Papua No. 1 News Portal | Jubi
Nabire, Senin – Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Demokrat Provinsi Papua akhirnya menurunkan bantuan bahan makanan (bama) kepada ratusan warga Intan Jaya yang mengungsi ke Nabire lantaran sejumlah rangkaian kekerasan yang diduga dilakukan oleh TNI, Polri dan TPNPB OPM.
Bantuan tersebut langsung diberikan oleh Wakil Ketua I DPD Partai Demokrat Provinsi Papua, Ricky Ham Pagawak (RHP) yang dipusatkan di halaman gereja Katolik St Antonius Padua Bumi Wonorejo, Senin, (8/3/2021).
Acara tersebut dihadiri sejumlah pengurus DPC Partai Demokrat se Provinsi Papua, para kepala suku, Pastor Paroki St Antonius Padua yang diwakili Diakon Yeskiel Beliau, dan puluhan pengungsi.
RHP yang juga Bupati Mamberamo Tengah mengatakan kedatangannya itu menjalankan visi dan misi Partai Demokrat yang diperintahkan oleh Ketua Umum DPP Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) untuk berkoalisi dengan rakyat. Bantuan itu, menurut Pagawak, menandakan bahwa masyarakat Indonesia, terutama Papua dan terlebih khusus Intan Jaya, mereka hidup tidak nyaman karena terjadi masalah.
“Ini merupakan bantuan kasih kepada masyarakatku Intan Jaya yang telah tinggalkan rumah, kebun, dan ternak. Sehingga kami Demokrat tidak diam, tapi kami hadir di Nabire, menyerahkan bantuan bahan makanan (bama) beras tiga ton, mi instan 150 karton, dan minyak goreng 30 karton,” ujar Pagawak.
Ia mengatakan bantuan tersebut bagian dari kepedulian Partai Demokrat merasakan apa yang saat ini dirasakan oleh masyarakat Intan Jaya. “Kami berharap masyarakat tidak menilai Partai Demokrat dari bantuan yang kami berikan, tapi hati Partai Demokrat [yang] sangat merasakan apa yang dirasakan oleh masyarakat Intan Jaya,” ujarnya.
Ia mengaku pihaknya telah melakukan pertemuan dengan seluruh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kabupaten/kota dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua dari Partai Demokrat guna menyikapi situasi terkini di Papua, seperti penolakan pemekaran provinsi dan kabupaten maupun kota, juga penolakan Otonomi Khusus Papua.
“Partai Demokrat, kami, sudah rekomendasi kepada Pemerintah Provinsi Papua dan pemerintah pusat. Pertama kami meminta untuk pemerintah pusat menarik TNI dan Polri, terutama TNI non organik,” ungkapnya. Pasalnya, kata dia, mereka yang non organik justru menjadi biang masalah utama di Papua, terutama Intan Jaya.
“Kami juga meminta kepada pemerintah pusat menunda pemekaran provinsi maupun kabupaten dan kota yang sedang diisukan itu. Ketiga, evaluasi Otonomi Khusus harus melibatkan orang asli Papua. Kenapa? Karena Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 [tentang Otonomi Khusus Papua] itu untuk orang asli Papua. Bukan untuk orang non Papua. Jika ada perbaikan bab per bab, atau ayat per ayat, harus dibicarakan oleh orang asli dari tujuh wilayah adat di Papua, Mamta, Lapago, Saereri, Meepago, Animha, Domberai, dan Bomberai,” tuturnya.
Bupati Mamberamo Tengah dua periode itu menegaskan, apa yang menjadi hati dan pikiran orang asli Papua harus dituangkan dalam Undang-undang itu. “Kami yang akan melaksanakan itu.Bahas UU Otsus harus bawa ke sini, bicara di tujuh wilayah adat. Harus hadirkan kepala-kepala suku, mahasiswa, tokoh adat, agama, perempuan, dan semua elemen duduk bersama, apa yang dirasakan harus dituangkan di dalam itu. Kami juga menolak pengoperasian Blok Wabu di Intan Jaya,” katanya tegas.
Ketua DPC Partai Demokrat Nabire, Marselus Gobai mengatakan turut prihatin atas semua kejadian tak terduga yang sedang terjadi di tanah Migani. “Saya sedih, mereka tinggalkan semua yang punya mereka di kampung halaman mereka. Demi keselamatan mereka harus pergi jauh seperti ke Nabire ini,” ujar Gobai.
Salah satu pengungi, Kristianus Mirip yang mewakili ratusan pengungsi Intan Jaya di Nabire mengatakan pihaknya yang sedang ada di Nabire bukan karena tidak ada tempat atau pekerjaan. Mirip menyatakan para warga mengungsi murni karena trauma dan takut atas konflik yang terjadi di Intan Jaya.
“Kami mohon kepada pemerintah agar buka mata dan telinga untuk Intan Jaya. Pemerintah juga sebagai wakil Allah di bumi, mohon perhatikan. Harus data pengungsi yang sedang ada dimana-dimana,” kata Mirip.
Pihaknya juga memohon pemerintah untuk tarik semua tentara dan polisi yang ada di Intan Jaya. “Kami tidak mau terjadi seperti yang kami alami lagi,” ucapnya.
Mewakili pastor paroki, Diakon Paroki St. Antonius Padua Bumi Wonorejo Yehezkiel Belau konflik di Intan Jaya membuat suasana hidup umat terganggu sejak tahun 2019 lalu. Sejak terjadinya konflik di Intan Jaya, semakin banyak umat yang mengungsi ke Gereja Katolik Bumi Wonorejo Walaupun paroki itu baru, Paroki St. Antonius Padua Bumi Wonorejo bersama para pastor paroki menerima umat baru itu. “Sejauh ini Gereja Katolik Bumi Wonorejo sudah berhasil salurkan bantuan beras kepada umat pengungsi sebanyak 2,5 ton,” ujarnya.
Jumlah pengungsi Intan Jaya yang sudah berhasil sudah didata oleh Gereja Katolik Paroki St. Antonius Padua sebanyak 353 kepala keluarga (KK). Para pengungsi dari Intan Jaya itu tersebar di 25 titik.
“Beberapa waktu belakangan ini, kami mengalami kesulitan dalam banyak hal, misalnya [memenuhi kebutuhan] makan-minum, tempat tinggal, juga kebutuhan bagi anak-anak yang putus sekolah dari Intan Jaya, akibat konflik,” ungkapnya.
Untuk anak-anak sekolah, kata Belau, sudah tidak ada guru di sekolah, sehingga, kegiatan belajar mengajar bagi anak-anak tidak ada lagi. “Maka, Gereja mengkhawatirkan masa depan dari anak-anak Intan Jaya yang putus sekolah akibat konflik,” katanya. (*)