| Papua No. 1 News Portal | Jubi
Makassar, Jubi – Aktivis HAM di Papua, Anum Siregar menyatakan pertikaian antara Tentara Pembebasan Nasional/Organisasi Papua Merdeka atau TPN/OPM dan aparat keamanan di Papua mulai berpindah ke media massa.
Saat diskusi daring tentang “Akses Informasi dan HAM di Papua” yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen atau AJI Indonesia pada Senin (15/6/2020), Anum mengatakan, statmen TPN/OPM kerap dibantah oleh TNI/Polri melalui media.
“Yang saya lihat hari ini, perang antara TPN/OPM dan TNI/Polri di hutan, kini berpindah ke perang di media. Hari ini kita baca statemen TPN/OPM, besok kita baca statemen TNI/Polri, begitu seterusnya. Tidak ada lagi ruang publik yang diberikan untuk melihat dan merespons kenapa itu terjadi,” kata Anum Siregar.
Ia menilai, belakangan ini muncul kesan pemberitaan soal Papua selalu dipenuhi narasi tunggal. Baik oleh pemerintahan atau aparat keamanan. Menurutnya situasi itu berbahaya karena media sangat berperan penting dalam mengubah persepsi masyarakat.
“Kalau gaya seperti itu terus ada, menurut saya berbahaya dan fungsi edukasi [media] hilang. Mesti ada posisi yang jelas dari berita apa yang disampaikan [media],” ujarnya.
Disisi lain, Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua atau AlDP itu mengakui wartawan di Papua berada dalam situasi sulit. Mereka rentan terhadap intimidasi dan penyiksaan.
Intimidasi atau ancaman terhada wartawan di Papua tidak hanya berupa kekerasan fisik, namun juga lewat bahasa atau kata-kata verbal yang dikategorikan tindakan represif.
Dalam diskusi itu, Ketua AJI Jayapura, Lucky Ireeuw mengatakan setiap media atau wartawan memiliki warna dan karakter tersendiri.
Ada media atau wartawan yang selalu [merasa] nyaman dengan apa yang disampaikan kepolisian atau pemerintah sehingga tidak memberitakan pernyataan kelompok yang dianggap berseberangan.
Ada juga media atau wartawan yang membuat pemberitaan secara berimbang, dan ada media atau wartawan menulis berita apa adanya [atau sesuai fakta yang terjadi di lapangan].
“Ada yang menulis apa adanya, [tapi] justru dituduh media atau jurnalis pro kemerdekaan, terutama wartawan asli Papua. Ada juga media atau wartawan mungkin tidak berani menulis hal berseberangan karena ada tekanan pihak tertentu,” kata Lucky Ireeuw.
Menurutnya, kini indeks kebebasan pers di Papua yang hanya 66,6 persen merupakan terendah se-Indonesia. Media atau wartawan di Papua terutama daerah di luar Jayapura, bisa dikatakan tidak bisa bebas mengkritik para pengambil kebijakan di daerah itu karena khawatir akan munculnya tekanan dari pihak tertentu.
Selain itu, faktor lain yang menyebabkan media di Papua dinilai tak objektif adalah sulitnya kondisi geografis dan akses komunikasi, terutama di daerah-daerah di luar Jayapura.
Ia mencontohkan, ketika ada kejadian di daerah di luar Jayapura misalnya penembakan yang selalu lebih awal diterima media adalah terima narasinya tunggal dari aparat keamanan. Narasi itulah kemudian yang dipublis media bahkan hingga [media] di luar Papua.
“Banyak alasan kenapa media tidak objektif. Salah satunya karena akses geografis kondisi Papua yang sulit, akses sumber daya manusia, mungkin [media] sudah nyaman dengan berita aparat, atau mungkin juga karena tekanan dan lainnya,” ujarnya.
Selain itu kata Ireeuw, tak jarang wartawan di Papua mendapat intimidasi dari aparat keamanan dan warga. Salah satu contoh kasus ketika beberapa wartawan meliput demonstrasi mahasiswa eksodus di Auditorium Universitas Cenderawasih Jayapura, September 2019. Wartawan itu dilarang meliput oleh oknum aparat keamanan yang berjaga di lokasi dan disebut sebagai wartawan media provokator, separatis dan lainnya.
“Dari massa aksi juga ada. Misalnya saat massa aksi yang akan melakukan demonstrasi pada tahun lalu, berkumpul di Lingkaran Abepura, Kota Jayapura. Massa aksi melarang wartawan mendekat,” ucapnya.
Sikap massa aksi itu kata Ireeuw, Iebih pada adanya kecurigaan jangan sampai disusupi. Karena biasanya ada pihak lain mengatasnamakan wartawan. Namun itu berdampak ketika wartawan sebenarnya dianggap [penyusup] dan [akhirnya] diancaman. (*)
Editor: Edho Sinaga