Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh: Charles Matly
Fenomena umum yang sering terjadi manakala masalah timbul adalah munculnya sosok penawar solusi. Umumnya mereka mengklaim diri dengan sebutan “penyelamat”. Sebut saja misalnya kemunculan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) yang dideklarasikan pendiriannya pada 18 Agustus 2020.
Keprihatinan atas gambaran situasi terkini bangsa yang dipandang sebagai sesuatu yang “mengancam” dan berpotensi menghancurkan adalah alasan KAMI berdiri. Atau juga dalam masa-masa menyongsong Pilkada Serentak 9 Desember 2020. Banyak pasangan calon yang tampil dengan cita-cita mengusahakan kebaikan hajat hidup orang banyak demi perubahan yang lebih baik dari pemerintahan sebelumnya.
Ragam solusi ditawarkan lewatnya kendati terkadang berangkat dari penafsiran keliru atas realita, juga asumsi-asumsi yang disimpulkan sendiri sesuai dengan maksud pribadi. Kepentingan umum pun dijadikan bungkus atas kepentingan pribadi yang diselubungkan dalamnya. Karenanya tujuan utama yang hendak dicapai lewatnya adalah pencapaian keinginan pribadi, baik harta, maupun takhta (kursi kekuasaan).
Demi semua itu adalah hal lumrah menjadikan “kelemahan” lawan sebagai senjata ampuh guna menghancurkan segala tembok penghalang pencapaian ambisi pribadi. Atasnya pertanyaan yang dapat diajukan, adalah apakah makna sebenarnya dari penyelamat itu? Kriteria moral apakah yang harusnya dimiliki seorang penyelamat?
Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan kata penyelamat sebagai orang yang menyelamatkan. Kata ini berasal dari kata dasar “selamat” yang berarti terbebas dan terlepas dari bahaya, bencana ataupun malapetaka. Karenanya penyelamat dapatlah dipahami sebagai subyek (pribadi ataupun kelompok) yang lewat kehadirannya kelompok ataupun pribadi tertentu dapat terbebas dan terlepas dari bahaya, bencana pun malapetaka.
Pengusahaan terhadap kebaikan orang lain yang ditentukan dari bebas dan terhindarnya orang atau kelompok dari masalah adalah orientasi sebenarnya dari seorang penyelamat; bukan koaran kritik. Tidak ada “lawan” langsung, karena yang dihadapi adalah situasi bukan pribadi.
Loh, bukannya situasi adalah ciptaan pribadi? Memang benar demikian. Benarlah juga bahwa untuk mengubah situasi, pribadi penyebabnya juga haruslah diubah.
Namun satu hal yang hendaknya selalu diingat, yaitu perubahan atas pribadi merujuk pada perubahan kesadaran. Kritikan atas situasi dan upaya penanganan atasnya-lah yang memungkinkan perubahan tersebut tercipta.
Pemahaman ini mengandaikan “penyelamat” sebagai subyek yang pertama-tama mampu melihat situasi secara jeli dan memiliki daya solutif atas masalah yang ada. Pola fakta-masalah-solusi adalah hal yang wajib dijadikan sebagai titik pijak perumusan keputusan, sehingga mengabaikan eksistensi salah satu dari antaranya bukanlah hal yang dapat dibenarkan, karena solusi mengandaikan adanya fakta dan masalah.
Masalah mengandaikan adanya fakta dan solusi. Fakta mengandung di dalamnya masalah; hal dari padanya solusi lahir. Keterkaitan erat antara tiga hal ini lantas mengandaikan adanya originalitas fakta dan masalah, sehingga solusi yang ditawarkan tidaklah mengada-ada.
Penekanan di atas menegaskan hal penting ini, yaitu bahwa orientasi perhatian dari penyelamat adalah fakta, masalah dan solusi itu sendiri. Inilah yang dibutuhkan untuk membuktikan diri sebagai penyelamat sejati. Tanpanya usaha penyelamatan tak pernah akan menyentuh hati orang, karena semata merupakan kata kosong tanpa makna, bak bingkai tak berpigura.
Jika memang seorang penyelamat adalah subyek yang berorientasi pada orang lain (others oriented subject), apakah kriteria yang bisa menjadi pijakan dalam menilai kualitas seorang penyelamat? Pendekatan yang dapat dijadikan sebagai pijakan dalam menilai kualitas sejati seorang penyelamat dalam konteks ini adalah prinsip integritas moral.
Dalam prinsip integritas moral, hal utama yang ditekankan adalah adanya kesesuaian antara tindakan lahiriah dengan nilai-nilai moral yang diyakini. Prinsip ini mengandaikan kesatuan antara apa yang diyakini dengan apa yang diperbuat.
Pijakan atas prinsip ini memberi landasan dalam menilai orang lain dengan menepis “topeng” yang menyelimuti wajah sehingga keaslian diri adalah hal utama yang mendapat penekanan dalamnya.
Lantas, apakah yang mendasari integritas moral itu sendiri? Integritas moral dalam etika mengandaikan adanya penghargaan atas kemanusiaan dan otonomi juga kejujuran dalam tindakan. Kemanusiaan mengandaikan penghargaan pribadi manusia sebagai manusia yang bermartabat luhur, diberlakukan dengan hormat dan tidak dirugikan.
Otonomi mengandaikan setiap orang diperlakukan dengan baik sesuai hak-haknya. Sedangkan kejujuran mengandaikan tidak adanya manipulasi dan kecurangan demi keuntungan pribadi.
Prinsip-prinsip moral tersebut menegaskan pentingnya memandang masalah sebagaimana adanya dan mengarahkan keseluruhan perhatian pada penyelesaian atasnya. Konsekuensinya tindakan nyata sebagai pembuktian atas efektivitas solusi dalam menyelesaikan masalah terlihat. Inilah hal terpenting yang dicita-citakan oleh setiap penyelamat dalam mengusahakan penyelamatannya.
Kritik harus dibarengi dengan kualitas tindakan, agar menciptakan daya dorong menuju perubahan. Jika kritik dilayangkan tanpa maksud menciptakan perubahan seturut kebenaran objektif karena penelaahan yang benar atas fakta dan masalah juga obyektifitas solusi, maka yang ditampilkan lewatnya hanyalah subyektivitas inilah yang menutup kemungkinan keterarahan pada perubahan karena ego pribadi menjadi terlalu begitu nampak dan adanya mengalahkan kebaikan kolektif, sehingga menjadi tak berarti di telinga, hati pun otak mereka yang menyaksikannya.
Atas semua uraian di atas, teringat perkataan Charles Dickens, seorang penulis roman dan novel kenamaan Inggris, “ada orang besar menjadi besar dengan cara mengecilkan dan merendahkan orang lain. Tetapi seorang besar sejati adalah seorang yang mampu membuat setiap orang merasa dirinya besar.”
Pernyataan Dickens ini menegaskan sungguh bahwa seorang penyelamat yang sejati adalah ia yang dengan menggunakan seluruh kualitas dirinya, mengusahakan kebaikan bagi orang lain. Keselamatan orang lain menjadi tujuan dari hidupnya, pertama-tama bukan agar ia disebut sebagai penyelamat, melainkan demi keselamatan orang lain.
Keterarahan eksistensial diri pada kebaikan orang lain dan sikap konsisten untuk hidup dalam kualitas diri yang sejati dimana penghargaan atas kemanusiaan, otonomi dan kejujuran menjadi warna dari setiap perilaku adalah kualitas sejati seorang penyelamat.
Dalam konteks politik, inilah yang disebut oleh Paul Wellstone sebagai konstelasi politik yang sejati, dimana para pemimpin senantiasa berusaha melakukan kebaikan untuk masyarakat.
Akhirnya biarlah kebaikan yang berbicara tanpa perlu takut didengarkan atau tidak, karena apa yang sejatinya berasal dari hati, akan sampai ke pada hati mereka yang mendengar dan menyaksikannya. (*)
Penulis adalah calon imam keuskupan Agung Merauke, Papua, sedang studi S2 di Ambon, Maluku
Editor: Timoteus Marten