Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh: Welis Doga
Ujaran rasisme yang dialamatkan kepada mahasiswa Papua di Surabaya 16-17 Agustus 2019, yang kemudian diikuti gelombang aksi anti rasisme di seluruh Tanah Papua dan luar Papua menyisakan banyak cerita; mulai dari proses hukum yang masih diskriminatif oleh negara terhadap orang Papua yang merupakan korban rasisme, hingga pengalihan isu rasisme yang cukup sempurna, lalu mengiring kasus rasisme seakan itu kriminal murni dan politik, dan ketidakjelasan proses hukum terhadap aktor ujaran rasisme di Surabaya, Wamena, dan SMA YPPK St. Antonius Padua Sentani.
Pada bagian lain, pemblokiran akses internet yang berujung pada gugatan rakyat kepada negara dengan putusan yang dimenangkan oleh penggugat, hingga tiadanya permohonan maaf negara kepada rakyat, dan nasib mahasiswa/i eksodus yang hingga kini tidak jelas penanganannya oleh pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Papua dan Papua Barat, serta nasib keluarga korban meninggal dunia, baik orang asli Papua (OAP), maupun non-OAP, hingga kini tidak jelas penanganannya.
Jika 19 tahanan politik (tapol) rasisme di Wamena diduga dalang atas kerusuhan itu, bagaimana cara pihak penegak hukum dengan semudah itu menyimpulkannya? Faktanya kerusuhan Wamena adalah peristiwa “sebab-akibat”! (sebabnya adalah ujaran rasisme di SMA PGRI Wamena, dan respons atau akibatnya adalah demonstrasi siswa yang berbuntut pada kerusuhan di Wamena).
Mengapa isu rasisme di Wamena tenggelam seketika? Benarkah kerusuhan 23 September 2019 itu murni kriminal? Mengapa akses media dalam proses hukum tapol rasisme Wamena seperti ditutup rapi? Bagaimana proses hukum terhadap aktor ujaran rasisme di Wamena? Mengapa tidak ada solidaritas kemanusiaan untuk tapol kasus rasisme Wamena? Bagaimana nasib 19 tapol rasisme Wamena kini? Bukankah 19 tapol rasisme Wamena juga bagian dari kita? Mengapa lalu kita semua diam dengan 19 tapol rasisme Wamena? Ada apa dengan Kabupaten Jayawijaya? Mengapa semua kasus rasisme di Wamena seperti tersimpul dalam banyak pertanyaan?
Saya ingin mengulas kembali peristiwa Wamena, yang bermula dari ujaran rasisme seorang oknum guru kepada siswa di SMA PGRI Wamena itu, agar semua pihak, baik OAP, maupun non-OAP, dapat melihat peristiwa itu secara akal sehat dan tidak serta-merta kemudian menyalahkan satu pihak saja (terlebih pada OAP pegunungan). Kerusuhan 23 September itu boleh dikatakan cukup banyak menelan korban; mulai dari harta benda hingga nyawa manusia dibandingkan aksi-aksi anti rasisme di kota-kota lainnya di Tanah Papua.
Mengapa ujaran rasisme harus mengulang di Wamena, Pegunungan Tengah Papua? Mengapa tidak di daerah pegunungan tengah lainnya? Jawabannya banyak. Muaranya adalah label yang dialamatkan orang luar kepada orang gunung, dengan apa yang disebut orang gunung “suka perang” sepertinya bisa saja menjadi peluang pihak lain, dalam menyukseskan misi tertentu, dengan pola mendesain konflik.
Stereotip kepada orang Papua pegunungan, misalnya suka perang atau pertunjukan fisik dalam menghadapi problem, ketika dihadapkan dengan korban nyawa atau hal-hal yang sifatnya mengganggu kehidupan di kalangan orang gunung, bukan lagi hal baru dan sepertinya menjadi label permanen bagi orang pegunungan Papua.
Meskipun zaman ini tidak semua problem yang dialami orang pegunungan Papua diselesaikan dengan perang suku atau pertunjukan fisik lainnya, karakter keras dalam pandangan pihak lain sepertinya tertanam abadi.
Setiap orang non-OAP di Papua tentu cukup mengerti dengan karakter orang Papua seluruhnya, apalagi karakter orang gunung, sebagaimana label yang melekat itu. Aparat penegak hukum apalagi, tentunya memiliki peta daerah rawan konflik di Papua sesuai budaya hidup orang-orang di Papua.
Label orang gunung yang suka perang itu bisa saja menjadi alat pihak lain dalam menciptakan konflik antarsesama orang gunung, orang Papua gunung dengan pesisir, dan OAP dengan non-OAP, dalam desain konflik kepentingan pihak tertentu.
Kerusuhan di Wamena yang dimulai dari pengulangan ujaran rasisme di SMA PGRI Wamena ini harus menjadi pertanyaan. Kita semua harus kritis melihat kerusuhan Wamena 23 September 2019 ini dari kacamata logika dan itu harus diungkap hingga tuntas. Persoalannya, pelontaran kata-kata rasis kepada siswa di SMA PGRI Wamena itu terjadi setelah peristiwa 16 dan 17 Agustus 2019 di Surabaya. Artinya, ujaran rasisme itu seperti mengulangi peristiwa 16 dan 17 Agustus, padahal dampak peristiwa Surabaya begitu meluas hingga ribuan mahasiswa Papua menyatakan sikap untuk pulang kampung ke Papua, dan meningkatnya eskalasi demonstrasi di berbagai kota di Papua.
Ujaran rasisme di Wamena terjadi sekitar 36 hari setelah peristiwa Surabaya. Artinya, dalam selang waktu 36 hari itu publik Indonesia sedang menyaksikan dampak peristiwa Surabaya yang begitu luas di Tanah Papua.
Rakyat Papua di pegunungan tengah Papua sendiri melakukan aksi anti rasisme tersebut pada 26 Agustus 2019. Dalam aksinya mereka menyampaikan aspirasinya kepada Pemkab Jayawijaya dengan beberapa sikap pernyataan, salah satunya meminta kepada pemerintah pusat melalui pemerintah daerah untuk segera menyeriusi dan menyelesaikan kasus rasisme di Surabaya.
Kota Wamena tentu saja kecil. Jika oknum pelontar ujaran rasis di SMA PGRI Wamena itu berada di sana, maka dia menyaksikan sikap dan respons OAP di pegunungan tengah terhadap peristiwa Surabaya.
Artinya, jika pelaku ujaran rasisme di Wamena itu melontarkan hal yang sama seperti di Surabaya, maka keberadaannya harus dipertanyakan. Sepertinya pelaku ujaran rasis itu tidak merasa takut, sebab ada yang melindunginya, sehingga dengan leluasa melontarkan hal yang sama seperti di Surabaya.
Agak sulit menerima peristiwa Wamena pada September 2019. Mengapa? Ya, seperti uraian di atas tadi, bahwa karakter orang Papua di pegunungan tengah telah diketahui persis oleh orang Papua lainnya.
Lalu dampak peristiwa di Surabaya 2019 itu sudah pada tingkat waspada akibat meluasnya eskalasi demonstrasi di Tanah Papua. Kekuatan keamanan ditambahkan hingga para menteri, kapolri, dan panglima berkantor di Papua. Situasinya seperti itu tapi kemudian ujaran kebencian itu masih bisa saja terjadi di Wamena, bukan aneh?
Benarkah aktor di balik kerusuhan Wamena adalah seorang guru ataukah guru-guruan? Hal pertama sebelum guru berhadapan dengan anak-anak didiknya adalah harus mengenali atau mengetahui terlebih dahulu karakter para siswa atau peserta didiknya.
Hal ini penting karena tujuan pendidikan adalah mengembangkan potensi dan mencerdaskan setiap individu, mengubah pola pikir dan karakter seseorang yang dididiknya.
Sesuai Ketetapan MPRS Nomor 2 Tahun 1960, tujuan pendidikan adalah untuk membentuk manusia yang memiliki jiwa Pancasilais sejati berdasarkan ketentuan-ketentuan UUD 1945. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional secara sempurna menjelaskan tujuan pendidikan nasional, yakni untuk mengembangkan potensi peserta didik, agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertangung jawab.
Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen juga mensyaratkan seorang pendidik harus memiliki, paling tidak, empat kompetensi, di antaranya kompetensi pedagogik, kepribadian, professional, dan sosial.
Secara umum syarat menjadi seorang guru menurut undang-undang ini, misalnya, pasal 9 mengatur tentang kualifikasi akademik, pasal 10 mengatur tentang kompetensi, berikut adalah persyaratan sertifikasi atau akta mengajar, guru juga harus sehat jasmani. Selain itu guru juga harus memiliki akhlak mulia, memiliki kewibawaan, kesabaran dan ketekunan, serta harus mencintai peserta didik.
Dengan demikian, seorang guru selain harus tampil mengajar, dia harus memiliki pengetahuan yang luas, bijak, berakhlak mulia dan dapat bersosialisasi dengan baik. Oleh karena itu, setiap guru selain memiliki keempat kompetensi di atas harus juga memiliki karakteristik tertentu dengan menyesuaikan budaya setempat.
Sikap seorang guru di SMA PGRI Wamena terhadap siswa didikannya, yang kemudian berakibat pada meluasnya kerusuhan di Wamena tentu menjadi pertanyaan yang harus diungkap tuntas. Tindakannya benar-benar melenceng dari amanat UU Nomor 14/2005.
Ketika kembali pada peristiwa rasisme di SMA PGRI Wamena, maka pertanyaan lainnya adalah apakah ibu guru tersebut benar-benar memenuhi syarat sebagaimana diamanatkan dalam UU Nomor 14/2005 ataukah hanya dititip dengan maksud tertentu? Semoga pertanyaan seperti ini harus diungkap tuntas oleh penegak hukum, dan publik di Wamena harus cermat melihatnya.
Pertanyaan lainnya jika ibu guru yang melontarkan ujaran rasis ini memenuhi persyaratan sesuai UU Nomor 14/2005, mengapa dia dengan leluasa melontarkan kata-kata rasis itu? Melalui pintu mana dia diterima di SMA PGRI Wamena? Sejak kapan dia mengajar di SMA PGRI Wamena? Berapa lama dia tinggal di Papua, khususnya di daerah pegunungan Papua?
Keberadaannya harus diselidiki hingga tuntas, kemudian dipublikasikan secara terang benderang, sehingga semua pihak dapat memahaminya, sebab ulahnya meninggalkan luka batin bagi OAP dan non-OAP yang menjadi korban, apalagi mereka yang terpaksa kehilangan anggota keluarganya.
Kehilangan anggota keluarga dalam peristiwa ini adalah kehilangan harta termahal dan sangat sulit dilupakan, tidak mudah seperti membalikkan telapak tangan. Oleh sebab itu, semua proses pengungkapan fakta atas peristiwa tersebut harus mengedepankan transparansi kepada semua pihak.
Dendam sulit dihilangkan dari ingatan OAP dan non-OAP jika penegak hukum tidak mengedepankan transparansi hukum dalam mengungkap kasus kerusuhan Wamena, sebab sejauh ini proses hukum terhadap aktornya benar-benar tenggelam, seperti ditutup rapi, sedangkan korban rasisme dituduh sebagai dalang lalu diproses hukum dengan menyeret penuh pada pasal-pasal kriminal murni, tanpa mempertimbangkan atau melihat asal muasal peristiwanya. Ini benar-benar sedang menghindar dari sebab utama terjadinya peristiwa kerusuhan di Wamena.
Transparansi hukum dalam kasus kerusuhan di Wamena penting untuk menciptakan kedamaian di kota dengan julukan kota DANI (Damai, Aman, Nyaman dan Indah) itu, sebab periswita yang mengorbankan nyawa dan harta benda itu menyisakan adanya saling curiga antarsesama anak bangsa.
Benarkah kerusuhan Wamena kriminal murni?
Ujaran rasisme 21 September 2019 di Wamena hingga kerusuhan 23 September 2019 yang mengorbankan banyak nyawa dan harta benda itu seperti tenggelam seketika. Peristiwa itu cukup aneh, sebab ujaran rasisme ini sepertinya mengulang peristiwa Surabaya yang dampaknya begitu luas.
Lalu mengapa transparansi penegakan hukum tenggelam seketika? Jaminkah penegak hukum memastikan bahwa oknum guru itu tidak mengeluarkan kata-kata rasis terhadap siswa di SMA PGRI Wamena? Bagaimana cara polisi memastikan itu?—Polda Papua berdalih ujaran rasis itu hoaks (news.detik.com, Senin, 23 September 2019) dan Kapolri malah menuding KNPB (Gatra.com, 24 September 2019). Apakah polisi sudah memeriksa kepada semua siswa, kurang lebih 30 siswa di ruang kelas dimana oknum guru tersebut mengajar, dalam penyelidikan soal kebenaran ucapannya guru dimaksud?
Adakah pihak yang netral atau misalnya pengacara yang mendampingi para siswa tersebut dalam memberikan keterangan terkait peristiwa ujaran rasisme itu? Jika ada pemeriksaan kepada sekitar 30 siswa itu, apakah semuanya atau hanya beberapa diperiksa, dan dimana tempat para siswa itu memberikan keterangan terkait peristiwa itu? Apakah benar-benar tidak ada tekanan saat memberikan keterangan terkait peristiwa itu? Lalu sudahkah terbuka kepada publik tentang semua peristiwa itu? Jika ia, kapan dan melalui media apa saja terpublikasi, ataukah harus dirahasiakan?
Hal lain, siapa yang memobilisasi ke semua sekolah di Wamena untuk terlibat melakukan aksi terkait dengan peristiwa ujaran rasisme di SMA PGRI Wamena? Apakah pihak penegak hukum telah menemukan kebenarannya soal aktor yang memobilisasi itu? Jika tidak mengapa?
Mengapa sasaran pembakaran pertama adalah kantor pemerintah, Dinas Pekerjaan Umum dan Dinas Keuangan Daerah, serta Dinas Perhubungan? Apakah ujaran rasisme di SMA PGRI Wamena ada sangkutannya dengan gedung pemerintah? Sejauh mana pihak aparat penegak hukum tuntas dalam penyelidikannya?
Mengapa siswa SMA PGRI Wamena tidak mulai melakukan aksi membakar ruko maupun rumah mulai dari SMA PGRI serta perumahan warga pendatang di sepanjang jalan Bhayangkara Wamena jika aksi para siswa di Wamena benar-benar membenci dengan warga non-OAP atas ujaran rasis oknum guru tersebut?
Hal lain pula, aksi para siswa sedang aman-aman saja di halaman kantor bupati yang saat itu diterima oleh Pemda Jayawijaya, lalu mengapa tiba-tiba gedung Dinas PU yang ada di kompleks kantor bupati itu dibakar? Siapa yang mulai dengan aksi bakar-membakar? Apakah benar pelaku pembakaran gedung Dinas Pekerjaan Umum itu siswa yang saat itu aksi? Siapa yang bisa memastikan pelaku pembakaran itu benar-benar bahwa siswa yang juga aksi saat itu? Bagaimana kinerja pihak penegak hukum dapat memastikannya?
Lalu benarkah para 19 orang tahanan yang kini diproses hukum tersebut benar-benar otak di balik kerusuhan Wamena? Bagaimana pihak penegak hukum memastikan bahwa para tahanan tersebut benar-benar aktor dari pada peristiwa itu?
Ujaran rasisme berbuntut kerusuhan Wamena 23 September 2019 tentu meninggalkan banyak pertanyaan yang harus dijawab tuntas oleh berbagai pihak jika memang ingin Wamena dan pegunungan tengah Papua benar-benar Damai, Aman, Nyaman dan Indah (DANI).
Tenggelamnya teori hukum “kausalitas” dalam proses hukum kasus rasisme di Wamena?
Orang yang awam hukum sekalipun tentu saja paham bagaimana kerusuhan di Wamena terjadi, apa penyebab utamanya. Oleh sebab itu, penegak hukum tidak bisa serta-merta memvonis para terduga kerusuhan Wamena pada kriminal murni. Penegak hukum harus mengedepankan tujuan hukum, sebab keadilan juga adalah salah satu tujuan hukum, selain kemanfaatan dan kepastian hukum, sebab hukum harus jujur dalam melihat dan mengungkap apa yang terjadi sebenarnya.
Ingat bahwa setiap kejadian apapun juga tentu saja memiliki syarat, tanpa syarat (sebab) suatu peristiwa bukanlah peristiwa. Bersambung. (*)
Penulis adalah anggota Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua Se-Indonesia (AMPTPI)
Editor: Timoteus Marten