Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Pelajar dan mahasiswa yang berasal dari Kabupaten Nduga, Papua, menolak keberadaan operasi gabungan TNI/Polri yang melakukan operasi pengejaran kelompok bersenjata di Kabupaten Nduga sejak Desember 2018. Operasi gabungan TNI/Polri itu telah menyebabkan ribuan warga sipil Nduga mengungsi ke sejumlah kabupaten tetangga, dan membuat para warga tidak bisa beraktivitas dengan rasa aman.
“Kami meminta Presiden Joko Widodo untuk segera menarik pasukan dari Kabupaten Nduga. Kondisi masyarakat [Nduga] sangat [memprihatinkan]. Mereka tidak [bisa] beraktivitas karena tempat mereka berkebun dan beternak dikuasai oleh TNI dan Polri,” kata Remes Ubruangge kepada wartawan di Asarama Nim-nim, Kamis (25/7/2019).
Pasca pembunuhan para pekerja PT Istaka Karya pada 2 Desember 2018, pasukan gabungan TNI/Polri menggelar operasi pengejaran terhadap kelompok bersenjata pimpinan Egianus Kogoya. Pengejaran itu, berikut sejumlah kontak senjata antara TNI/Polri dan kelompok bersenjata, membuat ribuan warga sipil Nduga mengungsi dari wilayah permukiman. Mereka masuk dan bersembunyi di hutan yang berada di Nduga, atau mengungsi ke kabupaten tetangga seperti Lanny Jaya, Jayawijaya, Yahukimo, Mimika, dan Asmat.
Remes Ubruangge mengatakan masyarakat Nduga trauma dengan operasi pengejaran kelompok bersenjata itu. Ubruangge meminta Jokowi mengutamakan nasib warga sipil Nduga.
“Mahasiswa mendukung sepenuhnya pernyataan Bupati Nduga, ketua lembaga masyarakat adat, intelektual [yang meminta] pemerintah segera menarik pasukan organik maupun non organik yang berada di Kabupaten Nduga,” katanya.
Panus Gwijangge membantah pernyataan TNI bahwa sebagian masyarakat dewasa telah kembali ke rumah mereka di Nduga. Gwijangge menyebut sejumlah keluarganya termasuk di antara ribuan warga sipil Nduga yang mengungsi, dan mereka belum berani pulang ke kampungnya.
“Pernyataan itu kami bantah karena sampai saat ini masyarakat tidak ada yang kembali ke Nduga. Mereka takut, [antara lain karena mendengar kabar] ada seorang ibu yang pergi berkebun dan tertembak. Itu membuat masyarakat juga tidak bisa bergerak. Sampai saat ini mereka masih [berada] di hutan dan mengungsi ke berbagai kabupaten,” katanya.
Gwijanggen meminta Presiden Jokowi melihat konflik bersenjata di Nduga dari sisi kemanusiaan, dan tidak semata-mata mengedepankan kepentingan untuk melakukan pembangunan infrastruktur di Nduga. “Pembangunan itu untuk siapa, jika pemerintah tidak memperhatikan masyarakat [yang terdampak operasi gabungan TNI/Pori] di Nduga? Kami minta Presiden Jokowi segera tarik pasukan,” katanya.
Keterbatasan akses dan risiko keamanan membuat berbagai lembaga kesulitan memastikan jumlah warga sipil Nduga yang mengungsi demi menghindari konflik bersenjata di Nduga. Meski berbagai pihak meyakini jumlah warga sipil Nduga yang mengungsi mencapai ribuan orang, terdapat sejumlah versi jumlah warga yang mengungsi.
Majelis Rakyat Papua (MRP) telah mengunjungi sejumlah lokasi pengungsian di Wamena, ibukota Kabupaten Jayawijaya, dan mendampati kondisi para pengungsi yang tidak mendapatkan pelayanan pendidikan/kesehatan yang layak. Ketua Pansus Hukum dan HAM MRP, Aman Yikwa dalam sidang pleno penutupan masa sidang kedua MRP pada pekan lalu melaporkan keberadaan ratusan ibu, anak, dan orang usia lanjut dari Nduga mengungsi ke Wamena, ibu kota Kabupaten Jayawijaya. Dalam laporannya, Yikwa menyatakan data Dinas Kesehatan Kabupaten Nduga menyatakan hingga 28 Maret 2019 mencatat kelahiran 287 bayi di lokasi pengungsian di Wamena.
Sejumlah 2.103 orang ibu hamil berjalan kaki dari Nduga ke Wamena, menghindari konflik bersenjata di Nduga. Yikwa juga menyatakan keberadaan 1.139 balita, 2.179 remaja, dan 958 orang lanjut usia dari Nduga yang mengungsi ke Wamena. “Jumlah itu [adalah jumlah pengungsi] yang terdata [di Wamena]. Kami tidak tahu [berapa jumlah warga sipil Nduga] yang mengungsi ke Kywage, Asmat, Mimika, dan Yahukimo,”ungkap Yikwa.
Pada pekan lalu, Tim Solidaritas untuk Nduga merilis laporan dan Lembar Fakta Perkembangan Konflik Nduga dan Dampaknya. Laporan ini selain mencatat jumlah pengungsi hingga akhir Juli 2019 mencapai 5.021 orang. “Sekitar 177 orang yang meninggal dan lima orang masih hilang hingga bulan Juli ini,” ungkap Hipolitus Wangge, realawan Tim Solidaritas untuk Nduga dalam Konferensi Pers di Kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) di Jakarta, Kamis (18/7/2019). (*)
Editor: Aryo Wisanggeni G