Penyiksaan membunuh rasa kemanusiaan

papua-hari-anti-penyiksaan-dan-penghukuman
Masyarakat Nduga pada hari Minggu (19/7/2020) seharian menduduki jalan ke Bandara Keneyam menuntut jenazah Selu dan Elias Karunggu dimakamkan di ujung bandara Keneyam - Dok. Jubi

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Oleh: Thomas Ch. Syufi

Seluruh dunia, termasuk Indonesia, merayakan 40 tahun Hari Anti Penyiksaan dan Penghukuman Lain yang kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia pada 26 Juni 2020. Namun, tampaknya peringatan itu hanya sebatas ritual belaka tanpa memberi jaminan dan dampak positif bagi keberlangsungan hidup warga Indonesia, termasuk orang  Papua.

Read More

New York, Amerika Serikat menjadi tempat bersejarah atas prakarsa dan penandatanganan konvensi itu. Indonesia juga telah mengadopsi kovenan tersebut melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bersama 164 negara peserta, termasuk Indonesia yang hadir dalam konvensi itu, sekaligus 83 negara telah meneken atau membubuhkan tanda tangan pada 10 Desember 1984 dan mulai efektif 26 Juni 1987.

Tentu, Indonesia sendiri secara sadar telah mengikatkan diri dengan konvensi ini, sehingga tanpa alasan apapun Indonesia harus menunduk dan taat pada isi kesepakatan tersebut. Indonesia telah meratifikasi konvensi itu pada 28 September 1998. Artinya, Indonesia telah mengikatkan diri dan berjanji kepada masyarakat internasional untuk tidak lagi melakukan hal-hal yang dilarang atau tidak diinginkan konvensi.

PBB dan negara-negara anggotanya telah bersepakat bahwa penyiksaan dan penghilangan orang secara paksa adalah bentuk dari dehumanisasi. Esensi resolusi konvensi bernomor 39/46 tertanggal 10 Desember itu adalah menentang penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia (convention against torture and other cruel, inhuman or degrading treatment of punishment/UNCAT).

Memang hukum untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Jadi, kemanusiaan lebih tinggi dari hukum, maka hukum yang adil harus memenuhi rasa kemanusiaan.

Tentu, konvensi ini juga merujuk pada Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) 10 Desember 1948 di Jenewa, Swiss. Deklarasi itu menempatkan harkat dan martabat manusia berada di atas segala-galanya, hingga tak seorang pun berhak merampas atau melakukan sesuatu yang menggerus martabat kemanusiaan orang lain.

Dalam deklarasi HAM itu telah digoreskan secara gamblang bahwa setiap orang mempunyai hak asasi, antara lain, hak hidup, diakui kepribadiannya, masuk dan keluar suatu wilayah negara, dan  mendapatkan asylum (suaka). Juga seseorang mempunyai hak untuk mendapatkan suatu kebangsaan, bebas mengutarakan pikiran dan perasaan, bebas mengeluarkan pendapat, berpendapat dan berkumpul, mendapat jaminan sosial, mendapatkan pekerjaan, dan turut serta dalam gerakan kebudayaan dalam masyarakat.

Setidaknya, isi deklarasi HAM 10 Desember 1948 itu menegaskan kembali empat dasar HAM yang telah dikonsepkan oleh Franklin Delano Roosevelt (1882-1945), presiden ke-32 Amerika Serikat (1933-1945). Jadi, kebebasan itu meliputi kebebasan untuk menyatakan pendapat, kebebasan untuk beragama, kebebasan dari kemelaratan, dan kebebasan dari ketakutan.

Indonesia sendiri juga telah meratifikasi DUHAM tersebut melalui Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM untuk mengadili para pelaku pelanggaran HAM berat, tapi belum juga terealisasi. Bahkan konstitusi, yakni pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tentang HAM telah mengamanatkan bahwa setiap warga negara mempunyai hak milik pribadi, hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran, hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak. Kehendak menyatakan pendapat secara bebas juga telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Mengemukakan Pendapat di Muka Umum.

Potret penyiksaan di Papua

Indonesia membutuhkan waktu yang cukup lama untuk meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998. Ini menjadi momentum kontemplasi sekaligus proyeksi bagi bangsa Indonesia atas implementasi dari hukum anti-penyiksaan yang telah disahkan pada tahun 1998. Namun penerapannya sebagai hukum yang bisa memenuhi rasa keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, terutama orang Papua, begitu rumit.

Orang Papua, terutama para aktivis prodemokrasi dan HAM memandang hukum anti penyiksaan dan sejumlah instrumen hukum tentang HAM yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia, merupakan sesuatu yang gamblang dan keras dalam teks undang-undang, tapi lesu dan ciut dalam penerapan.

Orang Papua selalu merasakan ketidakadilan dalam proses penerapan hukum di negara ini. Hukum berlaku diskriminatif, hingga tidak seimbang dan berpihak kepada orang Papua yang kerap kali merasakan ketidakadilan.

Banyak catatan hitam pelanggaran HAM yang merusak jalan putih demokrasi di Tanah Papua setelah 22 tahun pemerintah Indonesia mengesahkan Undang-Undang Anti Penyiksaan.

Misalnya, penculikan tokoh politik terpandang rakyat Papua, Theys Hiyo Eluay (Ketua Presidium Dewan Papua/PDP) bersama dengan sopirnya, Aristoteles Masoka (yang tak pernah ditemukan jazadnya hingga saat ini) pada 10 November 2001 di alun-alun Kota Jayapura oleh Komando Pasukan Khusus (Kopassus), pembunuhan Opinus Tabuni saat perayaan Hari Masyarakat Pribumi (Indigenous Peoples Day), 9 Agustus 2008 di Lapangan Sinapuk, Wamena. Juga tertembak matinya Musa Mako Tabuni (Wakil Ketua I Komite Nasional Papua Barat/KNPB) di sekitar putaran taksi Perumnas III, Waena, Jayapura, 14 Juni 2012 oleh satuan aparat Polda Papua.

Masih berlanjut. Ribuan masyarakat Nduga pun masih dalam ketidakpastian hidup atas operasi militer. Operasi militer dilakukan dengan alasan untuk menumpas para gerilyawan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat – Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) yang sering terlibat baku tembak dengan TNI-Polri di daerah itu.

Namun, yang terjadi malah banyak warga sipil yang menderita. Mereka menjadi korban atas kebrutalan militer Indonesia, sebagian lagi menjadi pengungsi sejak operasi militer tahun 2018.

Menurut laporan Tirto. id, 30 Desember 2019, selama 2019 sebanyak 37.000 orang mengungsi, 241 orang tewas. Laporan Investigation Report on the Growing of Nduga Conflict and Its Impact yang dirilis Tim Relawan Kemanusiaan di Wamena, Juli 2019, juga menyebut kemelut Nduga cukup memakan banyak korban. Konflik itu mendorong lebih dari 5.000 orang pengungsi dan 139 orang di antaranya meninggal, baik karena kekerasan militer, maupun kelaparan.

Hujan batu di negeri sendiri, hujan emas di negeri orang, mungkin pepatah yang sangat pas untuk menggambarkan status pengungsi Nduga saat ini. Mereka ingin mencari tempat baru yang layak dan aman untuk meniti hidup untuk sementara waktu atas konflik yang masih berkecamuk di daerahnya. Mereka mengungsi ke berbagai tempat di sekitar daerah pegunungan tengah, antara lain, 2.000 orang mengungsi  ke Wamena, ibu kota Jayawijaya, pusat ekonomi di wilayah pegunungan tengah, dan di antara ribuan pengungsi itu, 610 orang berstatus pelajar (Tirto.id, 30 Desember 2019).

Sementara itu, laporan Tim Kemanusiaan untuk Nduga menyebut sedikitnya 182 orang meninggal akibat kekerasan sejak Desember 2018 sampai Juli 2019, yang terdiri atas 69 laki-laki dewasa, 21 perempuan dewasa, 20 anak laki-laki, dan 21 anak perempuan. Konflik ini juga menewaskan 14 balita perempuan, 12 balita laki-laki, 17 bayi laki-laki, dan 8 bayi perempuan. Jika ditotalkan, maka korban meninggal dunia didominasi perempuan dan anak sebanyak 113 orang (Tirto, id, 30 Desember 2019).

Nestapa tiada akhir di bumi Ndugama. Atas represi militer ribuan orang harus mengungsi, mereka meninggalkan kampung halaman, pergi ke negeri yang jauh. Sebagian dari mereka adalah warga yang keluarganya telah menjadi korban penembakan, pembunuhan, penganiayaan, intimidasi, dan teror oleh pihak militer.

Mereka pergi dengan tangisan dan ratapan demi menyelamatkan kekayaan terluhur manusia, yakni kehidupan. Sebagian lagi tidak memilih jalan lain, selain tetap tinggal di negerinya, hidup atau mati tetap di negeri sendiri, seperti adagium amor patriae nostra lex (cinta tanah air adalah hukum kita).

Bagi pengungsi, dimana mereka berpijak, di situlah mereka menggantungkan harapan dan masa depannya. Atau lebih tepat meminjam Marcus Tullius Cicero (106-43 SM), filsuf, orator, penulis, pengacara, penyair, senator (politikus), dan negarawan zaman Republik Romawi, Ubi bene, ibi patria (dimana seseorang merasa betah/enak, di situlah tanah airnya). Hampir similar dengan ungkapan Latin, ubi panis, ibi patria (di mana ada roti, ada negara).

Menurut J. Hector St. John de Crevecoeur dalam “What is an American”, adagium itu merupakan surat ketiga dari seorang petani Amerika. Ini adalah moto semua imigran Eropa ke Amerika Serikat. Bahkan orang Spanyol juga mengatakan el mal de coras, sakit hati. Artinya, seindah dan setentram apapun hidup di negeri orang, tidak bisa memupuskan spirit akan cinta pada kampung halaman.

Karena itu, banyak orang Nduga dan Papua umumnya berjuang untuk mempertahankan harga diri, martabat, dan tanah airnya meski harus diperlakukan dengan tidak adil atau mati. Ratusan ribu orang Papua telah mati sejak Tanah Papua dianeksasi ke NKRI melalui Perjanjian New York, 15 Agustus 1962, karena mereka berjuang untuk membela martabat kemanusiaannya dan mempertahankan tanah airnya, Papua. Inilah bentuk nasionalisme dan patriotisme orang Papua.

Mereka tidak akan meninggalkan tanah airnya, baik sebagai eksodus (exile), selain siap menerima kenyataan, maupun baik dan buruk risikonya tetap tinggal di negeri sendiri. Prinsip mereka adalah patria o muerte (tanah air atau mati).

Pada 20 Juli 2020, duka kembali menggelayut dari bumi Ndugama. Tewasnya dua warga sipil, yakni, Elias Karunggu (34) dan anaknya, Selu Karunggu(20), warga sipil Nduga yang diduga ditembak oleh anggota TNI, merupakan bentuk nyata dari represi dan brutalisme militer Indonesia yang masih berlanjut. Hingga kini belum ada laporan resmi atau investigasi yang mendalam terkait tragedi itu oleh pihak terkait, seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan keluarga korban. Masyarakat Nduga masih menunggu kepastian hukum atas kasus tersebut.

Kekerasaan masih berlanjut. Diduga oknum polisi memukul seorang warga, Marius Betera, di sebuah kantor perkebunan sawit di Distrik Jair, Boven Digoel. Beberapa jam setelah peristiwa tersebut, Marius meninggal (Kompas, 18 Mei 2020). Pada 25 Juli 2020, Oktovianus Warip Betera (16) seorang anak dari Asiki, Boven Digoel, tewas diduga dianiaya oleh anggota Satgas Pengamanan Perbatasan (Pamtas) 561 Caraka Yudha Kodam Brawijaya yang bertugas di Asiki (laporan Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Merauke/SKP-KAME).

Selain itu, di Tambrauw, Papua Barat, masyarakat juga mengalami hal yang sama, kekerasan dan penyiksaan oleh TNI. Sekitar awal Juli, diduga anggota Kostrad TNI Kebar, Tambrauw, menganiaya seorang pemuda bernama Septinus Asiar (22). Ia dianiaya dengan cara ditendang dan diinjak di perut, lalu pelaku mengaduk garam dengan air tawar dengan kadar tinggi sekitar setengah liter, lalu dipaksa minum hingga habis.

Ada juga penganiayaan Alex Yapen oleh anggota TNI (Kodim) di Sausapor pada 12 Juli 2020, penganiayaan 2 warga Mubrani, Soleman Kasi dan Hengky Mandacan,  29 Juli 2020, penganiayaan terhadap 4 pemuda Kosyefo: Neles Yenjau (35), Karlos Yeror (35), HY (24), dan Piter Yewen (30) di Kwor 28 Juli 2020, serta intimidasi terhadap warga Werbes dan Werur yang dilakukan oleh anggota Koramil Sausapor pada 25 dan 26 Juli 2020.

Keadilan dan jalan damai bagi Papua

Dari rangkaian kasus di atas, perlu adanya proses penegakan hukum terhadap para pelaku pelanggaran HAM, baik TNI maupun Polri, sebab, tindakan itu tidak hanya mengakibatkan luka fisik pada tubuh korban, tapi juga merupakan perlakuan yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat mereka.

Banyak kasus penganiayaan dan pembunuhan di luar hukum yang melibatkan aparat TNI-Polri terhadap warga Papua. Hal itu sangat melanggar konvensi Anti Penyiksaan. Sangat disesalkan, aparat negara yang diharapkan bertugas melindungi warga dan menghormati hukum justru bertindak represif dan brutal.

Dengan tindakan seperti ini, profesionalisme anggota TNI-Polri dipertaruhkan. Maka, apapun alasannya, kasus penyiksaan dan pelanggaran HAM di Tanah Papua harus segera dibereskan. Apa artinya, sila kemanusiaan yang adil dan beradab, kalau manusia yang satu menjadi serigala bagi manusia lain. Homo homini lupus, kata Thomas Hobbes (1588-1679), filsuf empirisme Inggris.

Semua warga negara sama dan sejajar di hadapan hukum (equality before the law) atau kredo yang cukup populer adalah all men are equal before the law, without distinction sex, race, religion, and social status (semua manusia adalah sama di depan hukum, tanpa membedakan jenis kelamin, warna kulit, agama, dan status sosial).

Hukum harus tegak dalam koridor keadilan. Siapapun yang melakukan pelanggaran hukum, harus diseret ke pengadilan, tidak hanya sebatas permintaan maaf atau sanksi internal (seperti pengadilan militer). Jadi, anggota TNI  yang diduga terlibat dalam kekerasaan dan penganiayaan harus pertanggungjawabkan perbuatannya dan diproses sesuai hukum yang berlaku, tidak ada alasan kausalitas  dan impunitas yang merupakan pengkhianatan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan korban kekerasaan.

Pelaku delik pidana atau pelanggaran HAM harus diadili di bawah yurisdiksi peradilan umum, sesuai perintah Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI.

Untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa ini, salah satu syarat adalah hukum harus benar-benar tegak bagi semua warga  negara tanpa diskriminasi. Pendekatan kekerasaan dan keamanan di Tanah Papua perlu diubah menjadi pendekatan humanitarian, justice, dan prosperity, dengan mengedepankan budaya dialog.

Tidak ada jalan untuk mengakhiri kekerasan di Tanah Papua, selain jalan damai berupa dialog yang adil, demokratis dan humanis, atau dengan kata lain per humanitatem ad pacem (perdamaian melalui kemanusiaan).

Keadilan bagi rakyat Papua adalah sebuah conditio sine qua non (kemutlakan yang pantang ditawar), karena perdamaian tidak ditemukan di mana-mana, hanya ada di meja perundingan dan jalan keadilan atau mengutip mendiang Karol Jozef Wojtyla (1920-2005)), Paus Yohanes Paulus II, No peace without justice (tak ada perdamaian tanpa keadilan).

Maka, jika ada warga yang diduga melanggar hukum, silakan diproses secara hukum dengan landasan nilai keadilan, bukan harus mengambil langkah kekerasaan, dengan melakukan intimidasi, teror, hingga melakukan penganiayaan dan siksaan yang menggerus martabat dan nilai kemanusiaan orang Papua. Apabila seseorang memperlakukan Anda dengan tidak adil, Anda dapat melupakannya, apabila Anda melakukan hal itu, Anda akan ingat selamanya.

”Menolak memenuhi hak asasi manusia berarti menentang kemanusiaan itu sendiri,” demikian ungkapan mendiang Nelson Rolihlahla Mandela (1918-2013), tokoh anti-politik apartheid, pemenang Hadiah Nobel Perdamaian (1993), dan Presiden Afrika Selatan pertama (1994-1999). (*)

Penulis adalah aktivis HAM Papua dan mantan Pengurus Pusat PMKRI Sanctus Thomas Aquinas

Editor: Timoteus Marten

Related posts

Leave a Reply