Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh: George Saa
Saya ingat tahun 2003 Prof. Yohanes Surya datang ke Jayapura dan memaparkan program belajar di Surya Institute. Dia akan mewawancarai siswa-siswi dari Papua untuk dia didik khusus untuk mengikuti perlombaan tingkat nasional. Saya ingat, di sinilah saya ketemu adik Oagay Rony, yang saat itu mengikuti lomba OSN (Olimpiade Sains Nasional) di BPG (Balai Pelatihan Guru) bersama kami.
Ketika menunggu peserta datang, Prof. Yohanes berdiri di depan pintu masuk. Saya hari itu stel baju SMA, dasi lengkap, terus jalan keluar, ke depan pintu dan ajak bicara (mengobrol) dengan Beliau.
Saya tanya Prof. apa yang Beliau lakukan (dengan) berdiri di depan pintu dan sedang tunggu siapa. Saya tidak kenal Beliau. Tapi memang dasarnya saya orang yang suka tanya dan kadang tidak malu bicara kepada orang asing sekalipun.
Beliau sontak katakan bahwa dia adalah pembicara di seminar ini namun dia tidak kasih detail. Beliau tanya saya dari SMA mana. Saya jawab SMU N 3 Buper. Beliau langsung katakan, “Kamu dan SMU kamu akan saya datangi untuk rekrut untuk dididik khusus di Jakarta.”
Saya menyimak tapi macam biasa saja. Nanti pas Pak Wakil Kadis P dan P BPK Dr James Modouw memperkenalkan Prof Yo saya langsung kagum, terheran-heran. Dalam hati saya berkata, orang hebat ini tadi saya bicara dengan dia.
Beliau sampaikan, “Besok hari tolong kamu cari teman-teman dan kakak-kakakmu ketemu saya untuk saya wawancara.” Janjian wawancara di hotel Yasmin.
Karena tidak punya motor, saya ke kawan saya yang mengojek di kawasan Cigombong (Kotaraja, Distrik Abepura, Kota Jayapura), sekarang dia berprofesi sebagai polisi, David Maitui. Saya sewa motor GL Pro miliknya dan sore itu saya langsung ke Polimak (Distrik Jayapura Selatan) untuk menjemput kawan saya, Felix Reba.
Saya tanya Korinus Waimbo pu rumah dimana, Zakaria Kareth rumah dimana dan Yane Ansanay rumah dimana.
Felix naik motor saya, balap ke Argapura Gunung dan ketemu Kak Korinus, dan saya bilang, “Prof . tunggu di (hotel) Yasmin. Begitu juga Yane dan Zakaria. Mereka semua ketemu Prof dan wawancara. Beberapa kakak-kakak lain juga ikut wawancara di hari esoknya.”
Prof. Yo putuskan besok atau lusa kami (yang berjumlah) 8 orang harus ke Jakarta. Saya heran dan bingung, karena bukan apa, tapi ke Jakarta ini yang saya pikir.
Kami ke Dinas P dan P, dan diterima Bpk. James Modouw. Beliau menyuruh kami naik mobil, selanjutnya (dia) mengurus keberangkatan kami.
Saya shock karena ini mau ke Jakarta. Jakarta ini yang memang buat saya pikir karena saya tahu mama di Merauke tidak akan setuju karena saya anak bongso (bungsu), dan mama mau (agar) saya masuk Uncen (Universitas Cenderawasih) dan tinggal saja di Papua, jangan jauh dari orangtua. Tapi saya pikir ini kesempatan dan tidak apa-apa pergi saja, nanti baru lapor belakangan. Memang mama sedih, menangis, karena saya anak kesayangannya pergi ke Jawa.
Kami (yang akan pergi untuk) belajar (ke Jawa) ini memang program Dinas Pendidikan dan apa ini biaya otsus (otonomi khusus)? Saya harus cek lagi ke Pak James. Tapi memang selama belajar di Karawaci itu urusan kesejahteraan lewat dana saku yang hanya Rp500 ribu walau makan ditanggung. Itu miris.
Namun kami bersyukur karena kesempatan ini tidak dimiliki anak-anak lain, jadi kami belajar rutin. Pagi, siang malam itu belajar Fisika dan Matematika Intensif.
Tak lupa doa malam bersama rekan serumah, Zak dan Yane di awal-awal kami serumah itu jalan. Kami saling beri nasihat dengan berbagi (perikop) firman Tuhan sebelum tidur (dan) menutup mata.
Satu hal yang kami sadar bahwa kami ini punya tanggung jawab yang besar, sehingga harus memanfaatkan kesempatan dengan intens untuk belajar. Jarang kami berkeliaran ke mal, kecuali Bapa yang baik hati, James Modouw yang datang kunjungi kami, karena kami semua diajak ke mal, makan buffer all you can eat dan singgah di Timezone. Kebaikan Beliau ini luar biasa buat kami di Karawaci pada 2003.
Kawan yang lain ikut lomba dan masuk di Universitas Pelita Harapan. Saya sendiri pindah ke Jakarta untuk ambil kelas bahasa Inggris untuk persiapan studi lanjut via beasiswa Freedom Institute Scholarship/Achmad Bakrie Award.
Satu kisah menarik, Prof. Yohanes melobi agar saya diberikan beasiswa. Saya dan Prof. pernah ketemu Bapak August Kafiar. Prof. Yo menyampaikan permintaan (ke) PT Freeport untuk menyekolahkan saya.
Pak Agus (sudah jawab) OK namun yang dipercayakan itu, kaka dong (kakak-kakak) yang sa tra perlu sebut namanya, sepertinya mereka tidak serius urus (permintaan kami). Akhirnya, ketika Pak Dr. Achmad Sahal diperintahkan untuk mencari saya oleh Bapak Dr. Rizal Mallarangeng, saya menerima bantuan beasiswa mereka dari Freedom Institute.
Saya ke Amerika 28 April 2005. Tidak ada mentor dan saya jalan sendiri. Saya tidak paham (bagaimana) melamar sekolah ke sana, jadi saya datang ke AMINEF dan kasih uang cash minta Pak Piet Hendrarjo dan Pak Muklis dan Ibu Paliama untuk daftarkan saya.
Begitu juga AMINEF daftar janji visa F1 saya ke Kedutaan. Ini pun saya cari info sendiri dan saya jalan saja tanpa plan ke AMINEF dan minta bantuan mereka. Syukur semua lancar. Saya sangat berterima kasih kepada tiga figur di AMINEF ini.
Skor TOEFL saya bagus. Tapi ketika landing di Los Angeles, CA, tuhar (oh Tuhan), saya mati nat, karena orang Amerika speak itu saya tra bisa balas. Di Imigrasi pun saya hanya bisa Miming (mimik?) untuk jawab pertanyaan mereka.
Lima tahun berlalu di Amerika Serikat akhirnya saya pulang. Saya alami banyak sekali tantangan. Namun Tuhan punya kuasa, Dia jaga dan lindungi saya hingga saya pulang.
Selama hidup di Amerika, sosok Bapak George Celcius Auparay, Bapak Agus Sumule, Bapak Hengky Wonatorey, dan Bapak A. Hatari, kadang saya minta tolong kepada mereka ketika saya mengalami kesulitan. Saat terkendala transfer beasiswa juga yang berjasa sekali adalah bapak angkat saya, Dr. Rizal Mallarangeng dan Bapak Aburizal Bakrie. Tuhan pakai mereka untuk angkat saya punya hidup.
Saya mau sampaikan bahwa secara spontanitas saja bapak-bapak pemimpin di Tanah Papua yang saya sebut di atas, mereka dorong untuk bantu kesulitan saya. Saya tidak masuk program beasiswa Pemprov Papua, padahal bapa saya, Silas Saya B.Sc.F adalah abdi negara (ASN) yang mulai karier di Tanah Papua tahun 1987 – 2006, bertugas keliling Tanah Papua dan pindah ke Sorong Selatan tahun 2006 dan pensiun pada 2008.
Saya akan ulas perjalanan saya ke Inggris tahun 2016 pada tulisan berikut, dan siapa saja sosok orang Papua yang mendorong dan mengangkat saya.
Saya sekarang komit untuk balik ke Inggris untuk membereskan sisa pendidikan saya sampe es teller dan banyak oknum (mungkin) menceritakan saya begini dan begitu, itu saya biarkan.
Sukses dan gagal dan itu Tuhan su atur. Sa cukup kerja keras saja dan hidup berpatokan bahwa saya harus jadi manusia yang bermanfaat buat Papua dan bangsa ini. Semoga awal tahun 2021 saya sudah balik dari UK dengan pertolongan Tuhan.
Singkat cerita, saya mau bilang otsus ka, uang otsus ka, bicara merdeka ka, semua kembali kepada hati dan hikmat manusia yang Tuhan taruh (untuk) pegang wewenang hari ini.
Sistem itu dibuat untuk memperbaiki kehidupan manusia! Otsus lanjut dan apakah akan membawa perubahan itu tergantung manusia yang mengatur. Dorongan untuk referendum pun itu kembali kepada niat manusia, yang mana, harus juga berhikmat ketika memimpin tanah ini dalam konteks merdeka. Semua kembali ke manusianya.
Hari ini yang perlu kita ukur itu sifat, hati nurani dan niat “manusia-manusia tanah” (OAP) ini. Apakah mereka atau apakah kita ini sudah banyak yang punya hati untuk bekerja dan memuliakan Tuhan dengan setia dan jujur untuk membawa kebaikan (sejahtera dll) kepada umat Tuhan, khususnya orang dan rakyat Papua atau mereka masih hidup dalam keegoan masing-masing? Ini PR besar kita.
Sistem bagus tapi kalau dijalankan oleh manusia bermental rakus dan kental dengan kepentingan pribadi/kelompok, saya pikir hasilnya sama: umat/rakyat Tuhan tetap hidup susah dan melarat. Mari sama-sama renungkan ini. Kiranya Tuhan Allah Papua memberkati segala upaya dan kerja kita semua dalam tugas dan kehidupan masing-masing. Amin. (*)
Penulis adalah math teacher at Papua Language Institute
Editor: Timoteus Marten