Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh: I Ngurah Suryawan
Gerakan kebudayaan menghadapi tantangan yang sangat besar di tengah perubahan sosial budaya di Tanah Papua. Kekayaan dan inspirasi nilai-nilai seni dan budaya di seantero Papua sepertinya belum mampu untuk menginspirasi dan merekatkan solidaritas sosial gerakan kebudayaan. Secara lebih mendalam adalah bagaimana seni dan kebudayaan mampu menjadi medium menegakkan kedaulatan dan martabat kemanusiaan rakyat Papua itu sendiri.
Saya mencatat, problemnya paling tidak karena dua hal.
Pertama, penghancuran pondasi-pondasi yang menjadi imajinasi sekaligus pembentuk identitas sosial dan martabat rakyat Papua. Penghancuran tersebut seperti dikutip oleh Giay (2016) dari buku terkenal Orlando Patterson, Slavery and Social Death, sebagai kematian sosial.
Patterson menjadikan contoh para budak yang dianggap “mati” secara sosial oleh masyarakat sekitarnya. Dalam wacana yang diperluas, kematian sosial menjadi bagian dari genosida itu sendiri, saat institusi-institusi penyokong identitas sosial sebuah komunitas diberangus.
Problem penting kedua adalah akumulasi pengetahuan yang diskriminatif dan kolonialistik, yang kemudian menjadi “pembenar” bahwa orang Papua tidak terdidik, maka harus dididik. Karena orang Papua tidak sehat, maka orang Papua perlu teknologi kesehatan. Karena orang Papua tidak berpakaian, maka orang Papua perlu diberi pakaian. Karena orang Papua tidak beragama, maka orang Papua perlu diajarkan untuk beragama. Dan di atas segalanya, karena orang Papua ‘primitif’, maka orang Papua bodoh. Pendidikan (dan agama) dipercaya akan memecahkan semua masalah (kekurangan) orang Papua tersebut (Ploeg, 2002 dalam Giay, 2016).
Salah satu akumulasi pengetahuan yang diskriminatif dan kolonialistik, yang mempengaruhi secara mendalam perspektif dan pemahaman tentang Papua, adalah kepercayaan bahwa orang Papua primitif. Primitif memang kata yang sederhana tapi dampaknya sangat luar biasa. Kepercayaan bahwa orang Papua primitif dan bodoh menjadi dasar untuk mengabaikan pendapat orang Papua, karena pendapat orang bodoh tidak perlu didengar (Giay, 2016).
Ikatan-ikatan sosial orang Papua yang menyokong identitasnya dianggap tidak penting dalam pandangan ini. Identitas orang Papua adalah antitesis dari nilai-nilai peradaban yang dibawa oleh misi pendidikan, agama, dan otoritas kekuasaan (Belanda dan Indonesia) yang hadir dalam perjalanan sejarah orang Papua. Misi pendidikan, agama, dan birokrasi yang dibawa oleh otoritas pemerintahan yang hadir di tanah Papua berkontradiksi dengan identitas sosial orang Papua. Oleh sebab itulah menjadi modern dan pada saat yang bersamaan mempertahankan identitas sosial orang Papua adalah sebuah kemustahilan. Menjadi orang Papua modern terdidik celakanya dididik dalam sistem pendidikan yang menganggap remeh budaya dan institusi-institusi, yang dulu membantu orang Papua, untuk menjadi dirinya sendiri.
Salah satu tapak penting dalam pembentukan identitas sosial orang Papua adalah grup musik Mambesak pada 5 Agustus 1978. Untuk memperingati 42 tahun kelahiran Mambesak dilaksanakan peluncuran buku, Grup Mambesak, Simbol Kebangkitan Kebudayaan Orang Papua Proto, yang dilaksanakan di Museum Universitas Cenderawasih pada Rabu, 5 Agustus 2020.
Saya melihat tapak-tapak pembentukan pondasi identitas sosial ini penting untuk dipahami dan dihayati, untuk kemudian direfleksikan konteksnya pada masa kini. Menapaki jalan Mambesak menjadi langkah yang sangat penting untuk memberikan cermin mengkonstruksi gerakan kebudayaan Papua ke depannya.
Dalam esai sederhana ini, saya mencoba menapaki perjalanan Mambesak dari fragmen-fragmen narasi yang berhasil saya kumpulkan.
Cikal bakal
Kelompok musik folk Mambesak menjadi salah satu penanda penting gerakan sosial kebudayaan Papua yang bersandar pada harkat dan martabat identitas budaya. Identitas budaya yang dimaksud adalah musik dan lagu-lagu berbahasa ibu masing-masing kelompok etnik yang beragam di tanah Papua. Pada saat inilah, anak-anak Papua merasakan dirinya bangga menjadi orang Papua.
Masyarakat Papua yang berada di pegunungan, lembah, pesisir, dan wilayah lainnya merasa terepresentasikan dengan kehadiran sekelompok anak-anak muda urban di Jayapura yang mengaransemen ulang lagu-lagu berbahasa daerah mereka.
Namun, mengekspresikan identitas dan budaya sendiri dianggap berbahaya oleh negara. Tudingan makar dan melawan pemerintah dengan mengajak masyarakat untuk menari dan bernyanyi, menjadi alasan aparat keamanan negara ini untuk membasmi tokoh-tokoh penting dari Mambesak.
Jika ditelusuri lebih mendalam, kenangan tentang masa keemasan Mambesak, yang mengokohkan harkat dan kedaulatan identitas budaya orang Papua, tak akan pernah terlupakan. Kenangannya masih tersimpan rapi dalam ingatan orang Papua hingga kini. Ingatan tersebut adalah sebuah kebanggaan dan ekspresi diri yang tak tergantikan.
Abner E. Korwa tampak senang sekali saya jumpai di Sorong, Papua Barat, pada pertengahan tahun 2014. Ia adalah salah seorang saksi hidup yang tersisa dari menjulangnya nama grup musik Mambesak di seantero tanah Papua.
Bukan hanya menjulang, Mambesak juga dicintai dan menjadi simbol dari perjuangan penegakan identitas seni dan budaya orang Papua. Tumbuhnya gairah kebanggaan terhadap seni budaya dan identitas sebagai orang Papua salah satunya diawali oleh Mambesak. Memutus sekat antarkelompok etnik dan tidak Biak-sentris (salah satu suku besar di Papua), Mambesak menjadi momentum orang Papua di seluruh wilayah dengan berbagai latar belakang seni dan budaya untuk bersatu. Mereka (berbagai kelompok etnik ini) melihat diri dan identitas mereka di lagu-lagu yang dimainkan oleh Mambesak.
Lagu-lagu dari Raja Ampat hingga orang Marind di Merauke melantun merdu dengan iringan juk (gitar kecil) dan stem bass (bas besar) yang memukau.
Abner E. Korwa menjadi bagian dari dinamika tersebut. Sebagai orang Biak, ia memiliki ikatan emosional dengan Mambesak.
Arnold Ap dan Sam Kapissa, dua senior dan panutannya bergabung di dalamnya. Ia berkisah dengan bergairah.
Awal kelahiran Mambesak tidak bisa dilepaskan dari lembaga Uncen (Universitas Cenderawasih), dalam hal ini adalah Laboratorium Antropologi dan Museum Loka Budaya. Dua lembaga inilah yang menjadi “istana” Mambesak.
Salah seorang yang berperan dalam mendukung kegiatan yang dilakukan Arnold Ap dalam menyanyikan lagu-lagu daerah Papua adalah Ignatius Suharno yang ketika itu menjadi Direktur Lembaga Antropologi Uncen.
Pada saat itu Uncen baru berdiri, dan ada beberapa mahasiswa yang senang memainkan musik dan membentuk kelompok musik (band) yang memainkan lagu-lagu dari luar negeri (barat).
Selain Arnold Ap, ada John Thesia, dan Ottow Wospakrik yang pada 1975 sampai 1976-an menjadi awal dari kegiatan berkesenian di kampus Uncen dengan membentuk sebuah band. Namun setelah kegiatan tersebut berjalan, kemungkinan mereka berpikir, mengapa harus meniru musik dari luar Papua? Kenapa tidak memainkan musik Papua sendiri?
Kelahiran Mambesak selain karena peran dari Arnold Ap juga adalah kontribusi dari Demi Kurni dan Sam Kapissa, yang sangat rajin menciptakan lagu-lagu dengan bahasa Biak, untuk kepentingan ibadah-ibadah di gereja.
Terdorong oleh keinginan untuk memainkan lagu-lagu dari Papua sendiri, maka kemudian lahirlah grup musik Manyori, yang dalam bahasa Biak berarti burung nuri. Grup ini memainkan lagu-lagu dalam bahasa Biak yang dikomandoi oleh Sam Kapissa bersama Arnold Ap.
Mereka ini sering disebut sebagai aliran Sam Kapissa karena pengaruhnya sangat kuat dan mereka memang dominan memainkan lagu-lagu dalam bahasa Biak. Perkembangan berlanjut dan Arnold Ap mengembangkan lagu-lagu daerah dari bahasa-bahasa yang ada di Papua untuk kemudian diaransemen dan dinyanyikan.
Kegiatan itulah yang kemudian melahirkan kelompok Mambesak pada 5 Agustus 1978 lengkap dengan tim tari. Kelompok yang didirikan Arnold Ap bersama kawan-kawannya inilah yang juga mewakili Uncen pada festival tari di Jakarta dan berhasil meraih juara. Saat itu grup dari Uncen menampilkan tari Mbis dan lagu Yapo Mama Cica dari Asmat.
Pada saat itulah kelompok Mambesak mulai terkenal dan mendapatkan apresiasi dari masyarakat Papua, karena keputusannya untuk memainkan lagu-lagu daerah Papua.
Masyarakat dan anak-anak kecil begitu dengar tentang lagu-lagu yang dibawakan oleh Mambesak selalu bernyanyi. Ada kegembiraan dan kesamaan diri ketika menyanyikan lagu-lagu dari Mambesak yang berasal dari berbagai etnik di Papua. Antusiasme masyarakat ini diperkuat dengan semangat terbentuknya gerakan masyarakat sipil di Papua yang dimulai awal tahun 1980-an.
Awalnya adalah terbentuknya Irja-Disc yang merupakan sebuah lembaga sipil yang terbentuk atas kerja sama Uncen dan lembaga donor Asia Foundation. Lembaga ini melakukan kegiatan dalam bidang penelitian dan dokumentasi pembangunan di Irian Jaya. Kantornya adalah di Museum Loka Budaya, tempat Mambesak melakukan hampir seluruh kegiatannya, mulai dari latihan hingga pementasan rutin.
Pertemuan antara Mambesak dan kelompok LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) inilah yang menghasilkan kolaborasi awal gerakan masyarakat sipil dan kebudayaan.
George Junus Aditjondro, salah seorang aktivis yang tergabung dalam Irja-Disc dan kemudian menjadi YPMD (Yayasan Pengembangan Masyarakat Desa), jatuh hati dengan Mambesak dan kemudian banyak menulis tentangnya. George juga menjalin persahabatan dengan Arnold Ap dan menulis beberapa artikel penting tentang perjalanan dan perjuangan Mambesak.
Beberapa aktivis Papua yang kebanyakan mahasiswa dan alumni Uncen kemudian bergabung dengan Irja-Disc/YPMD. Mereka menerbitkan buletin yang sangat penting yaitu KdK (Kabar dari Kampung).
Irja-Disc/YPMD adalah organisasi masyarakat sipil pertama yang menjadi ruang bagi aktivis-aktivis Papua untuk melakukan pendampingan, advokasi, sekaligus juga menulis. YPMD melakukan penelitian-penelitian aksi untuk menganalisis berbagai persoalan ekonomi politik dan sosial budaya yang terjadi di Papua.
Beberapa publikasi diterbitkan berupa laporan penelitian dan selebihnya diterbitkan di Buletin Kabar dari Kampung. Kehadiran YPMD juga menjadi angin segar yang menopang gerakan kebudayaan yang dilakukan oleh Grup Mambesak. Mereka saling bersinergi. Turkam (Turun Kampung)
Mambesak membuat keputusan penting dengan memainkan lagu-lagu daerah dari berbagai penjuru di tanah Papua. Selain itu, Mambesak juga interaksi dengan berbagai kelompok masyarakat dari mulai LSM, pemerintah, dan para siswa SD hingga SMA. Tujuannya adalah untuk mendidik generasi muda Papua agar memiliki rasa cinta dan bangga akan seni dan budayanya.
Sebelum kemudian terkenal, Mambesak lahir dari hubungannya dengan kerja-kerja LSM di Jayapura yaitu Irja-Disc/YPMD yang pada saat itu (tahun 1978) bekerja sama untuk kampanye makanan lokal Papua yaitu sagu.
Kelompok musik tradisional ini kemudian menciptakan lagu-lagu daerah dalam bahasa Biak untuk mengkampanyekan sagu. Lagu-lagu tersebut pada akhirnya belum direkam oleh Mambesak.
Proses perekaman juga berlangsung pada malam hari. Grup Mambesak akan melakukan rekaman lagu pada malam hari di lokasi kampus Uncen Jayapura pada jam 9-10 malam. Pada jam-jam itu Kota Jayapura akan sepi. Namun kalau hujan, akan ada anggota Mambesak yang membawa batu untuk melempar katak yang bisa mengganggu jalannya rekaman. Selain Museum Loka Budaya, Mambesak juga memanfaatkan SPG di kampus lama sebagai studio untuk merekam lagu-lagu mereka. Bersambung. (*)
Penulis adalah antropolog dan peneliti politik kebudayaan Papua. Produktif menulis sejumlah buku, dan buku terbarunya “Siasat Elit Mencuri Kuasa: Dinamika Pemekaran Daerah di Papua Barat (2020)”
Editor: Timoteus Marten