Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh: RD Santon Tekege
Kalau konflik dan kekerasan di Tanah Papua hanya direduksi ke dalam kegagalan pembangunan, maka otsus jelas-jelas gagal menyejahterakan OAP. Bila otsus gagal meningkatkan kesejahteraan OAP, maka tuntutan kemerdekaan tidak pernah selesai, sebab mereka belum sejahtera. Akibatnya konflik dan kekerasan pun tidak akan pernah selesai.
Tuntutan kemerdekaan dan pengibaran bendera Bintang Kejora pun juga tidak akan pernah berhenti. Akan tetapi, bagi saya konflik dan kekerasan di Papua bukan hanya disebabkan oleh kegagalan pembangunan kendati kegagalan pembangunan merupakan salah satunya.
Konflik dan kekerasan di Papua lebih pada persoalan sejarah berdirinya sebagai sebuah negara pada 1 Desember 1961 (tetapi sejarah itu dijajah dan ditindas sampai sekarang 2020, dan persoalan identitas jati diri bangsa Papua).
Persoalan manipulasi dan pencaplokan sejarah integrasi dan identitas bangsa, merupakan persoalan dasar yang mendorong timbulnya upaya, untuk perjuangan meraih kemerdekaan West Papua yang pernah ada itu.
Apabila pemerintah pusat dapat menyelesaikan persoalan sejarah integrasi dan identitas bangsa Papua, maka tuntutan kemerdekaan Papua mungkin saja bisa dikurangi, bahkan tidak terjadi lagi.
Para perumus UU Otsus tidak memperhatikan persoalan fundamental ini. Para menteri, khususnya Mendagri Tito Karnavian dan Menkopolhukam Mahfud MD, yang mengira bahwa konflik dan kekerasan di Papua diakibatkan oleh kegagalan pembangunan.
Jakarta mengabaikan sisi fundamental dari konflik dan kekerasan yang terjadi di Papua selama ini. Para petinggi Jakarta sengaja mengabaikan semua usulan demi terciptanya perdamaian di Tanah Papua melalui jalan dialog. Kalau dialog itu terjadi, maka situasi damai dan aman.
Namun Jakarta malah mengirim aparat keamanan untuk menambah konflik dan kekerasan di Tanah Papua. Negara sengaja mengirimkan aparat keamanan Indonesia untuk pendudukannya di Tanah Papua.
Jakarta sengaja mengabaikan tawaran orang Papua dialog Jakarta-Papua supaya membuka peluang pendudukan melalui transmigrasi yang banyak ke tanah Papua, sehingga OAP tersingkirkan dari tanahnya sendiri.
Otsus membuka transmigrasi di Tanah Papua
Realita berbicara bahwa peningkatan para migran semakin melebihi standar internasional di Tanah Papua (7,5% setiap tahun), menurut mantan Gubernur Papua, Barnabas Suebu. Setiap tahun, penduduk migran semakin meningkat. Laju pertumbuhan penduduk migran dapat mempengaruhi corak hidup dan kekhasan penduduk asli setempat.
Data BPS Provinsi Papua dalam bidang transmigran didatangkan ke Papua sejak 1971/1992 berjumlah 12.500 jiwa, tahun 1992/1993 sebanyak 16.391 jiwa, sejak tahun 1994/1995 sebanyak 22.234 jiwa. Penduduk semakin bertambah tahun 1995/1996 sebanyak 35.716 jiwa. Pada tahun 1996/1997 menjadi 36.778 jiwa. Penduduk semakin bertambah sejak 2000/2001 menjadi 40.788 jiwa.
Grafiknya terus bertambah, sejak 2008/2009 berjumlah 43.456 jiwa. Pada akhirnya sejak 2010/2011 grafik transmigran tidak menurun tetapi berambah menjadi 61.998 jiwa.
Penambahan penduduk di Papua melanggar etika transmigrasi internasional, yang diakui sebagai kesepakatan bersama. Jika warga dikalkulasikan, maka penduduk Papua dikuasai 80% non-OAP.
BPS Provinsi Papua sejak 2012 menyatakan bahwa 30% penduduk OAP dan 70% non-OAP, sedangkan jumlah penduduk di Provinsi Papua Barat 35% OAP dan 65% non-OAP. Jadi, dapat disimpulkan bahwa hingga kini Tanah Papua dikuasai oleh penduduk non-OAP.
Saya pikir laju pertumbuhan penduduk akan berkurang karena ada kewenangan dan hak-hak otsus di Tanah Papua. Nyatanya otsus justru membuka peluang bagi masyarakat migran untuk menguasai seluruh aspek yang ada dalam tujuan pemberian otsus itu.
Faktanya data BPS Provinsi Papua 2019 berbicara tentang perbandingan antara penduduk asli Papua (30%) dan non asli Papua (70%). Itu artinya orang-orang non-Papua sudah mendominasi OAP, dan secara otomatis menguasai segala aspek pembangunan di era otsus di Tanah Papua.
OAP bisa hidup tanpa otsus dari Jakarta
Orang asli Papua tidak percaya dengan berbagai tawaran dan gula-gula politik dari Jakarta. Mereka juga tidak percaya kepada pemerintah Indonesia dengan pemberian otsus untuk tujuan peningkatan kesejahteraan OAP.
Faktanya pemerintah melalui otsus OAP. Mereka (OAP) juga tidak percaya dengan pemberian dana otsus yang besar itu karena dengan adanya dana besar, pembunuhan, penembakan, kekerasan, dan konflik juga akan menambah besar dan lebih parah. Bisa-bisa OAP punah oleh karena pemberian dana besar itu.
Jadi, OAP sudah sangat muak dengan adanya Indonesia di Tanah Papua. Oleh sebab itu, Presiden Jokowi, para petinggi dan jenderal di Jakarta jangan berpikir bahwa ketika tidak ada otsus OAP bisa mati. Ingat saja OAP bisa hidup tanpa otsus dari Jakarta.
Namun pemerintah malah memaksakan Otsus Jilid II dengan “berbagai ancaman penambahan/pengiriman aparat keamanan oleh Menkopolhukam Mahfud MD, atau komentar DPD RI Perwakilan Papua, Yorrys Raweyai, tumpas separatis OPM Papua dan negara Indonesia Jangan kalah dari OPM atau separatis Papua” (Nusantara Post, 22 Juli 2020).
Komentar semacam ini adalah komentar kekanak-kanakan dan (bentuk lain) pemaksaan kehendak supaya OAP menerima Otsus Jilid II, padahal OAP bisa hidup tanpa Otsus Jilid II.
Para petinggi di Jakarta harus ingat bahwa OAP bisa hidup dengan mengolah tanah dan berkebun, serta mencari ikan di danau, sungai, dan lautnya yang kaya, untuk menghidupi keluarganya.
Jadi, OAP menolak dengan tegas menolak otsus diperpanjang, bahkan Papua harus lepas dari Indonesia. OAP sudah tidak percaya Indonesia berada dan menduduki Tanah Papua. OAP muak dengan keberadaan Indonesia di West Papua.
Biarkanlah OAP merasakan udara kebebasan dari pendudukan Indonesia di Tanah Papua melalui penentuan nasib sendiri. (*)
Penulis adalah aktivis Human Right dari Papua dan pastor dari Keuskupan Timika, Papua
Editor: Timoteus Marten