Oleh: Florentinus Tebai
Sekilas mengenai Paulo Freire
Wikipedia mencatat bahwa Paulo Freire dilahirkan pada 19 September 1921 di Recife. Ia adalah seorang tokoh ternama, tokoh dan teoritikus dalam dunia pendidikan. Ia dilahirkan dan dibesarkan dalam keluarga yang berkecukupan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya (kelas menengah) di Recife, Brasil. Walaupun begitu, semasa hidupnya pada tahun 1929, ia pernah mengalami kemiskinan dan kelaparan secara langsung.
Satu hal menarik darinya adalah ia turut terlibat dalam membangun pendidikan dan membela kaum yang miskin dan papa.
Pada tahun 1943, ia mulai menuntut ilmu pengetahuan pada Universitas Recife. Ia adalah mahasiswa hukum, dan mempelajari ilmu-ilmu lain, seperti filsafat dan psikologi bahasa pada universitas yang sama. Namun lulus dalam bidang hukum.
Semasa karya dan praktiknya, ia bekerja sebagai seorang guru di sekolah-sekolah. Ia mengajar bahasa Portugis.
Tahun 1944, ia dianugerahi seorang istri bernama Elza Maia Costa de Oliveira yang adalah rekan kerja gurunya. Semasa hidupnya, mereka bekerja sama secara baik dan efektif, dan dianugerahi lima anak.
Selanjutnya, pada 1952, ia diangkat menjadi direktur pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dari Dinas Sosial di Negara bagian Pernambuco (yang ibu kotanya adalah Recife).
Semasa jabatannya, ia berkarya dan bekerja di antara orang-orang miskin yang notabene orang-orang miskin yang buta huruf.
Tahun berikutnya, 1961, ia diangkat menjadi seorang Direktur Departemen Perluasan Budaya dari Universitas Recife. Kemudian, pada 1961 ia diberi kesempatan untuk menerapkan teori-teorinya secara luas.
Satu tindakan mulia yang dilakukan oleh Freire adalah ketika 300 buruh kebun tebu diajar untuk membaca dan menulis hanya dalam 45 hari, pemerintah Brazil menyetujuinya.
Berikutnya tahun 1964 militer mengakhiri upaya ini, dan ia menerima konsekuensinya dengan dipenjarakan selama kurang-lebih 70 hari. Selanjutnya, ia mengasingkan diri di Bolivia dan bekerja di Chili selama lima tahun.
Tahun 1967, ia menerbitkan sebuah buku pertamanya berjudul “Pendidikan Sebagai Praktik Pembebasan”. Buku ini disambut baik oleh banyak pihak, bahkan ia ditawarkan sebagai jabatan profesor tamu di Harvard pada 1969.
Tahun selanjutnya, Ia juga menulis buku “Pendidikan Kaum Tertindas, Pedagogy of the Oppressed),” yang dikenal oleh banyak orang. Buku ini diterbitkan di Brasil dan dikenal oleh banyak orang pada waktu itu.
Selanjutnya, ia pindah ke Jenewa, Swiss dan bekerja sebagai seorang penasehat dalam bidang pendidikan, terkhusus di dalam bidang Dewan Gereja-Gereja se-Dunia.
Dalam masa inilah, ia bertindak sebagai seorang penasihat untuk mengubah pendidikan di kelas-kelas kolonial Portugis, Afrika, pada khususnya di Guinea Bissau dan Mozambik.
Tahun 1979, ia kembali ke tanah asalnya, Brasil dan bertindak sebagai seorang penyelia (penyelia manajer penyunting yang bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas para penyunting secara tepat dan efisien sesuai dengan yang telah ditentukan) bagi proyek melek (kegiatan yang sifatnya tidak tidur, jaga sepanjang malam untuk menyelesaikan pekerjaan) huruf dewasa dari tahun 1980-1989. Freire meninggal dunia karena serangan jantung pada 2 Mei 1997 di Sao Paulo, Brasil dalam usia 75 tahun.
Situasi pendidikan di Tanah Papua
Satu pokok persoalan di tanah Papua, adalah dalam bidang pendidikan. Artinya bahwa hingga kini, wajah pendidikan masih menjadi masalah serius, karena masih banyak anak-anak sekolah yang hingga kini tidak memiliki akses sekolah yang tidak memadai dengan baik.
Ada berbagai faktor yang turut mempengaruhi kemerosotan dalam bidang pendidikan di Tanah Papua, diantaranya budaya, kondisi ekonomi, dan posisi geografis di tanah Papua yang sering kali menghambat perkembangan pendidikan di tanah Papua.
Selain itu, ada banyak anak-anak yang putus sekolah, karena tidak ada biaya pendidikan yang cukup memadai. Tidak ada pendidikan yang layak, sehingga ada banyak guru dan siswa yang tidak berkualitas. Tidak hanya itu, persoalan lainnya juga adalah fasilitas sekolah yang tidak memadai, infrastruktur (gedung).
Kesiapan tenaga guru juga menjadi satu hambatan dalam perkembangan dunia pendidikan di Papua. Akibatnya, proses belajar mengajar tidak berjalan secara baik dan efisien, baik di tingkat SD (Sekolah Dasar), maupun perguruan tinggi.
Persoalan lainnya yang menghambat proses berjalannya kegiatan belajar mengajar di Papua adalah adanya tuntutan dari masyarakat. Terkadang masyarakat pemilik hak ulayat melakukan pemalangan di sekolah. Hal seperti ini juga sering kali mengakibatkan proses belajar mengajar di sekolah terhenti.
Tidak hanya itu, persoalan lainnya juga adalah adanya aksi mogok yang dilakukan oleh pihak guru-guru dari sekolah sendiri. Karena, seringkali kepala sekolah dan bendahara tidak transparan mengelola keuangan sekolah.
Sering kali dilakukan studi banding dalam upaya meningkatkan mutu dan kualitas guru, tetapi upaya ini sering terkesan dijadikan sebagai lahan bisnis bagi segelintir orang. Hal yang demikian sudah dan sedang terjadi di hampir setiap daerah di Tanah Papua.
Memperbaiki wajah pendidikan di Tanah Papua
Bagi saya ada dua hal penting yang perlu dipahami bahwa sebenarnya pendidikan adalah cara untuk mengubah masa depan bangsa dan negara. Oleh karena itu, pendidikan dapat dijadikan sebagai sebuah sarana yang paling unggul dalam mengembangkan sumber daya manusia (SDM) berkualitas.
Suatu peradaban bangsa harus dibangun melalui pendidikan. Artinya bahwa setiap anak yang sudah terdidik melalui proses pendidikan yang berkualitas, ia akan mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman.
Ia tidak lagi merasa ketinggalan zaman, karena dirinya telah terdidik melalui semua bentuk pengetahuan dan keterampilan yang dipelajarinya semasa di bangku pendidikan.
Sebenarnya pendidikan juga adalah sarana mencerdaskan setiap orang. Oleh karena itu, sangatlah urgen dalam upaya menciptakan pendidikan yang berkualitas.
Pertanyaannya, jika dinamika wajah pendidikan kita di Papua masih seperti sekarang ini, maka apa yang kita mau harapkan dari anak-anak yang sedang menempuh pendidikan? Karena mereka adalah satu-satunya aset untuk membangun dan memajukan negeri kita di Papua pada khususnya dan Indonesia pada umumnya. Mereka adalah harapan masa depan bangsa dan negeri.
Dalam konteks inilah benar bahwa semua pihak (para guru, pemerintah) dan lainnya mesti ikut bertanggung jawab atas wajah pendidikan kita di tanah Papua sejak dini.
Pendidikan yang mencerdaskan adalah pendidikan yang seharusnya membebaskan setiap orang. Artinya bahwa melalui setiap proses pendidikan yang diterimanya, setiap orang mampu mendidik siswanya menjadi pribadi yang cerdas.
Dengan menjadi seorang pribadi yang cerdas seorang siswa akan menjadi pribadi yang kritis, sehingga dengan begitu seorang yang terdidik akan mampu memecahkan segala bentuk persoalan dan kesulitan yang dihadapinya.
Ia akan mampu menyesuaikan diri dengannya, dan akan mampu juga mencari solusi terbaik demi memajukan kesejahteraan dan kebahagiaan bangsa dan negaranya.
Tidak hanya itu, satu hal paling penting adalah tujuan pendidikan juga meningkatkan keterampilan para murid. Hal ini sangatlah penting, karena dengan keterampilan juga seorang anak akan mempu hidup dan berkembang.
Ia akan menyesuaikan diri, dan selebihnya dia akan berkontribusi bagi bangsa dan negaranya. Misalnya, seorang siswa yang suka menulis, seorang guru mempunyai kewajiban dalam meningkatkan keterampilan yang dimilikinya.
Melalui keterampilan tersebut, ia dapat melakukan sesuatu untuk memajukan kesejahteraan dan kemajuan bangsa dan negerinya sendiri.
Ingat saatnya, anak negeri Papua harus bangkit dan melakukan suatu perubahan yang berdampak pada banyak orang demi memajukan kesejahteraan bangsa dan negerinya sendiri.
Meningkatkan mutu atau kualitas bagi guru juga adalah satu hal penting untuk kita saat ini dalam upaya memperbaiki wajah pendidikan kita. Artinya, bahwa memberikan suatu pelatihan khusus dan pengembangan guru-guru sangatlah penting dalam upaya kita memperbaiki wajah pendidikan di tanah Papua saat ini.
Oleh karena itu, berilah kesempatan seluas-luasnya kepada setiap peserta didik dalam usaha mencerdaskan kehidupan anak-anak demi bangsa dan negerinya sendiri.
Kemandirian dan kemajuan bangsa ada di generasi terdidik. Perubahan ada di tangan mereka.
Hanya pendidikan berkualitas saja yang mampu mengubah dan merombak segala bentuk ketertinggalan zaman. Pendidikan seharusnya membebaskan dan mendewasakan setiap orang.
Belajar dari bentuk pendidikan yang diidealkan oleh Paulo Freire
Satu hal menarik dari Paulo Freire adalah pendidikan yang membebaskan. Dalam konsep pemahaman atau pemikirannya bahwa pendidikan yang mendidik dan membentuk karakter murid yang siap siaga dalam segala hal adalah pendidikan yang seharusnya mengedepankan sistem dialektika (al berbahasa dan bernalar dengan dialog sebagai cara untuk menyelidiki suatu masalah) antara guru dan murid.
Metode dialektika menjadi urgen dalam proses kegiatan belajar mengajar. Dengan begitu, secara tidak langsung seorang murid akan menjadi murid yang kritis dan cerdas.
Dalam konteks pemahaman inilah sangatlah benar bahwa tujuan pendidikan yang sebenarnya adalah membentuk murid menjadi pribadi yang kritis.
Baginya menjadi pribadi yang kritis hanya dapat terjadi melalui pendidikan. Karena, menurutnya pendidikan adalah suatu bimbingan atau pimpinan yang dilakukan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani bagi setiap peserta didik demi terbentuknya kepribadian murid yang sebenarnya.
Dalam seluruh pendidikan dan pengajarannya, ia menempatkan alam sebagai satu ruang khusus, yang dalam istilahnya alam semesta sebagai satu kelas yang harus dimanfaatkan sebagai sebuah sarana dalam upaya membangun budaya kritis dari setiap murid didiknya.
Di sana ia berusaha mencari sesuatu hal yang baru, sehingga dengan bentuk yang demikian ia menggali dan berusaha meningkatkan alam pikiran para muridnya menjadi pribadi yang kritis.
Baginya, pendidikan adalah suatu usaha memberikan solusi demi membebaskan manusia dari segala bentuk ketertinggalan zamannya. Baginya pendidikan yang membebaskan adalah pemberantasan atas buta huruf untuk semua orang.
Dalam menjalin hubungan antara guru dengan murid, baginya seorang guru adalah figur yang selayak-layaknya mesti dihargai, dihormati, bahkan dimuliakan setingi-tinginya dan sepantas-pantasnya dari seorang murid.
Oleh karena itu, seorang guru mesti meningkatkan segala integritas, intelektualitas, dan kapabilitasnya, sehingga dengan begitu seorang guru mampu menjawab segala kebutuhan ilmu pengetahuan dari seorang murid.
Artinya bahwa semuanya yang dilakukan oleh guru hanya demi menjadikan seorang murid menjadi seorang murid yang profesional dan proporsional.
Dalam konteks inilah, Freire menegaskannya bahwa “seorang guru harus mengajar dan seorang murid harusnya belajar”.
Baginya, kurikulum yang diharapkan dalam dunia pendidikan adalah kurikulum pendidikan yang demokratis. Artinya bahwa seluruh isi pelajaran mesti ditentukan dan disepakati bersama berdasarkan konteks dan situasi setempat secara bersama baik antara guru dan murid, bahkan dengan masyarakatnya.
Sebab, baginya pendidikan yang demikian adalah pendidikan yang membebaskan. Dalam proses pendidikan mesti mengangkat segala kebutuhan nilai-nilai yang dibutuhkan oleh masyarakat tertindas. (*)
Penulis adalah mahasiswa STFT Fajar Timur, Abepura, Papua