Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh: Soleman Itlay
Hampir semua lembaran fakta sejarah penting di West Papua berkaitan dengan perundingan tanpa partisipasi orang West Papua selaku tuan tanah. Itulah yang kemudian, termasuk New York Agreement, yang pantas disebut juga sebagai salah satu bentuk perjanjian tanpa tuan.
Konferensi Meja Bundar (KMB) 23 Agustus 1949, New York Agreement (15 Agustus 1962), Hari Integrasi/Aneksasi—UNTEA (1 Mei 1963), Roma Agreement (30 Desember 1963), MoU Freeport (7 April 1967), Pepera 1969, dan lainnya dapat membuktikan perjanjian tanpa tuan yang dimaksud di atas.
Kesemuanya, lebih cocok disebut kesepakatan rahasia antara pencuri dengan pencuri, penjahat dengan penjahat, penghianat dengan pengkhianat, perusak dengan perusak, penjajah dengan penjajah, kolonial dengan kapitalis dan imperialis.
Kesepakatan rahasia ini hampir semua melibatkan peran Amerika Serikat, kolonial Indonesia, dan Belanda. Mereka melakukan semua siasat itu secara diam-diam. Tanpa mempertimbangkan hak-hak dasar, apalagi nasib dan masa depan orang West Papua selaku tuan tanah.
Karena digelar di markas besar PBB, New York, Amerika Serikat (AS), 58 tahun yang lalu, maka disebut New York Agreement. Kolonial Belanda dan Indonesia meneken nota kesepahaman rahasia itu dalam kontrol imperialis AS.
Negara imperialis AS saat itu memiliki kekuatan militer yang luar biasa dan permainan intelijen (CIA) yang sulit diterabas oleh orang West Papua. Keduanya meneken perjanjian tanpa tuan itu dalam sayap kekuatan dan kepentingan ekonomi AS.
Mereka memilih dan mengikat kesepakatan rahasia di AS dengan pertimbangan kurang lebih sebagai berikut:
Pertama, menghindari peran orang West Papua, selaku tuan tanah. Kalau melibatkan mereka (orang West Papua) nanti ribut, diprotes dan ditolak, dipersulit dan itu menghambat kepentingan terselubung (ekonomi) lainnya. Untuk menghindari kemungkinan itu, mereka mengesahkan perjanjian itu di sana;
Kedua, mempersulit akses bagi orang West Papua. Alasan terselubungnya adalah keamanan, ketertiban, dan kedamaian. Untuk menghindari kekacauan, protes ,dan kerusuhan di West Papua, maka mereka mengikat perjanjian tanpa tuan di AS;
Ketiga, karena menganggap orang West Papua tidak mampu, primitif, tidak layak, dan bahaya. Untuk menghindari pandangan diskriminasi rasial itu jugalah yang membuat mereka harus dan terpaksa mengesahkan New York Agreement di luar negeri (AS).
Hal-hal inilah yang membuat imperialis AS atas nama dan atau dengan cara menggunakan label-label UNTEA mengarahkan kolonial Belanda dan Indonesia ke markas besar PBB, New York, sebuah tempat yang sulit diakses oleh orang West Papua saat itu.
Terdapat pelanggaran dan kejahatan politik-ekonomi
Barang tentu ini adalah sebuah konspirasi politik tingkat tinggi yang luar biasa. Pendekatan politik dalam New York Agreement mengantongi sejumlah kesalahan, pelanggaran HAM dan kejahatan politik yang sangat berat.
Dalam pembahasan New York Agreement itu dibicarakan bagaimana menggelar tindakan plebisit, referendum di West Papua. Namun, semuanya dirumuskan dan diputuskan tanpa sedikit pun melibatkan orang asli West Papua. Sekali lagi, itulah yang disebut perjanjian tanpa tuan.
Sungguh, referendum itu diartikulasikan dalam Pepera 1969, namun peristiwa itu terdapat selaksa kejanggalan besar, walaupun kolonial Indonesia, AS dan PBB mengakui Pepera tersebut secara sepihak pula dengan mengatakan bahwa Pepera sudah final.
Pengakuan mereka ini tidak sah dan mengikat kalau fakta-fakta sejarah Pepera dibongkar dan dilihat kembali. Mereka mengambil keputusan cepat dan sama sekali terburu-buru sekadar untuk segera melegitimasi pengakuan publik, agar leluasa dan bebas mengeksploitasi sumber daya alam di West Papua.
Pengakuan mereka atas free of choice tidak berangkat dari hati nurani, dengan penuh rasa tanggung jawab moral dan akhlak politik, tetapi lebih didorong akibat desakan ambisi kepentingan ekonomi.
Buktinya Pepera dilakukan dalam tekanan operasi militer dan todongan moncong senjata yang luar biasa. Peran militer kolonial Indonesia saat itu sangat menakutkan dan berhasil membunuh psikologi orang West Papua.
PBB memang pernah mengirimkan pasukan khusus untuk menjaga keamanan saat pelaksanaan Pepera. Namun semuanya dikendalikan oleh imperialis AS, yang pada akhirnya juga secara diam-diam mendukung militer dan pemerintah Indonesia.
New York Agreement maupun Pepera menunjukkan pelanggaran atau pengabaian hak-hak dasar dan masa depan orang West selaku tuan tanah. Mereka tidak pernah mempertimbangkan arah hidup orang West Papua dengan baik, tetapi melakukan segala siasat, untuk memenuhi hasrat kekuasaan politik dan ekonomi, serta Pepera melegitimasi New York Agreement.
Dengan sadar, imperialis AS dan kedua negara kolonial, Belanda dan Indonesia, dalam New York Agreement dan Pepera benar-benar membelakangi hak-hak dasar, nilai kemanusiaan, kebenaran, moralitas, serta nasib dan masa depan orang asli Papua.
Tentu ini sebuah penghinaan, pengkhianatan dan kejahatan politik demi kepentingan ekonomi yang luar biasa; sebuah pelanggaran HAM berat dan kejahatan yang sulit dilupakan orang West Papua.
Ketiganya melanggar hak-hak dasar politik, ekonomi dan lainnya bagi orang asli West Papua melalui New York Agreement dan Pepera 1969.
Mode pendekatan hingga konspirasi politik dan ekonomi seperti itulah yang meyakinkan orang West Papua bahwa New York Agreement maupun Pepera illegal dan meminta imperialis AS, Indonesia dan Belanda untuk bertanggung jawab kembali peristiwa-persitiwa itu.
Ketiganya, harus dan wajib hukumnya untuk mengakui dosa dan kesalahan fatal politik yang penuh dengan kepentingan ekonomi pada masa lalu di balik. Negara-negara ini harus bertanggung jawab atas kematian orang West Papua dan kerusakan alamnya.
New York Agreement mengandung motif aneksasi
New York Agreement ini mengandung arti diskriminasi rasial. Lebih dari pada itu terdapat mankna istimewa sistem politik aneksasi, yang menjadi mode perbudakan dan perlawan kontemporer di West Papua.
Amerika Serikat, kolonial Belanda, dan Indonesia mencaplok pikiran, niat, dan kepentingan secara sepihak tanpa sedikit pun melibatkan pikiran, suara hati, kemauan dan keinginan orang West Papua. Ini adalah wujud asli dari praktik sistem politik aneksasi tadi. Ini mudah dipahami sebagai motif aneksasi.
Mereka menandatangani perjanjian yang tanpa tuan itu secara diam-diam, sepihak dan sesuka hati dan hanya memenuhi hasrat kekuasaan dan kepentingan ekonomi mereka.
Apapun alasannya, kalau dilihat secara jeli, apalagi ditelaah maka motif aneksasi pasti akan ketemu, betapa luar biasanya dan jahatnya ketiga negara itu melanggar hak-hak dasar dan melakukan kejahatan atas nama New York Agreement maupun Pepera.
Pelanggaran HAM dan kejahatan terhadap nasib dan masa depan orang West Papua ini, secara tidak langsung mereka lakukan dengan tetap merujuk pada sistem politik aneksasi tadi. Hal serupa berlaku dalam operasi militer dalam rangka mengamankan dan memenangkan Pepera 1969.
Operasi militer dalam proses Pepera juga terdapat motif aneksasi. Operasi militer pada fase ini dilakukan sewenang-wenang, tanpa kompromi dengan orang West Papua. Seperti hari ini di Nduga, Intan Jaya, Lanny Jaya, Pegunungan Bintang, dan Tambrauw.
Tujuan utamanya adalah melegitimasi dan mengamankan proses pencaplokan melalui Pepera yang tidak demokratis, melanggar mekanisme hukum internasional yang mengutamakan prinsip one man one vote.
Dalam Pepera itu kolonial Indonesia menang dengan melibatkan 1.026 kepala suku dan ondoafi yang mudah kompromi dengan mereka. Tentu ini sebuah plebisit yang belum tuntas, karena 800 ribu penduduk West Papua saat itu tidak ikut serta dalam Pepera itu. Bersambung. (*)
Penulis adalah masyarakat Papua, tinggal di Kota Jayapura
Editor: Timoteus Marten