Otsus: Perpanjang Jilid II atau kehendak rakyat?

papua-demo-mahasiswa-tolikara-tolak-otsus-jilid-II
Mahasiswa Tolikara, Papua saat melakukan aksi tolak otsus beberapa waktu lalu di Jayapura - Jubi/Yuliana Lantipo

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Oleh: Okto Marco Pekei

Bila menyimak pemberitaan di media massa akhir-akhir ini, banyak kalangan di Papua maupun di luar Papua yang berbicara tentang otonomi khusus (otsus) bagi Provinsi Papua. Kalangan yang berbicara tentang otsus Papua bukan hanya dari kalangan masyarakat, tetapi juga dari pemerintah daerah termasuk pemerintah pusat.

Read More

Pertanyaannya, mengapa banyak kalangan baru berbicara sekarang di tahun 2020? Bukankah selama 20 tahun diberlakukan otsus di Papua dianggap biasa-biasa saja?

Hal ini tentu disebabkan karena kebanyakan orang tahu bahwa otsus bagi Provinsi Papua akan berakhir (anggaran) masa pemberlakuannya pada tahun 2021, sehingga wajar-wajar saja orang menyikapinya tahun ini sebagai tahun penghujung otsus.

Di tengah dinamika pembicaraan seperti ini, ada hal yang menyita perhatian kebanyakan orang ialah Otsus Jilid II. Banyak kalangan masyarakat asli Papua menyatakan sikap menolak Otsus Jilid II. Adapula orang asli Papua dari kalangan elite tidak setuju sikap penolakan masyarakat asli Papua.

Sikap pro-kontra terkait Otsus Jilid II pun tak terbantahkan. Nah, pertanyaannya; apakah dalam tataran hukum ada istilah jilid II? Tentu tidak. Dalam ranah hukum tidak dikenal istilah jilid I, jilid II, dan seterusnya.

Barangkali hal ini dipengaruhi oleh bahasa keseharian dalam perbincangan politik tentang periode atau jilid. Sementara dalam hukum formal tidak dirumuskan istilah jilid.

Namun, dalam hal ini barangkali orang masih terpengaruh dengan bahasa keseharian dalam perbincangan politik tentang periode atau istilah jilid II dalam konteks otsus. Hal itu dapat dimungkinkan apabila pihak berwenang melegitimasi produk hukum yang diterapkan sebelumnya yang tentu dimuat batas waktu pemberlakuannya.

Lantas pertanyaannya, apakah ada pasal atau ayat dalam UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua telah memuat batas waktu pemberlakukan undang-undang tersebut?

Bila mempelajari Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua tersebut, maka tidak terdapat satu pasal atau ayat pun yang mengatur dan menegaskan tentang batas waktu pemberlakukan dan merumuskan kemungkinan atau alternatif apabila masa pemberlakuannya selesai.

Ini adalah sebuah kegagalan fatal ketika menggagas UU No 21 Tahun 2001 tersebut.

Para elite politik dan akademisi yang merumuskan Undang-Undang Otsus telah gagal dalam merumuskan sebuah produk hukum dampaknya sangat besar, sebab tentu berimplikasi terhadap seluruh rakyat Papua dan Pemerintah.

Tidak ada batas waktu pemberlakuan juga memberi peluang bagi semua pihak terkait dalam mengabaikan kewajiban dan keseriusan dalam pembangunan dan penyelesaian konflik laten di Tanah Papua.

Akibatnya, orang bekerja tanpa target selama masa otsus. Memang dalam konteks otsus, bukan hanya sebatas ada tidaknya batas waktu pemberlakuan otsus, tetapi fakta menunjukkan bahwa keseriusan pemerintah daerah, maupun pemerintah pusat dalam menyelesaikan berbagai persoalan dan pembangunan tidak nampak.

Tidak ada kebijakan yang produktif bagi orang asli Papua. Evaluasi pelaksanaan otsus yang disampaikan beberapa komponen masyarakat Papua pun diabaikan. Otsus terkesan hanya sebatas mengucurkan dana seolah-olah dengan bertambahnya anggaran akan mengamini semua persoalan di Tanah Papua.

Sekalipun secara yuridis tidak diatur batas waktu pemberlakuan, kebanyakan pihak di Papua dan di luar Papua tahu dan meyakini bahwa Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua diberlakukan selama 21 tahun. Bahkan hal itu disampaikan oleh pemerintah di tengah situasi sosial politik yang eskalasinya tinggi pasca Kongres Rakyat Papua II.

Oleh karena itu, kebanyakan masyarakat di Papua dalam tahun 2020 ini berdiskusi tentang perpanjangan pemberlakuan otsus dengan istilah Jilid II.

Dengan demikian, jika penyampaian kepada masyarakat Papua bahwa otonomi khusus diterapkan selama 21 tahun tersebut tidak benar, apakah ini bukan pembohongan kepada publik? Atau penyampaian tersebut semata-mata hanya sebagai taktik untuk meredam situasi sosial politik sejak 1999 sampai 2001 yang menyita perhatian pemerintah?

Atas ketidakpastian hukum dan kebijakan pembangunan yang tidak berdaya guna bagi masyarakat di Papua sekalipun kucuran data otsus yang fantastis, namun faktanya dana bukanlah subyek yang mampu mengurangi segala persoalan yang hendak diselesaikan selama pemberlakuan otsus.

Papua masih menjadi daerah konflik kekerasan sekalipun otsus telah berjalan 19 tahun lamanya. Menyadari realita berjalannya otsus di Provinsi Papua tersebut, pemerintah hendaknya harus banting stir dari pemaksaan kehendak kepada rakyat.

Pemerintah mesti sadar bahwa rakyat tidak bisa dipaksa kehendaknya, sebab pemaksanaanlah yang selalu merongrong persatuan dan perdamaian; tidak bisa dibangun dengan laras senjata.

Pemerintah dituntut harus membuka diri untuk mendengarkan kehendak rakyat, sebab rakyatlah yang membangun sebuah negara yang secara konstitusional diberi kewenangan kepada pemerintah.

Demikian pula, para elite politik daerah dan akademisi di Papua, sebaiknya tidak boleh terlibat dalam merancang otsus dengan wajah baru, sebab pemerintah pusat dan pemerintah daerah gagal membangun kesepahaman untuk membangun Papua dalam segala aspek hidup orang asli Papua selama 19 tahun otsus diberlakukan. (*)

Penulis adalah Ketua Umum Sekolah Tinggi Touyepapa di Deiyai Papua

Editor:  Timoteus Marten

Related posts

Leave a Reply