Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Pasca penembakan yang menyebabkan Pendeta Yeremia Zanambani meninggal di Distrik Hitadipa, Kabupaten Intan Jaya, Papua pada 19 September 2020 lalu, hingga Senin (28/9/2020) sejumlah warga masih di pengungsian karena diminta aparat keamanan meninggalkan Hitadipa. Penembakan Pendeta Zanambani adalah kejahatan telah berdampak luas, sehingga kasus itu tidah bisa diselesaikan semata dengan pendekatan kultural.
Ketua Sinode Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) Pusat, Pdt Daniel Ronda saat bertemu awak media secara daring, Senin. Ronda menegaskan, pekerjaan rumah selain mengusut pelaku penembakan Pdt Zanambani adalah menangani warga yang mengungsi, dan memastikan mereka dapat segera kembali ke Hitadipa.
“Warga sekarang sudah terpencar ke keluarga [di kampung lain] [Sebagian dari] mereka [pergi masuk] ke hutan, dan sebagainya. Kita tidak tahu di mana mereka berpencar. Bagian inilah yang menjadi panggilan gereja yang belum selesai,” kata Ronda.
Baca juga: Penembakan pendeta di Intan Jaya dilaporkan di Sidang Dewan HAM PBB
Menurutnya, gereja sebagai lembaga rohani yang khusus menangani kesehatan rohani umat juga menjadi lembaga yang dipercaya oleh umat. Bagian penting dari tugas gereja untuk melindungi dan menjaga kehidupan masyarakat Hitadipa saat ini dipertaruhkan, mengingat iklim dan cuaca Kabupaten Intan Jaya yang sangat dingin.
Ketua GKII Sinode Wilayah 1 Papua, Pdt Petrus Bonyadone meminta agar warga jemaatnya di Hitadipa yang saat ini terpencar agar segera dipulangkan ke Hitadipa. Bonyadone menyatakan warga Hitadipa diminta aparat keamanan meninggalkan kampung mereka, setelah para warga selesai memakamkan Pdt Yeremia Zanambani pada 20 September 2020 lalu.
“Saya ditelepon keluarga Pendeta [Zanambani], mereka [memberitahu mereka sudah] diberi santunan. Itu oke saja. [Akan] tetapi, yang mendesak saat ini bagaimana warga Hitadipa yang terpencar dapat kembali ke rumah mereka,” kata Bonyadone.
Baca juga: Kerabat sebut pelaku penembakan pendeta Yeremia anggota TNI
Bonyadone menyampaikan dua permintaan kepada aparat keamanan di Hitadipa. Pertama, ia meminta agar aparat TNI yang diperbantukan ke Hitadipa selama beberapa bulan terakhir itu dapat ditarik, sehingga warga di sana dapat kembali pulang ke Hitadipa. “Sudah ada pernyataan [dari para warga], kalau mereka tidak akan kembali jika masih ada TNI,” katanya.
Kedua, Pendeta Petrus Bonyadone mengingatkan bahwa darah pendeta yang tertumpah adalah darah orang yang tak bersalah. Ia menegaskan Gereja dan keluarga pasti akan mengampuni orang yang bersalah, seperti keyakinan Kristen mereka.
Namun ia berharap ada jiwa ksatria yang patriotis dari pelaku pembunuhan untuk membuat pengakuan, agar kasus itu terbuka secara terang benderang. “Kami siap untuk mendoakan dia, dan minta Tuhan ampuni dia,” katanya.
Baca juga: Kapolda Papua: Jangan menuding TNI dan Polri
Peneliti Pusat Penelitian Kewilayahan (P2W) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof Dr Cahyo Pamungkas mengingatkan pembunuhan Pendeta Yeremia tidak bisa diselesaikan hanya melalui mekanisme kultural seperti bakar batu atau memberi santunan. “[Kasus penembakan itu] harus diselesaikan melalui pengadilan. Kalau tidak, akan terjadi impunitas, dan kejadian serupa akan terjadi pada masa akan datang,” katanya.
Menurutnya, jika hari ini ada orang Papua dibunuh tanpa diikuti proses hukum, pada masa mendatang hal serupa akan kembali terjadi, dan semakin menguatkan ekosistem kekerasan di Papua. Jika hal itu dibiarkan, praktik impunitas itu akan semakin menjauhkan orang Papua dari identitas ke-Indonesiaan.
Berdasarkan pengalamannya berkeliling Papua, Cahyo bertemu dengan banyak pendeta atau pastor yang bekerja di pedalaman Papua. Mereka bekerja dengan sukarela, menjadi pionir yang membuka kampung, membentuk pemerintahan, mendirikan klinik dan sekolah.
Baca juga: Polisi jangan ikut “perang tuding” tentang siapa pelaku penembakan pendeta di Papua
“Para pendeta dan pastor itu bukan hanya rohaniawan, tetapi mereka juga sebagai dokter dan memberikan pelayanan pada masyarakat. Kemudian bagaimana kita memaknai terbunuhnya pendeta? Saya kira [itu] potensi untuk menciptakan [atau] menyulut konflik yang lebih besar. Kita harus berhati-hati membacanya,” kata Cahyo.
Cahyo mengingatkan, impunitas dalam kasus penembakan Pdt Yeremia Zanambani akan menambah luka lama, dan memperkuat memoria passionis atau sejarah ingatan tentang kekerasan di Papua. “Dialog dan rekonsiliasi menjadi satu-satunya pendekatan strategi yang tepat untuk [menyelesaikan persoalan Papua]. Kalau kita selalu menunda dialog antara Jakarta dan Papua, kondisi [kekerasan] seperti itu akan terus berulang, dan korban akan semakin banyak,” katanya.
Sejak 2004 setidaknya ada tiga pendeta di Papua yang menjadi korban penembakan. Kasus pertama, pembunuhan Pdt Elisa Tabuni pada 16 Agustus 2004 di Puncak Jaya. Kedua, pembunuhan Pdt Gemin Nirigi pada 19 Desember 2018 di Mapenduma, Kabupaten Nduga. Penembakan Pdt Yeremia Zanambani di Intan Jaya pada 19 September 2020 menjadi kasus ketiga. (*)
Editor: Aryo Wisanggeni G