Oleh: Antonius Tebai*
Pengertian kebebasan
Kebebasan merupakan esensi dasar dalam hidup manusia. Melalui kebebasannya, manusia dapat menunjukkan keberadaan dirinya yang sesungguhnya. Tanpa kehendak bebas dalam pribadi manusia, ia tidak akan mengerti dan memahami nilai keberadaan dirinya.
Pemahaman lebih lanjut, kata “kebebasan” merujuk pada suatu keadaan atau situasi yang bebas, merdeka, dan tidak ada gangguan dari dalam diri maupun di luar diri. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) arti kata bebas ialah lepas sama sekali (tidak terhalang, tidak terganggu sehingga dapat bergerak, berbicara dan berbuat dengan leluasa), lepas dari (kewajiban, tuntutan, perasaan takut), tidak dikenakan (pajak, hukum), tidak terikat atau terbebas oleh aturan, merdeka (tidak dijajah, diperintah, atau tidak dipengaruhi oleh negara lain atau kekuasaan asing) dan tidak terdapat.
Berpangkal dari arti kata bebas di atas, maka kata bebas dapat didefinisikan secara umum ialah keadaan diri manusia tanpa tekanan dari dalam diri maupun di luar diri manusia, sehingga manusia dapat melakukan suatu tindakan dengan lepas bebas atau manusia bebas memilih tindakan apa yang hendak mau dibuat.
Kebebasan menurut Jean Paul Sartre
Jean Paul Sartre ialah seorang filsuf terkemuka dalam aliran eksistensialisme. Ia adalah seorang ateis terkemuka dari Prancis. Sebagai seorang filsuf, ia juga melahirkan pemikiran-pemikiran mengenai eksistensialis. Jean Paul Satre berpendapat bahwa “Kebebasan eksistensial adalah kemampuan manusia untuk menentukan tindakan sendiri. Kemampuan itu bersumber pada kemampuan manusia untuk berpikir dan berkehendak dan terwujud dalam tindakan. Sementara tindakan adalah satu dengan diri saya sendiri. Saya menjadi diri saya sendiri melalui tindakan saya.”
Baca juga:
Pemikiran Jean Paul Sartre dan pembebasan di West Papua
Konsep tentang kebebasan eksistensial dari Sartre berangkat dari keberadaan diri manusia. Baginya, manusia merupakan suatu ada pada dirinya dan ada bagi dirinya. Manusia adalah keduanya, yakni ada pada dirinya dan ada bagi dirinya. Sebagai ada bagi dirinya manusia adalah kebebasan atau hasil proyeksi kebebasannya. Jadi, dirinya menjadi apa atau siapa tergantung kebebasannya.
Dengan demikian tidak ada nilai universal yang menjadi rujukan sebuah keputusan pilihan bebas seseorang. Manusia sendirilah yang menentukan apa atau siapa bagi dirinya. Manusia menjadi apa atau siapa bagi dirinya pada saat manusia menggunakan kebebasannya dan memilih, serta memutuskan untuk dirinya menjadi pribadi yang bernilai bagi dirinya.
Pemahaman konsep pemikiran Sartre mengenai kebebasan eksistensial akan keliru bila kita tidak menganalisisnya secara mendalam. Misalnya, ia berpendapat bahwa manusia sebagai makhluk bebas untuk menentukan apa dan siapa bagi dirinya tanpa memperhitungkan nilai rujukan dalam hidup sosial. Bila dipahami sebatas ini, maka pasti kita beranggapan bahwa pemikiran eksistensial tersebut mengabaikan prinsip-prinsip norma hidup bersama dalam suatu kelompok atau bangsa.
Untuk memperjelas pemikiranya, ia berpendapat bahwa kebebasan untuk bertindak sebagai manusia yang bernilai bagi diri dan sesama merupakan suatu kesadaran akan dirinya sebagai manusia yang bermoral. Untuk itu, manusia menjadi bernilai bagi sesama bukan karena adanya suatu nilai rujukan lain tetapi karena manusia pada kodratnya sebagai makhluk yang bermoral. Artinya, manusia berbuat baik atau bermakna bagi sesama bukan karena adanya suatu syarat atau peraturan, tetapi hal demikian dilakukan oleh manusia, karena pada eksistensi manusia adalah manusia yang baik dan bermoral.
Kebebasan eksistensial OAP sebagai manusia
Kebebasan eksistensial pada dasarnya ialah bebas dari dan bebas untuk. Bebas dari merujuk pada bebas dari ancaman, sedangkan bebas untuk merujuk pada hasil yang diperoleh atau nilai proyeksi diri. Bebas dari ancaman berarti terlepas atau keluar dari rasa tekanan, pembatasan dari pihak di luaar diri manusia dalam berekspresi sebagai manusia eksistensial (berada). Sedangkan bebas untuk berarti mencapai suatu tujuan atau perolehan hasil yang diinginkan sebagai manusia eksistensial, yakni hasil proyeksi diri yang bernilai bagi dirinya.
Untuk itu, orang asli Papua (OAP) juga merupakan manusia eksistensial (berada). Orang asli Papua mengungkapkan keberadaan dirinya dengan hasil proyeksi atau aktualisasi diri, sehingga dalam mengaktualisasi diri sebagai manusia, tidak ada pembatasan dan nilai rujukan dari pihak luar.
Akal menjadi esse (dasar) patokan untuk menentukan apa dan siapa di dalam memproyeksikan diri. Melalui hal demikian manusia akan menjadi manusia yang utuh, sempurna. Peraturan dan norma-norma hidup yang berlaku dalam hidup manusia bukan merupakan nilai rujukan atau patokan untuk mengaktualisasi diri.
Matinya kebebasan OAP dalam sistem RI
Orang asli Papua dalam memproyeksi diri sebagai manusia eksistensial dalam sistem RI sangat sulit, karena ancaman dan pembatasan. Pembatasan-pembatasan tersebut dapat dilihat dari sisi politik, ekonomi dan sosial.
Pertama, dari sisi ekonomi, OAP melindungi dan mempertahankan hak ulayat sebagai eksistensi hidup namun kaum kapitalis yang sudah bekerja sama dengan sistem pemerintah RI merampas, merampok dan menjadikannya lahan bisnis.
Hak dan kebebasan OAP sebagai pemilik tanah untuk menjaga, memelihara dan merawat wilayahnya dicabut oleh pihak luar yakni kaum kapitalis. Kaum kapitalis menjadikan OAP dan hak ulayatnya sebagai nilai guna untuk kepentingan ekonominya.
Hal lain lagi, banyak mahasiswa Papua yang menyampaikan pendapat tentang penolakan perusahaan emas dan kelapa sawit yang beroperasi di Tanah Papua kepada pemerintah melalui aksi damai. Namun hal demikian dibatasi oleh pihak keamanan, bahkan aksi tersebut distigma sebagai aksi kriminal. Dengan stigma demikian, banyak mahasiswa yang ditahan, dipukul dan dipenjarakan.
Kerinduan mahasiswa Papua untuk didengar, ditanggapi dan ditindaklanjuti oleh pemerintah atas pendapat mahasiswa tidak diindahkan. Hal demikian mengandaikan adanya sikap pembatasan kebebasan terhadap mahasiswa Papua. Dengan demikian, hak mutlak manusia untuk menyampaikan pendapat sekaligus hak manusia untuk memproyeksi diri sebagai manusia berada dicabut dan dibungkam;
Kedua, dari sisi politik, mengakui bangsa Papua sudah merdeka sebagai suatu negara yang berdaulat sejak 1 Desember 1961. Namun Indonesia merebut negara Papua dengan operasi militer – OAP dipaksakan untuk bergabung dengan RI melalui Pepera yang cacat hukum dan politik.
Atas kesadaran OAP terhadap kemerdekaan bangsa Papua, maka tidak sedikit OAP yang merayakan hari ulang tahun kemerdekaan bangsa Papua setiap 1 Desember. Meskipun OAP merayakan HUT kemerdekan Papua secara damai, RI membatasi bahkan mengancam atas tindakan demikian.
Sikap pemaksaan pemerintah RI untuk bergabung dan merayakan HUT kemerdekan Papua merupakan tindakan pembunuhan terhadap hak fundamental aktualisasi diri manusia Papua. Dengan demikian, OAP menjadi korban—atas hak dan kebebasannya sebagai makhluk berproyeksi diri sebagai manusia utuh—dari sistem hukum RI;
Ketiga, dari sisi sosial. Peristiwa rasisme di Semarang pada 19 Agustus 2019 diduga terjadi karena karena mahasiswa Papua menggunakan asrama sebagai tempat diskusi mengenai persoalan Papua. Untuk membatasi ruang diskusi, banyak ormas dan aparat keamanan mendatangi asrama Papua dengan membuang gas air mata, memukul dan menangkap 42 mahasiswa.
Selain itu, ada ujaran rasisme seperti babi, anjing dan monyet dari pihak keamanan dan ormas kepada mahasiswa Papua.
Peristiwa rasisme tersebut merupakan sikap pemerintah Indonesia dalam membatasi dan membungkam nilai fundamental manusia sebagai manusia yang bebas untuk menentukan apa dan siapa bagi dirinya.
Usaha pembebasan
Manusia Papua (OAP) sebagai makhluk eksistensial dalam RI akan berusaha terus-menerus untuk mengaktualisasi diri sebagai makhluk yang bernilai bagi dirinya. Berusaha untuk bebas dari dan bebas untuk. Usaha OAP bebas dari berarti terlepas dari ancaman, pembatasan, tekanan dari sistem kolonialis RI. Sedangkan, bebas untuk, berarti, OAP memperoleh tujuan akhir, hasil atau nilai proyeksi diri sebagai manusia beradab dan utuh.
Usaha OAP untuk bebas dari dan bebas untuk merupakan suatu keharusan, karena kebebasan merupakan suatu kodrat manusia yang fundamental. Tidak seorang pun yang berhak membatasi, menekan dan membungkam hak fundamental manusia sebagai makhluk yang bebas untuk menentukan apa dan siapa bagi dirinya, sekaligus menentukan apa dan siapa bagi Negara atau bangsa yang diperjuangkannya.
Untuk itu, OAP tidak akan mundur dalam usaha memproyeksi diri sebagai manusia berada selagi OAP merasa terancam atau dibungkam nilai kebebasan eksistensial sebagai nilai fundamental manusia dalam sistem NKRI.
Penyelesaian persoalan
Orang Indonesia dan OAP mempunyai martabat dan kodrat yang sama untuk mengaktualisasi diri sebagai manusia bebas atau manusia bebas untuk berproyeksi diri sebagai manusia yang bernilai. Untuk itu, kedua belah pihak tidak mempunyai hak untuk mencabut, menekan dan membatasi nilai fundamental kebebasan manusia lainnya.
Penulis menawarkan agar Indonesia dan Papua dapat menindaklanjuti seruan moral 142 pastor dan seruan moral Persekutuan Gereja-Gereja Kristen se-Tanah Papua dalam suatu ruang dialog. Melalaui dialog, kedua belah pihak duduk bersama sebagai manusia yang bermartabat dan bermoral dalam solusi terbaik.Tujuannya agar dapat menyelesaikan persoalan Papua.
Melalui proses penyelesaiaan masalah (dialog), kedua belah pihak dapat mengaktualisasi diri sebagai manusia berada, dan manusia bermartabat yang mempunyai kodrat yang sama. (*)
*Penulis adalah mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Fajar Timur Abepura. Papua
Editor: Timoteus Marten