Papua No.1 News Portal | Jubi
Jakarta, Jubi – Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan meminta dengan tegas agar pembahasan Peraturan Presiden (Perpres) Pelibatan TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme dilakukan secara transparan. Koalisi masyarakat sipil itu meliputi organisasi nonpemerintah yang terdiri dari Imparsial, KontraS, Elsam, PBHI, Setara Institute, HRWG, YLBHI, Public Virtue Institute , ICW, LBH Pers, LBH Jakarta, ICJR, Perludem, Pilnet Indonesia
“Kami mendesak kepada pemerintah dan DPR melakukan pembahasan rancangan Perpres tersebut secara terbuka,” kata salah satu anggota koalisi dari Imparsial, Al Araf, Senin (3/8/2020).
Baca juga :Kodam Kasuari belum umumkan hasil tes PCR ratusan anggota TNI, Tiniap: Kami serahkan ke TNI
210 personil TNI Lantamal XI Merauke ikuti rapid test, satu orang reaktif
Dua warga sipil Nduga, Papua tewas, diduga ditembak anggota TNI
Menurut Al Araf, pemerintah dan DPR mestinya sangat berhati-hati dalam membahas rancangan Perpres tersebut. Ia menilai bukan tak mungkin rancangan Perpres yang pembahasannya tak melibatkan masyarakat justru akan membahayakan kehidupan negara hukum, HAM, dan demokrasi di Indonesia.
“Pemerintah dan DPR tidak boleh menutup-tutupi rancangan Perpres yang telah selesai tersebut dari masyarakat,” kata Al Araf menambahkan.
Ia meminta agar pemerintah bisa menyampaikan draf rancangan Perpres yang disebut-sebut sudah jadi, dan segera disahkan kepada publik. Apalagi selama ini, pembahasan bahkan draf Perpres tersebut memang tak dibuka secara utuh kepada publik.
Al Araf juga menyampaikan sejumlah poin yang mestinya terkandung di Perpres Pelibatan TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme itu. Menurut dia dalam Perpres itu harusnya ada sejumlah substansi yang terkandung dalam setiap bulir pasal yang hendak disahkan. Salah satu contohnya berkaitan dengan tugas TNI dalam menjalankan operasi militer selain perang untuk mengatasi aksi terorisme. Dalam hal itu, kata dia, fungsi TNI harus sebatas penindakan.
“Fungsi penindakan itu sifatnya hanya terbatas yakni untuk menangani pembajakan pesawat, kapal atau terorisme di dalam kantor perwakilan negara sahabat,” kata Al Araf menjelaskan.
TNI seharusnya tidak perlu ikut dalam penanganan terorisme yang ada pada objek vital strategis. Bahkan, dalam hal ancaman terorisme terhadap presiden pun sifatnya harus aktual, yakni ketika terjadi aksi terorisme dan bukan pada saat perencanaan. Selain itu eskalasi ancaman tinggi harus dimaknai terjadi pada saat darurat militer, bukan pada kondisi tertib sipil.
Tak hanya itu, penggunaan dan pengerahan TNI dalam aksi penanganan terorisme juga harus berdasar pada keputusan politik negara yakni keputusan Presiden dengan pertimbangan DPR. Hal ini kata dia, sesuai dengan Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) juncto Pasal 5 Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.
“Keputusan itu harus dibuat secara tertulis oleh Presiden sehingga jelas tentang maksud, tujuan, waktu, anggaran, jumlah pasukan dalam pelibatannya,” katanya.
Pelibatan TNI dalam mengatasi aksi terorisme di dalam negeri juga harus menjadi pilihan terakhir, yakni ketika kapasitas penegak hukum sudah tak bisa mengatasinya. Tak hanya itu, pelibatan TNI juga sifatnya sementara dan dalam jangka waktu tertentu.
TNI harus tunduk pada norma hukum dan HAM yang berlaku. Konsekuensinya seluruh prajurit TNI yang terlibat dalam mengatasi aksi terorisme di dalam negeri harus tunduk pada KUHAP, KUHP, dan Undang-undang HAM. Mereka pun menyorot soal penggunaan anggaran dari TNI yang berasal dari APBN sebagaimana diatur dalam Pasal 66 UU TNI. (*)
CNN Indonesia
Editor : Edi Faisol