Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Pembatasan sambungan internet yang diterapkan Kementerian Komunikasi dan Informatika pasca gelombang unjukrasa dan sejumlah amuk massa di Papua dinilai berpotensi membahayakan keselamatan warga di Papua. Pembatasan itu menyulitkan warga Papua dan Papua Barat untuk mencari informasi yang benar terkait rangkaian peristiwa yang mengikuti peristiwa persekusi dan rasisme yang dialami para mahasiswa Papua di Surabaya pada 16-17 Agustus 2019.
Pelambatan akses internet (throttling) dilakukan di Manokwari, Papua Barat dan Jayapura, Papua, dan sejumlah wilayah lain di Papua secara bertahap pada 19 Agustus 2019, mulai dari pukul 13.00 WIT hingga sekitar pukul 20.30 WIT. Kebijakan yang sama diberlakukan kembali pada Selasa dan Rabu. Kebijakan itu berlanjut pada Kamis (22/8/2019).
PT Telkomsel menyatakan akan terus ikuti perintah pemblokiran layanan data di Provinsi Papua dan Papua Barat hingga waktu yang belum ditentukan. Hal ini Vice President Corporate Communications Telkomsel Denny Abidin dikemukakan dalam holding statement PT Telkomsel yang diterma Jubi pada Rabu (21/8/2019).
“Hingga saat ini akses layanan Telkomsel di Papua dan Papua Barat untuk voice dan SMS berfungsi secara normal sedangkan untuk layanadata seperti perintah Kominfo pada Rabu untuk dilakukan pemblokiran sementaraakses data di wilayah Papua dan Papua barat. Sebagai operator selular, kami akan mengikuti regulasi yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Kami terus melakukan pemantauan kualitas layanan secara berkala,” ujar Denny.
Humas Telkomsel region Papua dan Maluku, M Kadri menegaskan hal yang sama bahwa apa yang dikemukakan di holding statemen yang dikirimkan ke seluruh media. “ Kami ikuti apa yang disampaikan oleh pusat, dan untuk normalnya kami akan ikuti Kominfo,” ujarnya.
Deputi Direktur Riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Wahyudi Djafar menyatakan pembatasan informasi internet itu berpotensi membahayakan keselamatan warga di Papua. Ia mengingatkan, Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-bangsa pun kemudian mengecam praktik penutupan internet sebagai tindakan disruptif terhadap akses terhadap informasi online yang dilakukan negara.
“Beberapa contoh dampak penutupan internet adalah, terputusnya akses masyarakat untuk bertukar informasi penting terkait keamanan, menghalangi masyarakat untuk berkomunikasi dengan satu sama lain dalam hal darurat, terhambatnya kerja-kerja jurnalisme, dan tingginya dampak negatif penutupan internet terhadap ekonomi sebuah negara,” kata Djafar saat dihubungi Kamis (22/8/2019).
Djafar mengingatkan sambungan internet justru penting dipertahankan dalam situasi yang dialami Papua saat ini, terutama untuk menghindari adanya tindakan kesewenang-wenangan aparat keamanan. “Akses informasi seharusnya dibuka dengan lebar untuk menjamin tidak adanya pelanggaran HAM dalam penanganannya. Tindakan pemerintah justru memperkuat tesis dari hasil studi yang menyatakan tindakan penutupan internet justru menunjukan tingkat represi negara yang tinggi,” kata Djafar.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers menyatakan kebijakan Kementerian Komunikasi dan Informatika memperlambatan dan atau memblokir akses internet didalilkan untuk membatasi penyebaran hoaks. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya kebijakan itu justru membuat masyarakat yang berada di Papua maupun di luar Papua kesulitan untuk mendapatkan informasi terkait perkembangan situasi di Papua.
“Hal itu juga memperlambat akses wartawan untuk mendapatkan informasi dan memantau kondisi di Papua. Kami, jaringan masyarakat sipil khawatir dengan situasi Papua saat ini. Situasi ini juga membuat tidak ada yang bisa memantau situasi dan memberikan update kekerasan yang terjadi,” kata Direktur LBH Pers, Ade Wahyudin melalui siaran persnya, Rabu (21/8/2019).
Ade juga menyebut kebijakan pembatasan sambungan internet itu menunjukkan pemerintah memiliki kecenderungan ingin mengedalikan informasi yang didapatkan warga. Ade mengkhawatirkan praktik sensor itu akan meluas menjadi bentuk sensor dan intervensi pemberitaan yang dibuat pers.
“Kami mengingatkan bahwa tindakan sensor dan intervensi merupakan tindakan pidana yang dilarang Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Jurnalis dan media harus berani menyuarakan fakta, demi tercapainya masyarakat yang informatif, dan membuka peluang menciptakan keadilan untuk masyarakat Papua,” kata Ade.
Ia juga mengingatkan bahwa media tidak berlindung dibalik mahzab “jurnalisme damai” untuk menyembunyikan berbagai fakta yang terjadi di Papua. Meskipun demikian, Ade menekankan pentingnya media mencegah terjadinya provokasi di antara berbagai pemangku kepentingan dalam kasus persekusi dan rasisme yang dialami para mahasiswa Papua di Surabaya pada 16-17 Agustus 2019 lalu.
“LBH Pers meminta kepada perusahaan media dan rekan-rekan jurnalis untuk lebih menggaungkan pentingnya pendekatan non keamanan dalam menyelesaikan masalah Papua. Selain itu, media dalam penyebaran pemberitaan isu Papua harus akurat dan mencari narasumber yang berkompeten dan berimbang,” kata Ade.
Sebelumnya, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menilai kebijakan pelambatan akses internet di Papua dan Papua Barat tidak sesuai semangat Pasal 28F UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi, serta pasal 19 Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia yang memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi.
AJI meminta pemerintah menghormati hak publik untuk memperoleh informasi. Meskipun langkah ini dimaksudkan untuk mencegah hoaks, namun di sisi lain, pelambatan ini juga menghambat akses masyarakat, khususnya Papua dalam mencari informasi yang benar. Pelambatan juga membuat publik kesulitan saling bertukar kabar dengan kerabat dan keluarga. Di samping itu, kebijakan ini juga menghambat kerja-kerja jurnalis dan pemantau HAM dalam melakukan pemantauan peristiwa di Papua,” kata Ketua Umum AJI Indonesia, Abdul Manan melalui siaran persnya, Senin (20/8/2019). (*)
Editor: Aryo Wisanggeni G