Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Papuan Voices akan menyelenggarakan Festival Film Mini atau FFM bertajuk “Kitorang Nonton, Kitorang Diskusi Masyarakat Adat Papua, Tanah, Air, dan SDA” pada 5 – 9 Agustus 2020. FFM itu yang akan digelar serentak di delapan kota di Tanah Papua itu digelar lantaran pandemi Covid-19 membuat Papuan Voices tidak bisa menyelenggarakan Festival Film Papua IV.
Hal itu disampaikan Koordinator Umum Papuan Voices, Bernard Koten dalam keterangan pers tertulisnya pada Selasa (4/8/2020). “Pada tanggal 5 – 9 Agustus 2020, kami akan menyelenggarakan Festival Film Mini bertajuk ‘Kitorang Nonton, Kitorang Diskusi Masyarakat Adat Papua, Tanah, Air dan SDA’,” kata Koten dalam siaran persnya. FFM itu akan digelar serempak di Tambrauw, Sorong, Jayapura, Keerom, Wamena, Merauke, Biak, dan Timika.
Menurut Koten, pada tahun ini seharusnya Papuan Voices menggelar Festival Film Papua (FFP) VI di Wamena, ibukota Kabupaten Jayawijaya. Rencana itu diputuskan dalam FFP III yang digelar di Sorong, Papua Barat, pada tahun lalu.
Baca juga: Begini tantangan perempuan Papua membuat film dokumenter
“Namun agenda tersebut ditunda, karena sejak 21 Maret 2020 terdapat dua orang positif Covid-19 di Papua. Pada tanggal 24 Maret 2020 Pemerintah Provinsi Papua [memberlakukan] “lockdown” dengan menutup semua jalur penerbangan dan laut dari dan keluar Papua, termasuk [transportasi] antar kabupaten di Provinsi Papua. Panitia FFP ke-IV menunda kegiatan FFP IV sampai situasi normal kembali,” kata Koten.
Sebagai alternatif atas penundaan FFP IV itu, Papuan Voices membuat Festival Film Mini (FFM). FFM itu digelar sebagai upaya untuk tetap memperluas advokasi berbagai persoalan masyarakat adat dan sumber daya alam Papua melalui media audio visual.
FFM itu akan digelar serempak oleh pengurus Papuan Voices Wilayah Tambrauw, Sorong, Jayapura, Keerom, Wamena, Merauke, Biak, dan Timika. “Kegiatan itu merupakan rekomendasi dari rapat bersama antara Pengurus Nasional dan pengurus wilayah Papuan Voices. Kegiatan itu juga salah satu tolak ukur kekompakan Papuan Voices dalam bergerak seirama menuju satu tujuan,” katanya.
Koten mengatakan, FFM itu digelar Papuan Voices wilayah secara mandiri atau bekerja sama dengan para pihak yang sejalan dengan visi dan misi Papuan Voices. “Kami melihat situasi di Tanah Papua saat ini, isu mengenai Otsus Papua dan Omnibus Law telah menguat. Terdapat 28 organisasi yang menolak Otsus Papua Jilid II yang pelaksanaannya tidak sesuai harapan rakyat Papua. Di sisi lain, beberapa elemen juga telah menolak Rancangan Undang-undang Omnibus Law yang akan merampas tanah, sumber daya alam, serta hak hidup orang asli Papua,” katanya.
Koten mengatakan pendapat umum yang berkembang atas masalah itu telah bermunculan dalam berbagai kegiatan tatap muka maupun daring yang dilakukan oleh Papuan Voices.“Festival mini ingin membangun kesadaran masyarakat tentang pentingnya penguatan demokrasi bagi keadilan dan perdamaian di Tanah Papua,” katanya.
Koten mengatakan FFM membatasi jumlah penonton maksimal 50 orang. Para penonton akan terlibat dalam diskusi tatap muka maupun diskusi daring yang akan membahas berbagai film Papua bertema masyarakat adat dan sumber daya alam di Papua. “Terdapatnya satu dokumen mengenai rangkuman isu strategi terhadap Masyarakat Adat Papua, Tanah, Air dan SDA,” katanya.
Papuan Voices Wilayah Keerom, Harun Rumbrar mengatakan penyelenggaraan FFM nantinya akan tetap menerapkan protokol kesehatan yang dianjurkan pemerintah, termasuk mewajibkan para penonton menggunakan masker. Para penonton juga diharuskan mencuci tangan dengan sabun, dan menjaga jarak aman antarorang. “Karena situasi pandemi Covid-19, kebiasaan baru perlu dilakukan dalam mencegah dan menanggulangi penyebaran Covid-19 oleh semua pihak, termasuk Papuan Voices,” katanya.
Baca juga: Papuan Voices melatih perempuan GIDI membuat film dokumenter
Koordinator Papua Voices Wilayah Wamena, Boni Lanny menyatakan Papuan Voices yang hadir sejak 2012 berupaya untuk menyampaikan atau mengampanyekan isu-isu yang terjadi di Papua berdasarkan sudut pandang orang Papua melalui video atau film dokumenter. Komunitas Papua Voices berawal dari program khusus yang dibuat EngageMedia, sebuah organisasi yang bergerak dalam isu pemberdayaan media, teknologi dan budaya. Sejak 2017, Papuan Voices menyelenggarakan festival film tahunannya, Festival Film Papua.
Lanny mengatakan, Papuan Voices memproduksi berbagai film dokumenter berdurasi sekitar 30 menit yang mengisahkan perjuangan orang Papua menghadapi perubahan alam maupun berbagai isu sosial yang terjadi. Film yang telah diproduksi itu bisa dilihat dan diunduh melalui www.papuanvoices.net.
“Bagi Papuan Voices, untuk mencapai kedamaian, salah satu caranya menyampaikan pesan kemanusiaan lewat film. [Dengan film, pesan itu bisa ditujukan] kepada semua pihak, untuk mengingatkan semua pihak bahwa ada masalah, dan tugas kita bersama untuk membangun perdamaian, keadilan dan kesetaraan secara bersama,” katanya.
Lany mengatakan, Papuan Voices berupaya hadir sebagai wadah pendidikan, pengembangan sumber daya generasi muda Papua dan kampanye isu-isu Papua melalui media audio visual. “Selain memproduksi film-film dokumenter, kami juga mengadakan pelatihan audio visual bagi komunitas-komunitas,” katanya.(*)
Editor: Aryo Wisanggeni G