas, dan sedemikian tak terbatasnya sampai Tuhan menyatakan kebaikan-Nya lewat penderitaan, jerit kemalangan dan kematian. Dalam iman religiusnya, Paneloux yakin bahwa peristiwa setragis apapun yang kita alami dalam hidup, semuanya itu menyimpan maksud Tuhan yang baik bagi kita (Wibowo, 2011: 64).

Pada akhirnya pikiran Paneloux berubah. Ia mulai terlibat membantu para korban sampar. Perubahan sikap Paneloux ini disebabkan karena ia melihat secara langsung seorang anak meregang nyawa karena sampar. Di saat itulah ia mulai melihat wajah konkret korban sampar (Camus, 1947: 227).

Paneloux pun berhenti pada abstraksinya. Pengalaman kematian anak kecil itu menjungkirbalikkan gejolak jiwa Paneloux (Wibowo, 2011: 65). Secara tidak langsung konsepnya yang dulu tentang penderitaan sebagai akibat dari hukuman Tuhan atas dosa manusia perlahan-lahan mulai menguap. Kematian seorang anak yang “tidak berdosa” dengan jelas menunjukkan bahwa ia mati karena sampar bukan karena dosa.

Gagasan Albert Camus tentang penderitaan di dalam Sampar

Bagi Camus, ciri paling dalam dunia manusia adalah absurditasnya. Dunia ini, dan hidup manusia di dalamnya tidak masuk akal. Pengalaman dasar manusia adalah penderitaan.

Keabsurdan itulah bagi Camus menunjukkan tanda bahwa tidak ada Allah (Suseno, 2006: 99). Kalau memang ada Allah tidak mungkin dunia manusia itu absurd.

Ateisme Camus ini dengan demikian dilihat sebagai implikasi masalah penderitaan dan kejahatan di dunia (Suseno, 2006: 100).

Camus berpendapat bahwa di hadapan penderitaan itu, hal yang diperlukan ialah terlibat atas penderitaan mereka, bukan mementingkan keselamatan diri sendiri. Penderitaan yang dialami adalah penderitaan kolektif meskipun yang dirasakan secara personal oleh setiap orang.

Atau dengan kata lain penderitaan seseorang menjadi penderitaan bersama. Tidak ada gunanya mengusahakan kesalehan pribadi sementara penyakit bisa menimpa siapa saja.

Persis di sinilah terletak kelemahan dari gagasan Camus tentang hidup manusia yang absurd. Di satu sisi, ia mengatakan bahwa hidup itu absurd, tetapi di sisi lain, ia menonjolkan betapa hidup itu berarti sehingga harus diperjuangkan.

Di hadapan penderitaan orang dipanggil untuk terlibat tanpa harus berfilsafat. Tetapi untuk apa jika orang berjuang melawan penderitaan kalau hidup itu absurd?

Camus mengatakan bahwa hidup itu absurd tetapi di dalam novel Sampar kita dapat melihat dengan jelas sikap Camus yang terwakilkan dalam diri Dr. Rieux, berjuang dengan gigih untuk menyelamatkan para korban dari penyakit sampar.

Secara tidak langsung Camus mau mengatakan bahwa hidup itu sebenarnya tidak absurd. Hidup itu punya makna sehingga diperjuangkan. Makna hidup itu tak terkatakan tetapi terwujud lewat tindakan. Tindakan adalah pengabdian pada hidup.

Pengabdian pada hidup harus memiliki dasar yang lebih dalam tentang hal yang besar dalam hidup ini.

Di sini perlu sebuah harapan yang diletakkan pada “Penguasa” kehidupan abadi. Tanpa itu, apapun usaha seseorang akan sia-sia.

Penderitaan: pengalaman dari hakikat manusia yang tidak sempurna

Di hadapan penderitaan itu, sikap manusia yang wajar ialah menerima penderitaan itu sebagai bagian dari dirinya. Gejala yang umumnya terjadi ialah orang cenderung memilih untuk lari dari penderitaan. Penderitaan adalah konsekuensi dari manusia sebagai makhluk berperasaan.

Semakin berkembangnya perasaan dan kesadaran dalam makhluk-makhluk hidup itu, semakin besar pula kemampuannya menderita (Leahy, 1994: 273). Karena kodrat manusia adalah makhluk hidup yang berperasaan, maka manusia tidak bisa tidak menerima penderitaan itu.

Di hadapan penderitaan hendaknya manusia tidak boleh putus asa. Sikap yang harus ditunjukkan oleh manusia ialah sikap heroik (Sunarko, 2005: 217).

Sikap yang sama ini tentu saja sesuai dengan jiwa dari Camus dalam Sampar lewat peran dokter Rieux, sang dokter yang terus berupaya untuk memerangi sampar meskipun kelihatannya tidak ada harapan.

Gambaran Allah di hadapan penderitaan itu tetap baik adanya karena pada hakikatnya Allah itu Mahabaik. Karena Allah itu baik, maka tidak mungkin lahir dari pada-Nya sesuatu yang jahat (Sunarko, 2005: 212). Sesuatu yang jahat justru berasal dari manusia.

Manusia dianugerahkan kebebasan oleh Allah. Namun kebebasan itu disalahgunakan oleh manusia untuk sesuatu yang jahat sehingga mengakibatkan penderitaan bagi dirinya.

Penderitaan sebagai konsekuensi dari penyalahgunaan kehendak bebas itu sekurang-kurangnya bisa meminimalisir pandangan tradisional tentang penderitaan sebagai akibat dari dosa, sehingga ketika orang berhadapan dengan penderitaan, orang berhadapan dengan realitas yang sungguh-sungguh manusiawi. Orang tidak berhadapan dengan dosa atau orang yang berdosa.

Tidak dapat disangkal bahwa penderitaan itu sendiri telah membuat orang meragukan eksistensi Allah yang tidak kelihatan. Dalam dunia ini kejahatan dan penderitaan merupakan sebab utama orang menjadi ragu-ragu bahwa apakah memang ada Allah yang baik yang menciptakan dan memelihara alam raya dengan manusia yang ada di dalamnya (Suseno, 2005: 233). Muncul segala macam bentuk bencana seperti gempa bumi, kecelakaan, pembunuhan, sakit-penyakit (covid-19).

Tuhan telah memberikan kepada manusia sebuah dunia yang layak dihuni. Tentu saja diperlukan adanya hukum yang mengatur segala sesuatu yang ada di dalamnya. Hukum itu sudah ada dari awal hingga keabadian. Itulah hukum alam.

Hukum-hukum alam bisa diandalkan dan selalu bekerja dengan cara yang sama. Tetapi perlu disadari dari fakta hukum alam ini adalah bahwa tidak selamanya hukum alam ini memberi kesan keteraturan saja tetapi juga dari hukum yang sama bisa terjadi malapetaka pada manusia (Rachman, 2012: 196-197).

Penderitaan: “Panggilan untuk terlibat”

Novel Sampar membuat orang lebih realistis dalam menerima penderitaan sebagai bagian dari hidupnya tanpa harus mengadili Allah atau jatuh dalam pandangan tradisional bahwa penderitaan adalah semata-mata akibat dari dosa. Selain itu juga, melalui penderitaan itu kewajiban moral setiap orang sungguh-sungguh diuji.

Artinya bahwa dalam situasi penderitaan itu setiap orang dipanggil untuk terlibat dan ikut ambil bagian dalam penderitaan orang lain betapapun maknanya tampak absurd. Orang tidak bisa hanya duduk dan berkeluh kesah tentang penderitaan yang terjadi.

Sampar mengajak kita untuk “bertanggung jawab” dan “berbuat” daripada menilai realitas dengan cara pikir yang tampak salah tetapi menindas secara psikis.

Pandangan yang realistis ini akan mengantar orang pada suatu pemahaman yang lebih manusiawi bahwa penderitaan adalah bagian dari kehidupan manusia yang mau tidak mau harus dihadapi, diterima; bahwa penderitaan semata-mata bukanlah akibat dari dosa.

Dengan cara ini, orang dapat menempatkan konsep keagamaan secara tepat dan baru ketika berhadapan dengan penderitaan. Penderitaan telah mewartakan sesuatu yang memanggil keterlibatan yang penuh tanggung jawab. Penderitaan tak terperikan yang sedang terjadi di sekitar kita, dalam kacamata “teologi” Sampar adalah kasih pelayanan yang penuh tanggung jawab.

Pada akhirnya orang harus menyadari bahwa entah orang itu baik atau jahat, ia pasti akan mengalami penderitaan. Penderitaan akan menimpa siapa saja.

Meskipun manusia berusaha lari dari penderitaan, pada akhirnya manusia akan berhadapan dengan penderitaan juga, yaitu ketika manusia berhadapan dengan maut.

Di hadapan maut itulah manusia rasional akan mengalami bahwa semuanya adalah absurd, sia-sia. Di sinilah, bukan filsafat, tetapi teologilah yang lebih memiliki otoritas untuk “berbicara”. (*)

Penulis adalah mahasiswa Teologi Biblis Pontifia Universita San Tommaso d’Aquino, Roma, Italia

Referensi

Budhy Munawar-Rachman. 2012. “Tuhan dan Masalah Penderitaan”, dlm. J. Sudarminta dan S. P. Lili Tjahjadi, Dunia Manusia dan Tuhan Antologi Pencerahan Filsafat dan Teologi, ed. Kanisius: Yogyakarta.

Camus, Albert. 1985. Sampar. (terj. N. H. Dini). Yayasan Obor Indonesia: Jakarta .

Kleden, Paul Budi. 2006. Membongkar Derita. Penerbit Ledalero: Maumere.

Leahy, Louis. 1994. Esai Filsafat Untuk Masa Kini: Telaah Masalah Roh-Materi Berdasarkan Data Empiris Baru.Cet. II. Pustaka Utama Grafiti: Jakarta

__________. 1994. Filsafat Ketuhanan Kontemporer. Kanisius: Yogyakarta.

Magniz -Suseno, Frans. 2005. “Mendakwa Allah? Catatan Tentang Teodisea”, dalam. Dikursus. Jurnal Filsafat dan Teologi. Vil. 4. No. 3, Oktober: 233.

__________________. 2006. Menalar Allah. Kanisius: Yogyakarta

Smith, Linda & Reaper William. 2000. Ide-ide Filsafat dan Agama Dahulu dan Sekarang. (terj. P. Hardono Hadi). Kanisius: Yogyakarta

Sunarko, Adrianus. 2005. “Teodisea, Antopodisea, Anti-Teodisea? Allah, Manusia, dan Penderitaan”, dlm. Dikursus. Jurnal Filsafat dan Teologi. Vil. 4. No. 3, Oktober: 207-229.

Wibowo, Setyo A.  2011. “Terlibat Di Sisi Korban Menghadapi Kebatilan Etika Politik Albert Camus”, dlm. Bagus Takwin, Empat Esai Etika Politik, peng. www.srimulyani.net: Jakarta

Related posts

Leave a Reply