Papua No. 1 News Portal | Jubi ,
Hampir setiap tahun politik, pemilihan kepala daerah (pilkada), pemilihan legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres), isu pemekaran daerah di Papua selalu muncul ke publik. Isu pemekaran yang sering dihembuskan pihak berkepentingan mulai dari pemekaran kampung, distrik, kabupaten (kota), hingga provinsi.
Sekretaris II Dewan Adat Papua (DAP), John NR Gobai mengatakan, pemekaran adalah isu klasik yang selalu dihembuskan pihak berkepentingan setiap jelang agenda politik. Tak jarang pihak yang menggunakan isu pemekaran kampung, distrik, kabupaten (kota), bahkan provinsi mengatasnamakan aspirasi masyarakat.
“Itu hanya isu jualan politik. Kalau memang aspirasi murni masyarakat itu harus dihargai. Tapi jika isu itu dimunculkan jelang pilkada atau pileg, ada apa? Jangan itu dijadikan bargaining politic untuk mendapat sesuatu,” kata Gobai kepada Jubi, Kamis, 4 Oktober 2018.
Meski menilai sebagian masyarakat pada era kini sudah cerdas, dapat membaca setiap isu yang dihembuskan jelang tahun politik, namun ia tetap mengingatkan masyarakat tak gampang terpengaruh isu pemekaran yang muncul musiman.
Apalagi hingga kini moratorium pemekaran belum dicabut oleh pemerintah pusat. Salah satu pertimbangan, karena beban keuangan negara tak dapat membiayai pembentukan daerah otonom baru (DOB) atau pemekaran
“Tokoh yang menyuarakan pemekaran, jangan memunculkan wacana itu pada saat tahun politik,” katanya.
Dorong isu yang jadi masalah utama masyarakat
Gobai meminta para caleg sebaiknya lebih baik mendorong isu yang kini menjadi masalah utama masyarakat, misalnya penyelesaian pelanggara HAM, pengelolaan sumber daya alam, hak-hak masyarakat adat dan lainnya, ketimbang isu pemekaran.
Pemekaran dianggap bukan agenda yang mendesak. Apalagi kini beberapa kabupaten pemekaran di Papua tak menunjukkan perkembangan yang berarti dalam berbagai sektor.
“Kalau bicara pemekaran, yang ada ini belum maksimal. Perkembangan di daerah itu jalan di tempat. Selain itu, pemekaran harus seizin pemerintah kabupaten (kota) atau provinsi induk, karena terkait pembiayaan,” ujarnya.
Selama lima tahun pertama lanjutnya, pemerintah kabupaten (kota) atau provinsi induk, harus membiayai daerah yang baru dimekarkan dalam menyiapkan berbagai kebutuhan pendukung. Pembiayaan tersebut akan berdampak pada beban keuangan daerah induk.
“Bahkan saya mendengar informasi, ada pihak yang mendorong pemekaran minta sumbang ke masyarakat karena pemekaran yang mereka upaya bukan karena kemauan pemerintah kabupaten induk,” katanya.
Anggota komisi bidang pemerintahan, politik, hukum dan HAM DPR Papua, Orgenes Wanimbo mengatakan hal yang sama. Katanya, tidak dipungkiri ada saja pihak yang mendorong pemekaran karena kepentingan tertentu dengan mangatasnamakan aspirasi masyarakat.
Selain itu, sebelum mengusulkan pemekaran daerah perlu ada kajian dari berbagai segi terlebih dahulu. Misalnya batas wilayah, potensi di daerah yang akan dimekarkan, kesiapan sarana pendukung, kesiapan sumber daya manusia dan lainnya.
Pemekaran kata Wanimbo, bukan jaminan dapat menyejahterakan masyarakat di daerah tersebut. Justru sebaliknya, dikhawatirkan masyarakat asli di wilayah yang dimekarkan akan tersingkir dengan kehadiran masyarakat dari luar.
“Saya pikir bukan rahasia lagi, jika ada daerah yang baru dimekarkan, banyak orang dari luar yang datang ke wilayah itu. Tujuannya beragam, mencari pekerjaan, mendaftar pegawai negeri sipil, membuka usaha dan lainnya,” katanya.
Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tjahjo Kumolo saat berkunjung ke Papua belum lama ini memastikan tidak akan ada pemekaran di wilayah Papua, karena pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, lebih memprioritaskan pembangunan infrastruktur, sosial dan ekonomi.
"Pemekaran belum ada, kami ingin mengoptimalkan dulu program pak Jokowi untuk memastikan keberhasilan di bidang pembangunan infrastruktur, ekonomi dan sosial," kata Tjahjo.
Namun menurutnya, tidak dipungkiri kini banyak daerah yang mengajukan pembentukan DOB kepada pemerintah pusat. Tapi hingga kini moratorium pemekaran masih diberlakukan, belum dicabut.
"Lebih baik memacu sektor kunci untuk meningkatan kemajuan masyarakat,” ujarnya.
Isu pemekaran wilayah di Papua dalam dua hari terakhir kembali ramai dibicarakan, terutama di kalangan pengguna media sosial. Lima bupati dari wilayah adat Saireri bersama beberapa tokoh bertemu di Jakarta, Rabu, 3 Oktober 2018, membahas pembentukan Provinsi Kepulauan Teluk Saireri.
Frans Maniagasi, salah satu pihak yang disebut hadir dalam pertemuan tersebut di kolom komentar postingan salah satu pengguna media sosial, membenarkan jika lima bupati dari wilayah adat Saireri yakni Bupati Kepulauan Yapen, Tony Tesar, Bupati Mamberamo Raya, Dorinus Dasinapa, Bupati Waropen, Jeremias Bisay, Bupati Supiori, Jules Warikar, dan Bupati Biak, Herry Aryo Nap, Freedy Numberi, Yorrys Raweyai, mantan Bupati Kepulauan Yapen, Philips Wona dan mantan Bupati Biak, Yusuf Marien.
“Apa ada yang salah kalau gagasan pemekaran Saireri jadi provinsi. Jangan semua hal dilihat dari pikiran yang negatif. Tujuan pertemuan menggagas pemikiran bersama untuk Saireri menjadi provinsi,” kata Maniagasi.
Dalam pertemuan itu menurut Maniagasi, disepakati lima bupati untuk memfasilitasi dan menyiapkan draf tentang pemekaran Provinsi Saireri. Latar belakang gagasan ini secara historis telah hadir sejak UU 1945/1999 tentang Pemekaran Provinsi Irian Jaya Barat kini Papua Barat, Irian Jaya Tengah dan Kota Sorong.
“Muncul lagi gagasan pada 2012, dengan rencana pemekaran Teluk Cenderawasih dan sudah dideklarasi. Gagasan ini kemudian tidak terlaksana. Dengan perkembangan terkini, maka lima bupati dan para tokoh senior berpendapat kini momentum untuk pembentukan Provinsi Saireri diadopsi dari nama wilayah adat,” komentar Frans Maniagasi. (*)