Penangkapan dan pemindahan tahanan politik ke Kalimatan Timur dinilai melanggar aturan

Direktur Lembaga Bantuan Hukum Papua, Emanuel Gobay dan Direktur Perkumpulan Advokat Hak Asasi Manusia (PAHAM) Papua, Gustaf Kawer. - Jubi/Hengky Yeimo
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Papua, Emanuel Gobay dan Direktur Perkumpulan Advokat Hak Asasi Manusia (PAHAM) Papua, Gustaf Kawer. – Jubi/Hengky Yeimo

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Jayapura, Jubi – Koalisi Penegak Hukum dan Hak Asasi Manusia Papua dan keluarga tujuh tahanan politik asal Papua yang ditahan di Kalimantan Timur menilai penangkapan terhadap ketujuh tahanan politik itu tidak sesuai dengan prosedur hukum. Sejumlah penangkapan dilakukan polisi tanpa menunjukkan surat tugas penangkapan. Pemindahan para tahanan politik ke Kalimantan Timur juga dinilai tidak sah.

Read More

Ketujuh tahanan politik yang tempat penahanannya dipindahkan ke Kalimantan Timur itu adalah Buchtar Tabuni, Agus Kosay, Fery Kombo, Alexander Gobay, Steven Itlai, Hengki Hilapok dan Irwanus Uropmabin. Buchtar Tabuni dan kawan-kawan adalah tersangka kasus makar sebagaimana diatur Pasal 106 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Penahanan ketujuh tersangka dipindahkan dari Jayapura Kalimantan Timur sejak 4 Oktober 2019.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum Papua, Emanuel Gobay dalam keterangan pers Koalisi Penegak Hukum dan Hak Asasi Manusia Papuadi Jayapura, Senin (11/11/2019) menyatakan penangkapan para aktivis mahasiswa, aktivis United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), dan aktivis Komite Nasional Papua Barat (KNPB) dilakukan polisi yang tidak pernah menunjukkan surat tugas penangkapan kepada keluarga.

“Polisi menangkap aktivis mahasiswa, aktivis ULMWP, dan aktivis KNPB. Diantaranya, Feri Kombo [ditangkap] pada 5 September 2019, Buchtar Tabuni [ditangkap] 9 September 2019, Steven Itlay dan Irwanus Uropmabin [ditangkap] 11 September 2019. Hengki Hilapok [ditangkap] 17 September 2019. Alexander Gobay [ditangkap] 21 September 2019. Polisi tidak pernah menunjukkan surat tugas. Setelah mereka ditangkap, baru diberitahukan kepada keluarga,” kata Emanuel Gobay.

Emanuel Gobay mengatakan ketujuh tahanan politik itu dikenaikan sangkaan yang sama, yaitu tindak pidana makar sebagaimana diatur Pasal 106 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. “Aparat keliru [menggunakan pasal] makar. Apabila mereka mengibarkan bendera, mendeklarasikan negara, itu baru bisa ditetapkan sebagai aktivitas makar. Jadi mereka ini dituduh makar, namun tidak ada dasar hukumnya,” kata Gobay.

Gobay mengatakan pihaknya sudah melaporkan dugaan mal administrasi Kepolisian Daerah Papua ke Ombudsman Republik Indonesia di Papua. Terkait dengan mal administrasi yang saat ini sedang diproses. “Penyidik melakukan pelanggaran Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP,” kata Gobay.

Gobay mengatakan kesal dengan Gubernur Papua, Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPR Papua), maupun Majelis Rakyat Papua (MRP) yang terkesan membiarkan tujuh tahanan politik dipindahkan ke Kalimantan Timur. “Kami sudah mengirim surat untuk melakukan audiensi bersama keluarga para tahanan politik, tetapi mereka [Gubernur Papua, DPR Papua, dan MRP] diam,” kata Gobay.

Direktur Perkumpulan Advokat Hak Asasi Manusia (PAHAM) Papua, Gustaf Kawer menyatakan pemindahan tujuh tahanan politik asal Papua ke Kalimantan Timur tidak sah dan melanggar KUHAP. Kawer mengenai pemindahan tahanan dan lokasi persidangan hanya dapat dilakukan setelah ada usulan pengadilan atau kejaksaan kepada Mahkamah Agung.

“Selanjutnya, Mahkamah Agung mengusulkan kepada Kementerian Hukum dan HAM untuk menunjuk pengadilan negeri di luar Papua. Setelah itu, barulah ketujuh tahanan politik bisa dipindahkan,” kata Kawer.

Kawer mendesak polisi segera mengembalikan ketujuh tahanan politik itu ke Papua.”Undang-undang itu juga menjelaskan bahwa ketika mereka ini disidangkan, [persidangan] bisa disaksikan oleh masyarakat umum dan keluarga. Kalau di Kalimantan Timur, siapa masyarakat yang menyaksikan proses persidangan?” katanya. (*)

Editor: Aryo Wisanggeni G

Related posts

Leave a Reply