Mesti ada standar pendidikan di Papua sejak era Otsus

Papua
Ilustrasi - Dok. Jubi

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Makassar, Jubi – Ketua Yayasan Papua Muda, Rini Modouw menyatakan mesti ada standar pencapain dunia pendidikan di Papua sejak era Otonomi Khusus atau Otsus.

Pernyataan itu dikatakan lulusan doktor dari California State University, Amerika Serikat tersebut dalam diskusi daring yang digelar Jubi dan Jaringan Damai Papua dengan tema  “Otsus, Pendidikan, Masa Depan Papua” dengan moderator pimpinan umum Jubi, Victor Mambor itu menghadirkan tiga narasumber, pada Senin (13/7/2020).

Read More

Selain Rini Modouw, juga ada Wakil Rektor Universitas Papua atau Unipa di Manokwari Papua Barat, Agus Sumule dan Kepala Dinas Pendidikan Papua, Christian Sohilait.

“Standar pendidikan di Papua sejak Otsus itu berapa [persentasenya] dan apakah sudah tercapai. Kemudian hal (berbagai masalah) lain ini mesti dipetakan dan dibenahi. Apa yang tercapai dan belum tercapai,” kata Rini Modouw.

Menurut guru salah satu Sekolah Menengah Atas atau SMA di Kota Jayapura itu, meski Otsus Papua sudah bergulir 20 tahun akan tetapi masih terjadi sengkarut dalam dunia pendidikan di provinsi paling Timur Indonesia tersebut.

Berbagai kekurangan dan kesenjangan masih mewarnai dunia pendidikan di bumi Cenderawasih.

“Di Jayapura saja yang memiliki kelengkapan [dan aksesnya mudah] masih banyak kekurangan. Apalagi di daerah pedalaman,” ujarnya.

Katanya, selain masalah kekurangan guru dan sarana prasarana penunjang, hingga kini biaya pendidikan gratis yang selalu digaungkan pemerintah selama ini, belum sepenuhnya terlaksana di Papua.

Begitu juga makanan tambahan bagi siswa di sekolah, yang sempat dilakukan beberapa tahun lalu kini tak ada lagi.

Untuk mengatasi masalah kekurangan guru di Papua, Rini Modouw sependapat jika pemerintah daerah dan dinas terkait melibatkan para lulusan universitas luar negeri yang telah kembali ke Papua, dan belum kerja.

“Sebaiknya mereka mengajar dulu [kalau belum dapat kerja]. Itu juga sebagai kontribusi kepada masyarakat Papua, [apalagi] bagi mereka yang dibiayai dari dana Otsus,” ucapnya.

Selain itu katanya, selama ini program atau kurikulum pendidikan lebih banyak mengikuti instruksi pemerintah pusat. Misalnya dalam penerapan kurikulum 2013.

Akan tetapi sebelum semua sekolah di Papua mampu menguasai penerapan kurikulum itu, kini diwacanakan dibuat kurikulum kontekstual oleh Dinas Pendidikan.

“Saya pikir mestinya itu sejak awal dirancang. Kini baru [akan] dimulai setelah [Otsus dilaksanakan selama] 20 tahun. Banyak sekali hal tidak jelas dan saya tidak mengerti ini tugas siapa sebenarnya, untuk melihat itu,” katanya.

Kepala Dinas Pendidikan Papua, Christian Sohilait membenarkan ada berbagai masalah dalam dunia pendidikan Papua.
Di antaranya kekurangan guru, minimnya sarana dan prasarana pendukung, hingga perlunya peningkatan sumber daya manusia tenaga pendidik.

“Hari ini kita mesti bicara apa yang ada di mata kita. Melek huruf masih ada di mana-mana. Ada guru yang belum punya rumah dan hanya numpang. Kita paksa guru mengajar tapi rumahnya kita tidak siapkan,” kata Sohilait.

Masalah yang dialami guru bukan hanya terkait rumah dinas di tempat tugas. Juga ada di antara tenaga pendidik itu yang tidak naik pangkat hingga sepuluh tahun. Ada yang berbulan-bulan belum menerima gaji dan tunjangan.

“Hal-hal ini yang harus kita selesaikan. Jangan kita mimpin anak-anak akan pintar kalau guru masih mengalami berbagai kendala. Termasuk penguatan tentang menajamen sekolah. Para guru memang perlu diberi penguatan pengelolaan keuangan, kalau tidak ini akan jadi masalah besar,” ucapnya. (*)

Editor: Edho Sinaga

Related posts

Leave a Reply