Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh: Victor V. Ruwayari
Pendataan daftar pemilih akan menjadi salah satu ukuran atau takaran suksesnya penyelenggaraan pemilu, apalagi dinamika politik Indonesia semakin membaik sejak era reformasi. Hal ini telah menjadi perhatian dan kesepakatan bersama dalam sistem pemilu (electoral system).
Pendataan daftar pemilih dalam pemilu serentak akan menjadi salah satu indikator dalam sistem demokrasi, karena rakyat dapat berpartisipasi secara langsung dalam menentukan pilihan politiknya dan menjadi upaya mewujudkan tegaknya demokrasi, dan merealisasikan kedaulatan rakyat dengan prinsip jujur dan adil (jurdil) serta langsung, umum, bebas dan rahasia (luber).
Dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia, pendataan daftar pemilih terus mengalami perubahan, dan semakin baik hingga saat ini. Bangsa Indonesia telah menerapkan beberapa sistem pendataan daftar pemilih menyongsong pemilu, yaitu;
Pertama, Civil Registry List, yaitu daftar pemilih yang disusun berdasarkan data kependudukan. Secara umum sistem ini banyak dijalankan di negara-negara berkembang;
Kedua, Periodic List, yaitu daftar pemilih yang disusun secara periodik dan atau pada setiap tahapan pemilu/pemilihan dan berakhir ketika tahapan pemilu/pemilihan selesai;
Ketiga, Continuous List, yaitu pemutakhiran data pemilih yang dilaksanakan oleh penyelenggara pemilu. Data pemilih dimutakhirkan dan disimpan, serta terus diperbarui secara berkelanjutan.
Ketiga sistem ini telah dilaksanakan dari waktu ke waktu hingga saat ini, menjelang Pemilu 2024.
KPU telah melakukan pemutakhiran data pemilih berkelanjutan di tengah masa pandemi Covid-19, sejak awal 2020 hingga sekarang. Pemutakhiran dilakukan setiap bulan oleh kabupaten/kota, tiap tiga bulan untuk KPU Provinsi dan tiap enam bulan di tingkat KPU RI.
Hal ini merupakan langkah yang sangat baik dari KPU, karena secara reguler mereka melakukan pemutakhiran data pemilih. Dari ketiga sistem pendataan daftar pemilih di atas, sistem Continous List yang digunakan saat ini. Dikenal dengan istilah DPB (Daftar Pemilih Berkelanjutan).
Pemutakhiran data pemilih secara berkelanjutan ini merupakan sistem pemutakhiran data pemilih, yang tentu saja lebih progresif dibanding dengan pemutakhiran data pemilih sebelumnya yang dipakai oleh KPU.
Pemutakhiran DPB ini akan berjalan secara baik berdasarkan prinsip komprehensif, akurat dan mutakhir, apabila didukung dengan penyedia data yang transparan.
Tentunya ini akan menghasilkan data pemilih yang sangat baik, yang akan digunakan secara berkesinambungan pada pemilu-pemilu serentak yang akan datang.
Nanti di akhir DPB ini, atau di awal tahapan pemilu/pemilihan, KPU tentu tidak perlu lagi melaksanakan pemutakhiran data pemilih melalui pencocokan dan penelitian (coklit).
Namun pemutakhiran DPB ini tidak semudah yang kita bayangkan, apalagi dilakukan saat pandemi Covid-19. Banyak kendala yang dihadapi oleh penyelenggara pemilu di masa non tahapan dalam pandemi Covid-19. Kendala-kendala tersebut tentu akan mengakibatkan pemutakhiran DPB tidak maksimal.
Sumber data yang belum jelas
Pada masa pandemi Covid-19 hingga saat ini, belum ada sumber data kependudukan yang jelas. Bagaimana KPU melakukan pembaruan data setiap bulannya (data meninggal, mutasi penduduk, TMS dan MS)? Apakah pembaruan data pemilih dilakukan, seperti metode coklit yang turun langsung ke lapangan untuk mendata?
Pembaruan data dengan metode coklit memang baik. Namun hal itu mengalami kendala, karena dilakukan dalam masa non-tahapan pemilu, dan belum ada penyelenggara pemilu tingkat bawah (adhoc) di tingkat distrik/kecamatan dan kelurahan/desa/kampung, yang akan melakukan verifikasi.
Dalam Surat Edaran KPU Nomor 132, 181 dan 366 perihal Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan Tahun 2021, disebutkan, dalam melakukan pemutakhiran data pemilih, KPU kabupaten/kota melakukan koordinasi secara berkala dengan dinas-dinas atau instansi terkait. Di antaranya instansi pemerintah daerah yang menangani administrasi kependudukan, kematian/pemakaman, TNI/Polri, pengadilan setingkat, dan pada layanan data pemilih di tingkat kabupaten/kota.
Baca juga: Urgensi pengawas partisipatif Pemilu 2024
Dari beberapa instansi/dinas terkait tersebut, Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) merupakan partner utama KPU dalam melakukan pemutakhiran data pemilih. Hal Ini tertuang jelas dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, pada pasal 201 ayat (8). Pemerintah memberikan data kependudukan yang dikonsolidasikan setiap enam bulan kepada KPU sebagai bahan tambahan dalam pemutakhiran data pemilih.
Pada pasal tersebut juga dapat kita artikan bahwa pemerintah hanya memberikan data kependudukan kepada KPU setiap enam bulan saja, sedangkan pembaruan data pemilih ini harus dilakukan setiap bulan oleh KPU kabupaten/kota.
Hal Ini merupakan salah satu kendala KPU kabupaten/kota dalam melakukan pembaruan data pemilih berkelanjutan, yaitu masih ada sumber data yang tidak/belum jelas.
Transparansi instansi terkait dengan penyelenggara pemilu
Dukcapil yang merupakan partner utama penyelenggara pemilu dalam menyuplai data kepada penyelenggara pemilu, terkesan sangat tertutup. Ini merupakan salah satu kendala dalam melakukan pemutakhiran DPB.
Dukcapil juga terkesan tertutup dalam mengakses data kependudukan kepada penyelenggara pemilu dari sisi pengawasan atau Bawaslu. Apakah disebabkan karena regulasi yang mengatur tentang perlindungan data kependudukan?
Dalam melakukan pemutakhiran data pemilih berkelanjutan, Dukcapil mempunyai otoritas/kewenangan penuh untuk mengoreksi NKK, Nomor Induk Kependudukan (NIK), dan menghilangkan ataupun menghapus pemilih atau penduduk yang sudah meninggal, pindah/masuk ke suatu wilayah kependudukan.
Akan tetapi, instansi terkait tersebut masih terkesan tertutup. Hal tersebut tentu akan menyulitkan penyelenggara pemilu dalam melakukan pemutakhiran DPB.
Data pemilih tidak akurat
Secara umum data pemilih KPU belum akurat, karena data pemilih yang dihasilkan oleh KPU bersumber dari data kependudukan yang disediakan oleh pemerintah (Kemendagri), dalam bentuk Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4).
DP4 diberikan oleh Kemendagri kepada KPU untuk kemudian disandingkan dengan daftar pemilih tetap (DPT) setiap awal tahapan pemilu. DP4 menjadi masalah tersendiri dalam hal penyandingan data DPT, karena DP4 diperbaharui setiap enam bulan sekali.
Selain itu, Dukcapil juga terkesan pasif terkait pembaharuan data penduduk, sehingga warga yang pindah (keluar/masuk) wilayah dan meninggal tidak terdata, kecuali warga yang berinisiatif untuk melaporkan sendiri ke Dukcapil.
Tidak terdatanya warga yang sudah meninggal, memunculkan permasalahan saat pencoblosan, dimana, warga yang sudah meninggal menjadi “hidup kembali”. Hal ini menjadi PR bagi pemerintah.
DP4 sangat berpengaruh pada hasil pemutakhiran DPB, karena menjadi acuan penyandingan data saat penyusunan DPT. Sangat disayangkan ketika pelaksanaan DPB sudah menghasilkan daftar pemilih yang akurat, tetapi saat masuk tahapan pemilu, daftar pemilih DPB ini disandingkan lagi dengan DP4, dilanjutkan dengan melakukan coklit di lapangan, sehingga pemutakhiran DPB yang telah dilaksanakan KPU menjadi sia-sia.
Baca juga: Pengamat sarankan Pemilu 2024 berbasis digital
Kendala-kendala tersebut di atas, hanyalah sebagian dari pemetaan potensi permasalahan dalam hal pemutakhiran data DPB menuju tahapan Pemilu 2024.
Harapan saya, langkah maju dari KPU–dalam menjaga dan memelihara data pemilih melalui pemutakhiran data pemilih berkelanjutan–dapat ditindaklanjuti secara baik dan dengan metode, keterbukaan, sumber data yang jelas.
Dengan demikian, output dari DPB tersebut dapat menghasilkan data pemilih yang komprehensif, akurat, dan mutakhir, untuk digunakan pada Pemilu 2024, demi pemilu yang berintegritas. Kiranya ada langkah-langkah terbaik untuk membangun demokrasi yang sehat dan penuh tanggung jawab. (*)
Penulis adalah komisioner KPU Kabupaten Sarmi, Papua
Editor: Timoteus Marten