Para terdakwa kasus amuk massa ingatkan Indonesia punya UU anti rasisme

Para aktivis anti rasisme yang dijadikan terdakwa kasus amuk massa dalam unjukrasa 29 Agustus 2019 berkampanye melawan praktik rasisme, Senin (6/1/2020). - IST
Para aktivis anti rasisme yang dijadikan terdakwa kasus amuk massa dalam unjukrasa 29 Agustus 2019 berkampanye melawan praktik rasisme, Senin (6/1/2020). – IST

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Jayapura, Jubi – Pada Senin (6/1/2020), para terdakwa kasus dugaan perusakan dalam amuk massa di Kota Jayapura pada 29 Agustus 2019 lalu kembali mengikuti persidangan di Pengadilan Negeri Jayapura. Di ruang tahanan pengadilan, para aktivis yang dijadikan terdakwa kasus itu berfoto bersama dengan memegang karton bertuliskan “I not Monkey, PSL 9 UU NO 40/2008”, menyerukan perlawanan untuk praktik rasisme terhadap orang asli Papua.

Read More

Persidangan kasus dugaan perusakan dalam amuk massa 29 Agustus 2019 pada Senin merupakan sidang pertama sejak Pengadilan Negeri (PN) Jayapura libur Natal dan Tahun Baru. Dalam siaran pers yang diterima Jubi, Koalisi Penegak Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Papua menyebutkan sejak pagi banyak polisi berjaga di PN Jayapura.

Meski demikian, para aktivis yang dijadikan terdakwa dalam kasus itu tetap tenang, dan dengan caranya sendiri berkampanye melawan segala praktik rasisme terhadap orang asli Papua. Di ruang tahanan, mereka berfoto sambil memegang karton bertuliskan “I not Monkey, PSL 9 UU NO 40/2008”.

Mereka seperti sedang mengingatkan publik bahwa Indonesia memiliki Undang undang Nomor 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Para aktivis yang dijadikan terdakwa itu mengingatkan, bahwa peristiwa amuk massa di Kota Jayapura pada 29 Agustus 2019 lalu bukanlah sebuah peristiwa tunggal yang tanpa sebab.

Unjukrasa 29 Agustus 2019 adalah reaksi dari tindakan oknum TNI dan anggota organisasi kemasyarakatan yang melakukan persekusi dan rasisme terhadap para mahasiswa di Asrama Mahasiswa Papua Kamasan III Surabaya pada 16 dan 17 Agustus 2019. Tanpa diduga, unjukrasa itu berkembang menjadi amuk massa, sehingga para aktivis yang melawan rasisme justru dipidanakan, dijadikan terdakwa dugaan perusakan.

Kini, para aktivis itu mengingatkan kembali, asal mula timbulnya aksi puluhan ribu warga Jayapura pada 29 Agustus 2019 lalu. Pasal 9 UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis menyatakan “Setiap warga negara berhak memperoleh perlakuan yang sama untuk mendapatkan hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tanpa membedakan ras dan etnis”.

Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua selaku penasehat hukum mereka berharap pesan para aktivis itu dapat menjadi catatan bagi jaksa penuntut hukum dan majelis hakim PN Jayapura untuk melihat persoalan aksi anti rasis di Jayapura secara objektif. “Semoga pesan [anti rasisme] itu menjadi catatan untuk melihat persoalan aksi anti rasis secara obyektif, agar [PN Jayapura] terhindar dari skenario kriminalisasi yang sedang dilakukan,” demikian siaran pers Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua.

Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua menegaskan rasisme adalah musuh bersama seluruh manusia. “Marilah kita hentikan tindakan rasisme, sebab rasisme adalah musuh bersama manusia di muka bumi yang beragam adanya,” tulis Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua.(*)

Editor: Aryo Wisanggeni G

Related posts

Leave a Reply