Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Langkah Arnold Clemens Ap, Demianus Koerni dan kawan kawannya membentuk kelompok musik Mambesak pada 5 Agustus 1978 mengawali gerakan kebudayaan orang asli Papua membangkitkan kebanggaan dan jati diri mereka sebagai manusia Papua. Kini, 5 Agustus diperingati banyak kalangan sebagai Hari Kebangkitan Budaya dan Pelestarian Bahasa Daerah di Papua.
Pada Hari Ulang Tahun ke-43 Mambesak, sejumlah perempuan Papua yang terinspirasi oleh Mambesak berbagi mimpi dan harapan mereka tentang kebangkitan budaya Papua. Mereka mengangankan lahirnya Mambesak baru yang semakin menguatkan gerakan kebangkitan budaya Papua.
Siska Monim yang berdomisili di Nabire mengatakan kelompok musik Mambesak telah menjadi legenda Papua. Kelompok musik akustik yang banyak membuat lagu berbahasa daerah Papua itu menghidupkan irama musik khas pesisir dan daratan Papua.“[Alat musik seperti] gitar, ukulele, tifa, bas, dipadukan dalam satu irama musik akustik dan dinyanyikan oleh vokalis,” kata Monim kepada Jubi melalui layanan pesan Whatsapp, Kamis (5/8/2021).
Baca juga: 43 tahun Mambesak, Museum Loka Budaya buat diskusi dan pameran daring
Monim mengatakan perjuangan panjang mambesak sudah menginspirasi generasi muda Papua untuk melestarikan kesenian tradisi dan bahasa daerah di Papua sebagai warisan turun temurun. “Nyanyian itu satu bagian kecil dari kebubudaya kita, yang semestinya diwariskan melalui kelompok musik. Jika musik tradisional,” katanya.
Monim mengatakan dewasa ini semakin banyak bahasa daerah yang kehilangan penutur. “Saya melihat bahwa generasi sekarang sudah mulai kurang menggunakan bahasa ibu atau bahasa daerahnya. Hal itu dipengaruhi beberapa faktor, salah satunya lingkungan tempat tinggal. Itu berpengaruh dalam menuturkan bahasa daerahnya,”katanya.
Monim berharap sanggar kesenian di Papua dapat menjadi wadah untuk menghidupkan kembali bahada daerah. Menurutnya, Mambesak telah menunjukkan berbagai nyanyian dalam bahasa daerah karya mereka membuat bahasa daerah tidak kehilangan penuturnya. Monim berharap sanggar kesenian di Papua mempromosikan lagu berbahasa daerah yang diiringi alat musik akuistik.
Baca juga: HUT Mambesak ke-43 mesti jadi momen melestarikan kebudayaan Papua
“Di pesisir pantai, banyak sekali bahasa daerah yang bisa digunakan untuk bernyanyi. Mambesak sudah bisa mengedukasi masyarakat Papua, terutama generasi milenial hari ini,” katanya.
Perempuan Papua asal Wamena, Maria Walela yang bermukim di Jayapura mengatakan ia sangat mengenal dan menyukai karya Mambesak. “Salah satu judul lagu yang saya suka adalah “Hidup Ini Suatu Misteri”. Lagu tersebut sangat mengagumkan. Lirik per liriknya mengandung arti yang mendalam bagi kami, perempuan Papua,” kata Walela.
Walela berharap kelompok musik Mambesak dibangkitkan lagi dan dikelola secara independen. Ia berharap Mambesak “baru” akan dikelola denga ketulusan hati yang murni, tanpa ada kepentingan pribadi para pengelolanya.
Baca juga: 43 tahun grup Mambesak dan masa depan budaya Papua
“Selama ini, saya termasuk generasi muda yang senang memutar lagu Mambesak. Akan tetapi, saya amati bahwa minat adik-adik saya, terutama generasi milenial, untuk belajar kebudayaan [Papua] semakin merosot,” katanya.
Walela mengatakan, apabila orang Papua ingin semangat Mambesak terus hidup, generasi muda Papua harus dikenalkan dengan spirit Mambesak, dan arti penting Mambesak bagi gerakan kebangkitan budaya Papua. “Kehadiran Mambesak pada era milenial itu penting, agar anak yang tidak tahu bahasa daerah bisa belajar melalui musik yang dinyanyikan Mambesak,” kata Walela.
Perempuan Papua asli Port Numbay, Linda Awi mengatakan eksistensi Membesak di kalangan anak muda Papua semakin terkikis. Anak muda di Papua umumnya lebih menggemari genre musik baru seperti rap atau reague.
Baca juga: Menapaki jalan Mambesak: Memikirkan gerakan kebudayaan rakyat Papua (bagian 1/2)
“Saat ini tidak ada [kelompok] musik akustik yang tampil dengan nuansa anak-anak milenial. Kalau ada kelompok musik akustik seperti Mambesak, yang hadir dengan fasilitas modern, kamarea yang bagus, mengelola akun youtube dengan baik, saya yakin generasi muda akan mudah menyukai musik [karya mereka],” kata Awi.
Awi berharap ada kelompok musik anak muda yang mampu melanjutkan semangat Mambesak membangkitkan budaya dan bahasa daerah di Papua. “Mungkin ke depan akan ada generasi muda yang dapat meneruskan grup musik [Mambesak], memberikan warna baru tanpa menghilangkan ciri khas dari Mambesak itu sendiri,” katanya.
Perempuan Papua asal Deiyai, Agustina Doo mengatakan warga musik Mambesak yang didominasi alat musik akustik telah identik dengan etnis Papua. Melihat besarnya eksistensi Mambesak dalam gerakan kebangkitan budaya Papua. Doo menyesalkan banyaknya generasi muda Papua yang tak lagi mengenal Mambesak.
Baca juga: Menapaki jalan Mambesak: Memikirkan gerakan kebudayaan rakyat Papua (2/selesai)
“Bagaimana dengan generasi masa sepuluh tahun mendatang? Kalau saat ini saja, kami masa bodoh dengan musik akustik [karya] Membesak. Padahal karya Mambesak bertujuan menyatukan berbagai suku bangsa orang asli Papua,” kata Doo.
Doo meminta Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Papua atau lembaga seni dan budaya di Papua mencari cara untuk kembali mengenalkan karya Mambesak kepada generasi muda Papua. “[Bisa] dengan cara mengadakan lomba antar kabupaten, [membuat] kurikulum [lokal] mata pelajaran seni budaya dan keterampilan. Namun kami tidak harus menunggu pihak yang berwenang. Kami sebagai generasi muda Papua seharusnya berinisiatif agar musik karya Membesak tidak punah,” katanya.
Baca juga: Kelompok musik Mambesak menyatukan orang Papua
Perempuan Papau asal Nabire, F Lidia Manupapami mengatakan kelompok musik Mambesak telah menjadi legenda yang dibanggakan orang Papua. Manupapami mengatakan masih ada sejumlah personil Mambesak yang dikenal, seperti Wolas Krenak, jurnalis senior Papua yang pernah bekerja di Harian Sinar Harapan. Para personil Mambesak mengawali gerakan kebudayaan di Papua yang menumbuhkan nasionalisme Papua.
“Mambesak merupakan kelompok musik pertama yang berkontribusi untuk Tanah Papua. Mambesak menumbuhkan rasa nasionalisme Papua, karena Mambesak mengangkat jati diri orang Papua dengan lagu dan bahasa daerah masing-masing suku di Tanah Papua. Mambesak membangun rasa kebersamaan yang sangat kuat sebagai orang Papua,” katanya.
Manupapami membenarkan jika semakin banyak anak muda Papua yang tidak lagi mengenali karya Mambesak, dan tidak mengetahui kontribusi besar Mambesak bagi gerakan kebudayaan di Papua. “Tetapi saya masih optimis bahwa ada Mambesak [baru] yang lahir di zaman yang modern ini, dengan lebih baik,” katanya. (*)
Editor: Aryo Wisanggeni G