Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh: Welis Doga
Dalam konteks peristiwa rasisme yang bertuntut pada kerusuhan di Wamena, pihak penegak hukum benar-benar menghindari fakta peristiwa, padahal kerusuhan Wamena jika dilihat dari kacamata hukum pidana, maka proses hukum atas kasus ini mesti berdasarkan pada teori kausalitas (sebab-akibat). Tujuannya adalah untuk mencapai keadilan dan transparansi hukum.
Beberapa teori kausalitas, misalnya teori “Conditio Sine Qua Non” dari Von Buri, mahkamah tertinggi Jerman yang secara literal mengemukakan syarat mutlak. Menurutnya rangkaian syarat yang turut menimbulkan akibat harus dipandang sama dan tidak dapat dihilangkan dari rangkaian proses terjadinya akibat.
Rangkaian syarat itulah yang memungkinkan terjadinya akibat, karenanya penghapusan satu syarat dari rangkaian tersebut akan menggoyahkan rangkaian syarat secara keseluruhan, sehingga akibat tidak terjadi. Karena kesetaraan kedudukan setiap sebab, teori ini dinamakan juga dengan teori ekuivalen.
Dengan demikian, setiap sebab adalah syarat dan setiap syarat adalah sebab. Karena itu, suatu tindakan merupakan Conditio Sine Qua Non (syarat mutlak) bagi keberadaan sifat tertentu. Semua syarat (sebab) harus dipandang setara.
Konsekuensi teori ini, kita dapat menurut tiada henti sebab suatu peristiwa hingga ke masa lalu (regressus ad infinitum).
Atau teori generalisasi dari Treger, termasuk dalam teori ini adalah adekuat dari Von Kries, yakni musabab dari suatu kejadian adalah tindakan yang dalam keadaan normal dapat menimbulkan akibat atau kejadian yang dilarang. Keadaan yang normal dimaksud adalah bila pelaku mengetahui atau seharusnya mengetahui keadaan saat itu, yang memungkinkan timbulnya suatu akibat.
Bahwa merujuk pada teori kausalitas, pihak penegak hukum benar-benar menutup rapi transparansi penegakan hukum terhadap oknum guru yang diduga pelontar ujaran rasisme tersebut, sebab pengulangan pelontaran ujaran rasisme tersebut tidak dapat dilihat sebagai suatu peristiwa yang muncul secara kebetulan, tanpa sadar, dan ujaran rasis itu bukan baru kali pertama di Wamena. Artinya bahwa dampak dari ujaran rasis yang sama telah terjadi sebelumnya di Surabaya kemudian dampaknya meluas hingga mengubah kamtibmas di seluruh Papua adalah suatu fakta yang menghebohkan.
Namun demikian oknum guru tersebut masih saja mengulang ujaran rasisme Surabaya, padahal dia seharusnya sungguh paham bagaimana dampak yang bisa saja timbul kemudian.
Bahwa sangat penting bagi berbagai pihak melihat proses hukum atas kasus rasisme berbuntut kerusuhan di Wamena itu. Jika sebab utama peristiwa itu tidak digali secara cermat dan tuntas atau sengaja ditutupi, maka hasilnya adalah justru kita sedang menghamburkan benih-benih masalah baru, yang sewaktu-waktu bisa saja menumbulkan luka batin.
Apa yang membedakan dampak kasus rasisme di Wamena dan kota-kota lain di Papua?
Respons rakyat Papua atas peristiwa Surabaya 16-17 Agustus 2019 adalah dengan mobilisasi masa di kalangan OAP dan non-OAP. Mobilisasi di kalangan OAP dilakukan untuk memerotes kepada pemerintah Indonesia atas ujaran “monyet” yang dialamatkan kepada orang Papua.
Aksi di Kota Jayapura, Jakarta, Manokwari, Fakfak, Dogiyai, Deiyai, Nabire, Pegunungan Bintang, Sorong, dan beberapa kota lainnya di Tanah Papua dan luar Papua hanya membawa satu isu, yaitu sikap protes atas pembedaan warna kulit yang dilontarkan oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab itu.
Tentu saja tidak pernah ada isu aksi yang disiapkan oleh OAP dengan target menghancurkan fasilitas umum, membakar rumah, atau tempat-tempat usaha warga non-OAP, bahkan menghilangkan nyawa sesame manusia. Kalaupun kemudian terjadi pengrusakan fasilitas umum, pembakaran rumah, tempat-tempat usaha, apalagi menghilangkan nyawa manusia, maka hal itu menjadi pertanyaan yang harus diungkap tuntas.
Apakah betul aksi-aksi protes yang kemudian menjurus pada anarkhisme itu disiapkan secara matang oleh OAP ataukah disusupi oknum-oknum tertentu, pengacau dan perusak yang selama ini tidak menginginkan kedamaian di Papua? Semua ini tetap tidak tuntas dalam penyelidikannya oleh pihak penegak hukum.
Toh aksi 29 Agustus 2019 di Jayapura aman-aman saja. Tidak ada pengrusakan apa pun. Hal yang sama terjadi di Wamena pada 26 Agustus 2019 yang aksinya aman-aman saja.
Protes berujung tindak anarkhistis baru terjadi 29 September 2019 di Jayapura dan aksi di Wamena terjadi lantaran adanya ujaran rasisme oleh oknum guru tadi. Tujuan aksi di Jayapura dan Wamena itu sama: menolak adanya pembedaan warna kulit atau rasisme.
Ujaran rasisme di Wamena praktis terjadi 25 hari setelah aksi penolakan rasisme pada 26 Agustus 2019, dan dua hari setelah itu terjadi lagi ujaran rasisme.
Korban dan kerusakan terparah terjadi di Wamena dibandingkan Jayapura dan daerah lainnya. Polisi menetapkan 7 orang sebagai aktor kerusuhan Jayapura dan 19 orang untuk kerusuhan Wamena.
Artinya, dari sisi eskalasi aksi demonstrasi yang menjurus pada kerusuhan dan dampaknya, maka Wamena termasuk daerah terdampak dari isu rasisme yang cukup banyak menelan korban, hingga penahanan terhadap masyarakat yang diduga sebagai pelaku dengan jumlah terbanyak.
Kasus rasisme di Wamena juga termasuk menghebohkan, tercepat, dan cukup rapi dalam menenggelamkan isu rasisme, baik dalam meminimalisir keamanannya, maupun isu utamanya, serta proses hukum terhadap orang-orang yang diduga pelaku.
Advokasi kepada korban rasisme Wamena dan kota-kota lain di Papua maupun luar Papua tetap sama dilakukan oleh para pengacara yang tergabung dalam Koalisi Pengacara HAM.
Namun yang menjadi beda adalah, kasus 7 tahanan politik, yang menurut pihak berwenang, sebagai aktor di balik kerusuhan di Kota Jayapura, yang kemudian dipindahkan ke Kalimantan Timur dalam proses hukumnya, benar-benar aktif diberitakan oleh berbagai media atau kelompok.
Hampir semua media di Papua fokus meliput tahapan persidangan kasus 7 tapol di Kalimantan, Jakarta, dan Wamena, sedangkan korban rasisme yang ditahan selain 7 tapol itu, seperti di Wamena, sangatlah tertutup, dan tidak seheboh kasus 7 tapol di Kalimantan dan 6 tahanan di Jakarta.
Berbagai media di Papua, baik media lokal, maupun media nasional—meski ada dua media saja yang rutin—juga sepertinya tidak tertarik meliput proses hokum terhadap korban rasisme Wamena. Apakah memang dalam kondisi di bawah tekanan? Semuanya seperti tidak jelas.
Solidaritas untuk 19 orang tapol anti rasisme yang menjalani proses hukum di Wamena juga sama sekali tidak terlihat. Justru solidaritas atas 7 tapol di Kalimantan, yang juga datang dari Wamena yang terlihat. Berbagai pihak di Papua juga lebih banyak mengadvokasi 7 tapol Kalimantan, sedangkan 19 tahanan korban rasisme di Wamena sama sekali tidak terlihat advokasinya.
Mengapa harus begitu? Bukankah 19 tahanan kasus rasisme di Wamena adalah bagian dari kita juga? Mungkin karena 7 tapol rasisme yang jalani proses hukum di Kalimantan karena pimpinan organisasi tertentu dan aktivis terkenal di Papua, sehingga solidaritas untuk mereka terbangun di mana-mana, bahkan advokasi dari berbagai pihak kencang dilakukan. Lalu apakah 19 tapol rasisme di Wamena karena masyarakat biasa ataukah 7 tapol di Kalimantan lebih manusia daripada 19 tapol kasus kerusuhan di Wamena? Apa yang membuatnya hingga harus membedakan dalam advokasi oleh media dan berbagai kalangan? Ada apa dengan kerusuhan Wamena? Benarkah kerusuhan di Wamena murni karena kriminal? Sepertinya menimbulkan banyak pertanyaan di sini, bukan?
Bahwa kasus kerusuhan di Wamena tetap menjadi misteri tersendiri yang perlu diselidiki tuntas jika kita semua menginginkan kedamaian dan tetap satu. Selesai. (*)
Penulis adalah anggota Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua Se-Indonesia (AMPTPI)
Editor: Timoteus Marten