Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh: Johan Djamanmona*
Apakah pelanggaran hak asasi manusia atau HAM tidak terjadi di Papua? Kalau kita tanya ke pemerintah, pasti jawabannya tidak ada. Akan tetapi, kalau kita tanya kepada orang Papua, pasti mereka menjawab ada, dan memang hal itu terjadi sedari pasca Penentuan Pendapat Rakyat atau Pepera 1969 hingga hari ini.
Laporan Amnesti Internasional menyebutkan Indonesia sudah menjadi negara darurat HAM. Pada periode 1998 hingga 2002, kasus pelanggaran HAM yang paling banyak terjadi di Papua dan Papua Barat, melibatkan oknum petinggi negara.
Makanya jangan heran kalau orang Papua selalu merasa kalau pemerintah Indonesia masih menjajah mereka. Bagaimana tidak, pelanggaran HAM saja tidak pernah dilihat sebagai masalah besar untuk diselesaikan oleh pemerintah Indonesia.
Sebaliknya, berbagai kasus kekerasan di Papua malah dijadikan bahan kampanye Indonesia, bahwa apa yang terjadi adalah ulah kelompok separatis. Jika dalam satu dua kasus terbukti pelakunya adalah oknum aparat keamanan sendiri, kasus itu malah ditutupi.
Baca juga: Menyoal Kajian Otsus Papua dari Universitas Cenderawasih
Kalau pelanggaran HAM tidak terjadi, orang Papua tidak akan melakukan perlawanan secara terus-menerus. Mereka terus melawan karena hak mereka dirampas.
Kalau pelanggaran HAM tidak terjadi, orang Papua tidak merasa dijajah. Orang Papua baru merasa dijajah setelah integrasi Papua ke Indonesia, dan mengalami berbagai pelanggaran HAM.
Kalau pelanggaran HAM tidak terjadi, orang Papua tidak akan pernah berteriak untuk melepaskan diri dari Indonesia. Orang Papua mengalami bagaimana pelanggaran HAM terjadi secara terus-menerus, sehingga orang Papua akan terus bersuara atas apa yang mereka rasakan.
Apa yang disampaikan oleh pemerintah Indonesia belakangan ini, yang mengklaim bahwa tidak ada pelanggaran HAM di Papua, justru menunjukan sikap asli pemerintah Indonesia selama ini terhadap orang Papua. Hal yang sama pernah dilakukan pemerintah Indonesia terhadap rakyat di beberapa daerah lainnya, khususnya pada masa Orde Baru.
Laporan tentang pelanggaran HAM di Timor Leste yang berjudul Chega mencatat sikap “menyangkal ada pelanggaran HAM” juga pernah ditunjukan pemerintah Indonesia pada saat terjadi pelanggaran HAM berat yang dilakukan militer Indonesia terhadap rakyat Timor Leste menjelang proses jajak pendapat.
Pada Desember 1975, pemerintah Indonesia melakukan invasi skala penuh terhadap Timor Leste, sehingga Dewan Keamanan PBB mengutuk keras tindakan itu. PBB menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk menarik semua tentaranya, dan mengeluarkan “mosi” penentuan nasib sendiri untuk Timor Leste.
Kini pemerintah Indonesia berdalih tentang pelanggaran HAM di Papua. Saya tertarik menulis sedikit tentang apa yang di Distrik Aifat Timur Selatan, Kabupaten Maybrat, Provinsi Papua Barat, pada 15 April – 8 Mei 2020. Saat itu, Brimob Polda Papua Barat yang menggunakan sekitar 12 mobil berisi 30-40 brimob mendatangi Kampung Aisa di Distrik Aifat Timur Jauh, mencari pelaku pembunuhan serta perampasan senjata milik seorang anggota Brimob yang meninggal di base camp PT Wanagalang Utama, Kampung Waliaga, Distrik Muskona, Kabupaten Teluk Bintuni pada 15 April 2020.
Ketika mereka gagal menemukan pelaku, rombongan brimob itu menyisir beberapa kampung di Distrik Aifat. Mereka menginterogasi warga sejumlah kampung di Distrik Aifat, membongkar, memasuki, dan merusak rumah warga, hingga para warga itu ketakutan dan mengungsi.
Salah satu anggota Komite Nasional Papua Barat ditangkap, dan diinterogasi dengan dimasukkan ke dalam karung, dipaksa menyebut di mana keberadaan Ketua KNPB Sektor Kamat. Seorang kepala kampung juga dintimidasi, karena mendukung kegiatan KNPB memberikan bantuan kepada para warga Distrik Aifat yang mengungsi. Belakangan, kepala kampung itu sakit, hingga akhirnya meninggal dunia.
Cara brimob mencari pelaku pembunuhan itu justru menunjukkan pelanggaran HAM yang terjadi di Papua terstruktur, sistematis, dan meluas. Warga sipil menjadi korban dari tindakan semena-mena. Padahal Pasal 28G ayat (2) UUD 1945 menyatakan setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia, dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.
Baca juga: Kriminalisasi Kebebasan Demokrasi, Suatu Bentuk Kejahatan Kemanusiaan di Papua
Yang terjadi di Aifat Timur adalah pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara. Sekelompok orang, termasuk aparat negara, baik disengaja atau karena lalai, mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut HAM seseorang atau kelompok, sebagaimana definisi pelanggaran HAM dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Insiden itu juga merupakan pelanggaran hak setiap orang atas perlindungan HAM dan kebebasan dasar manusia tanpa diskriminasi yang dijamin Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Peristiwa itu seakan tertutup bagi publik, sehingga tidak ada yang tahu-menahu tentang apa yang terjadi. Padahal operasi tersebut memiliki dampak yang sangat merugikan warga sipil di Aifat Timur. Insiden di Aifat Timur itu adalah satu dari sekian banyak pelanggaran HA yang terjadi di Papua.
Operasi yang dilakukan di Aifat timur adalah salah satu dari sekian pelanggaran HAM yang terjadi di Papua, dan masih banyak pelanggaran HAM lain yang harus diketahui publik. Kalau pemerintah Indonesia mengatakan tidak terjadi pelanggaran HAM di Papua, maka bisa dikatakan kalau pemerintah Indonesia sedang melakukan penipuan terhadap publik Indonesia. Itulah yang disebut oleh Rocky Gerung, bahwa pembuat hoax terbaik adalah negara, karena mereka memiliki alat dan kekuatan.
Pemerintah Indonesia masih belum bisa mengakui apa yang dilakukan terhadap rakyat Papua, dan tidak mau mengakui tindakan kriminal yang diperbuat oleh aparat negara. Padahal penghargaan terhadap HAM adalah salah satu hal yang sudah seharusnya dilakukan oleh pemerintah Indonesia, sebagai amanat dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan UUD 1945. Sebaik dan sebagus apapun undang-undang yang mengatur tentang pelanggaran HAM, pasti akan sia-sia kalau negara saja tidak menghargai HAM.(*)
* Penulis adalah relawan LBH Kaki Abu
Editor: Aryo Wisanggeni G