Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh: Pares L. Wenda
Saat pelaksanaan otonomi khusus (otsus) Papua baru sembilan tahun, LIPI pada 2009 setelah melalui riset yang mendalam akhirnya mengumumkan empat akar masalah Papua yang perlu diselesaikan pemerintah, yaitu sejarah dan status politik Papua, pelanggaran HAM, marginalisasi OAP, dan kegagalan pembangunan.
Otsus Papua Jilid I adalah hasil bargaining politik Papua merdeka, hanya saja kelahirannya prematur, sama seperti New York Agreement dan Roma Agreement untuk pelaksanaan “act of free choice” yang lahir prematur tanpa melibatkan orang Papua.
Otsus Jilid I diberikan bukan karena keinginan tulus dan ikhlas dari negara. Otsus Jilid I dibayar dengan darah dan kematian, air mata dan keringat OAP.
Otsus Jilid I lahir di atas penderitaan OAP, dan membuat penderitaan OAP berlanjut dalam Otsus Jilid I. Pelanggaran HAM justru lebih tinggi saat pelaksanaan Otsus Jilid I. Hal ini dibenarkan dan diperkuat melalui survei LIPI dan change.org bahwa orang Papua khawatir jaminan kehidupan masa depannya di dalam Indonesia.
Dilansir voaindonesia.com, 15 Desember 2017, dalam berita berjudul “Survei LIPI: Pelanggaran HAM Persoalan Terbesar di Papua” Direktur Komunikasi Change.org, Arief Azis, mengatakan bahwa hasil survei menunjukkan 14,02 persen orang Papua asli menilai pelanggaran HAM sebagai persoalan terbesar di Papua, dan 53 persen orang Papua asli menganggap hal penting yang perlu diketahui oleh orang di luar Papua adalah mengenai HAM, hak untuk hidup, dan hak untuk mengelola.
Koordinator Jaringan Damai Papua, Pater Neles Tebay, membenarkan bahwa masalah pelanggaran HAM di Papua belum menjadi isu utama di media-media besar di Jakarta. Masyarakat Papua telah mengalami pelanggaran HAM sejak 1963.
Ketika rezim Presiden Soeharto berkuasa, pelanggaran HAM di Papua ditutupi, bahkan orang yang tinggal di Papua sendiri tidak tahu apa yang terjadi di kampung-kampung. Sumber informasi kala itu adalah militer. Karena itulah, dia membenarkan pelanggaran HAM merupakan isu paling penting yang harus diketahui oleh orang-orang di luar Papua.
“Yang dikhawatirkan orang Papua adalah hidup dan masa depannya. Apakah hidup dan masa depan orang asli Papua itu terjamin dalam Republik Indonesia atau tidak. Itu kekhawatirannya, sehingga pemerintah Indonesia punya kewajiban untuk memberikan jaminan bahwa di dalam Republik Indonesia ini, hidup orang Papua dan masa depan orang Papua itu terjamin.”
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menjelaskan masalah Papua menjadi isu nasional, regional, bahkan internasional. Persoalan Papua menjadi sorotan negara-negara asing, bahkan masuk dalam tinjauan berkala universal tiap kali rapat Dewan HAM PBB.
Kondisi Papua yang tidak aman, tidak hanya persoalan militer, tapi juga masalah infrastruktur, layanan pendidikan, kesehatan, dan kekerasan akibat main hakim sendiri dan konflik antarklan.
Ketidakamanan di Papua diperparah oleh persoalan migrasi (dari luar Papua) yang tidak terkontrol, sehingga menimbulkan banyak masalah di sektor sosial dan ekonomi. Belum lagi isu literasi, absennya penegakan hukum, dan pelayanan kesehatan serta pendidikan. Penyelesaian pelanggaran HAM di Papua harus menjadi agenda utama dalam dialog nasional. Karena indikator damai di Papua adalah mengutamakan penegakan HAM.
Sepertinya Papua memang masuk dalam peta konflik by design. Dalam konflik by design, aktornya mengambil keuntungan dari suatu kondisi yang diciptakan oleh tangan-tangan yang berkehendak agar Papua tetap dipandang setiap tahun sebagai daerah konflik; daerah yang penduduk aslinya harus dibunuh habis.
Kalau itu yang terjadi, maka wilayah Melanesia di Pasifik, terutama PNG dan Australia jangan menganggap mereka aman dalam posisi geopolitik mereka untuk jangka panjang.
Mari kita masuk dalam alam pikiran by design. Saat OAP menghitung kegagalan otsus Jilid I dan strategi menghadapi Otsus Jilid II, orang/lembaga/institusi negara di Indonesia mengevaluasi dan melakukan (kejahatan) by design berikutnya agar Otsus Jilid II tetap dilaksanakan.
Dalam konteks evaluasi otsus, secara umum dipastikan evaluasinya hal-hal yang bersifat umum saja. Sebaliknya “think tank” Otsus Jilid I dan Jilid II sedang melakukan upaya by design tanpa kita sadari. Desain seperti ini diduga sudah didesain jauh sebelum Otsus Jilid II tiba.
Think tank secara khusus tentang keberhasilan secret service (pekerjaan rahasia). Misalnya lembaga ini dapat menghitung jumlah atau persentase OAP yang berhasil mereka hilangkan nyawanya melalui extra judicial killing, metode tabrak lari, metode jasa rumah sakit, menembak mati di medan tempur dengan alasan anggota TPNPB, dan metode lain yang relevan selama 20 tahun otsus berjalan. Belum lagi dalam konteks evaluasi umum masuk dalam kategori pelanggaran HAM berat.
Barangkali mereka juga telah bermain di ranah politik dengan merebut kursi DPRD, atau akan mengevaluasi beberapa bisnis yang mereka kendalikan dalam Otsus Jilid I, penerimaan CPNS yang diintervensi dan berhasil menyusupkan orang-orang mereka ke dalam civil servant (PNS).
Berapa pembunuhan karakter OAP yang dilakukan dengan stigma rasis yang mengalami gangguan jiwa, stroke, kehilangan pekerjaan, jabatan, tidak mendapat akses pendidikan di semua universitas karena mengangkat isu Papua, misalnya, beberapa mahasiswa/i di Indonesia diduga terancam drop out dari kampus mereka dan kondisi lainnya yang mereka hadapi?
Kondisi seperti ini termasuk dalam kategori marginalisasi OAP dan soft killing tanpa korban menyadarinya.
Kalau ada agenda terselubung, mengapa harus ada Otsus Jilid I, kalau ada agenda untuk genosida, marginalisasi, rasisme dan ketidakadilan hukum terhadap OAP, mengapa harus ada Otsus Jilid II?
Apa artinya bagi Otsus Jilid II bagi OAP? Sama sekali tidak ada manfaat bagi masa depan Papua di dalam Otsus Jilid II.
Otsus Jilid II akan menghasilkan pelanggaran HAM baru di Tanah Papua, Otsus Jilid II akan menghasilkan eskalasi konflik OAP dengan negara meningkatkan.
Demikian juga pilkada yang berbenturan dengan PON, para elite akan sibuk dengan pilkada Papua di sejumlah daerah, dan PON Papua, sementara Otsus Jilid II akan tetap dijalankan dengan mulus.
Negara dengan segala kekuasaannya akan menghilangkan hal-hal substansial tentang isu Papua yang menjadi konsen OAP, penguasa di Jakarta malahan akan lebih mendengar suara-suara manusia-manusia oportunis yang mengambil keuntungan dari air keruh ini, yaitu kelompok pengusung pemekaran provinsi dan kabupaten/kota se-Papua dan Papua Barat, yang adalah orang Papua sendiri, yang selalu menari-nari di atas darah dan air mata, dan nyawa saudara kandunganya.
Mereka itu adalah bagian dari orang-orang Papua asli pengusung (otsus) paksaan dan memaksakan negara terhadap terbentuknya daerah otonomi baru Provinsi Papua Barat, yang sekarang berjalan, tanpa pernah diakui oleh rakyat Papua.
Negara memaksa agar OAP menerima keputusan politik Jakarta. Model ini akan menambah kondisi traumatis kehidupan OAP.
Otsus Jilid I dan pemekaran sejumlah kabupaten/kota dan Provinsi Papua Barat tidak berjalan sesuai amanat Otsus Jilid I, lalu apa untungnya Otsus Jilid II bagi OAP?
Otsus Jilid II tidak boleh lahir dan tidak boleh ada kalau tidak ada perundingan antara OAP (dalam hal ini ULMWP) dengan Pemerintah Indonesia.
Diduga kuat bahwa jumlah OAP dari hasil tes CPNS 2018 di sejumlah kabupaten/kota di Papua dan Papua Barat lebih sedikit daripada saudara/i dari luar Papua. Mereka dimarginalkan secara sistematis. Pertanyaannya, mengapa PNS hasil tes tahun 2018 diumumkan saat OAP sedang konsen menolak Otsus Jilid II, menghadapi pilkada dan PON?
Ini yang disebut by design mengambil keuntungan dalam suatu kondisi dimana masyarakat terlena atau berkonsentrasi pada isu-isu lain yang dianggap krusial, sementara isu lain yang tidak kalah penting tetapi diabaikan, dan dampaknya dirasakan 15-20 tahun yang akan datang, juga ikut dijalankan, kondisi ini akan menjadi potensi konflik laten.
Untuk menghindari kondisi riil dan mimpi buruk yang akan dihadapi OAP, maka tidak ada cara lain yang bisa dilakukan OAP, selain OAP harus bersatu dan menyatakan keprihatinan yang sama kepada negara.
Secara bermartabat/terhormat OAP melakukan suatu tindakan spektakuler seperti yang diserukan 57 pastor Katolik regio Papua secara resmi mengumumkan kepada publik dunia, bahwa mereka mendorong Pemerintah Indonesia menggelar referendum bagi Papua, atau pernyataan resmi para pimpinan Gereja yang tergabung di dalam Dewan Gereja Papua bahwa negara harus berunding dengan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP).
Indonesia harus kembali kepada maksud dan tujuan pernyataan Dr. Mohammad Hatta, pendiri RI bahwa bangsa Papua adalah bangsa Melanesia, mereka bukan ras Melayu, mereka berhak menentukan nasib sendiri.
Dengan melakukan pemikran Bung Hatta di Papua, Indonesia tidak akan kehilangan trust di mata OAP, dan tidak akan kehilangan kepercayaan masyarakat internasional. OAP dan masyarakat dunia akan merespons dengan gembira rencana luar biasa negara bagi bangsa Papua apabila negara dengan jiwa patriot yang menghargai HAM mendengar suara kenabian Gereja dan bangsa Papua.
Masalah Papua bukan saja menjadi pergumulan OAP, tetapi menjadi pergumulan kita bersama, yang hidup di Papua. Marilah kita menghargai kemanusiaan kita, kebersamaan kita, marilah kita bersatu dengan barisan Bung Hatta, Surya Anta Ginting, Dandhy Laksono, pekerja HAM, lawyer HAM yang terus berpihak kepada OAP sebagai korban kekejaman negara.
Marilah kita merenungkan bahwa ketika founding fathers Republik Indonesia mendukung pendapat tokoh terbesar Indonesia, tokoh dan negarawan yang menghargai HAM, Bung Hatta, maka sesungguhnya, tidak perlu ada korban berjatuhan di tanah Papua sejak 1960-an hingga sekarang. Tidak perlu LIPI melakukan riset dan menemukan empat akar masalah Papua, tidak perlu ada rasisme terhadap OAP, tidak perlu ada pelanggaran HAM, tidak perlu OAP termarginalisasi, tidak perlu OAP merasa pembangunan gagal dilaksanakan oleh negara di Papua.
Bung Hatta menjadi orang pertama Indonesia yang menolak Papua dimasukkan dalam negara bangsa yang bernama Indonesia. Kini saatnya Indonesia tidak lagi memaksa kehendaknya terhadap OAP.
Hendaknya pasca Otsus Jilid II menjadi momentum negara mengevaluasi dan memutuskan untuk menggelar referendum atau perundingan dengan ULMWP demi menjaga anak bangsa Papua dan anak bangsa Indonesia tidak lagi berkorban atas nama “NKRI Harga Mati” dan “Papua Merdeka Harga Mati”.
Saya bermimpi suatu saat Indonesia sebagai negara muslim pertama di dunia yang memberikan kemerdekaan kepada bangsa Papua, bukan karena tekanan dari siapapun, tetapi dengan kesadaran historis, bahwa Indonesia mempunyai pengalaman dijajah oleh Belanda, dan tahu persis bagaimana tidak enaknya sebuah perasaan dan jiwa yang terjajah, seperti duri dalam daging manusia.
Indonesia sebagai negara besar di kawasan Asia Tenggara memposisikan dirinya sebagai negara terkuat, bukan dengan cara menjajah Papua tetapi memberikan hak kedaulatannya, sehingga di kawasan ini berdiri dua bangsa bekas jajahan Belanda yang sejajar tanpa saling membunuh dan membinasakan satu sama lainnya, tetapi saling menghargai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab.
Betapa indahnya anak cucu bangsa Indonesia dan anak cucu bangsa Papua menikmati alam kemerdekaannya masing-masing sebagai saudara yang setara, bukan sebagai bangsa dengan perasaan terjajah di satu sisi, dan di sisi yang lain merasa menjajah manusia lainnya. Wawawa. (*)
Penulis adalah Ketua Pemuda Gereja Baptis Sedunia mewakili Indonesia dari Papua
Editor: Timoteus Marten