Maria Ressa dan nobel perdamaian (1/2)

Papua-Maria Ressa
Maria Angelita Ressa (58), menjadi pemenang nobel perdamaian 2021 - Jubi/CNN Indonesia

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Oleh: Thomas Ch. Syufi

Senin (11/10/2021), dunia—termasuk Indonesia—dihebohkan oleh berbagai pemberitaan tentang jurnalis sekaligus pendiri Rappler di Filipina, Maria Angelita Ressa (58), menjadi pemenang nobel perdamaian. Penghargaan bergengsi dunia ini diberikan kepada Maria, karena kegigihan dan konsistensinya menyuarakan dugaan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) pemerintahan Presiden Filipina, Rodrigo Duterte.

Read More

Sejak menjadi Presiden Filipina (2016), berbagai kebijakan Duterte, terutama hukuman mati terhadap bandar-bandar narkoba dan pengguna obat-obatan terlarang lainnya, sangat menggenaskan sekaligus menyedihkan. Kebijakannya sejak menjadi presiden menyebabkan 6.000-an jiwa melayang, banyak di antaranya terjadi pembunuhan di luar hukum (extra judicial killing).

Duterte memang berhasrat besar untuk reaktivasi/membangkitkan kembali rezim diktator Ferdinand Marcos. Hal itu diperlihatkannya secara gamblang melalui pernyataannya—lebih baik Filipina dipimpin diktator seperti Ferdinand Marcos. Ungkapan glorifikasi dan kekaguman Duterte terhadap Marcos ini setidaknya menyakiti hati rakyat Filipina atas brutalisme rezim Marcos selama dua dekade yang berakhir dengan penggulingannya dalam sebuah pemberontakan rakyat—revolusi People Power—yang didukung tentara, 25 Februari 1986.

Ribuan orang—termasuk oposan dan aktivis—ditangkap, disiksa, dipenjara, dibunuh, bahkan dihilangkan secara paksa di bawah darurat militer oleh Ferdinand Marcos, 1972. Di zaman Marcos-lah terjadi pembunuhan terhadap pemimpin oposisi Benigno Aquino Jr.

Marcos memerintah Filipina dengan tangan besi. Ia aktif menciptakan sungai darah dari rakyat sendiri. Tidak hanya sebagai seorang despot, Marcos juga dikenang sebagai diktator korup.

Presiden kesepuluh Filipina sejak negara itu diakui kemerdekaannya oleh Amerika Serikat, 1 Juli 1946, Marcos, diduga bersama keluarganya menggelapkan uang kas negara sekitar US$10 miliar (setara 141,4 triliun rupiah).

Mereka memanfaatkan kroni-kroni bisnis dan bank asing rahasia untuk menyembunyikan asetnya. Pengadilan Filipina menjatuhkan vonis 77 tahun penjara (sidang digelar secara absensia) atas sejumlah kasus korupsi yang dilakukan Imelda Marcos saat mendampingi suaminya Ferdinand Marcos menjabat presiden (30 Desember 1965-25 Februari 1986). Walaupun mantan ibu negara itu kemudian lolos dari tahanan dengan membayar jaminan sebesar US$2,846 (sekitar lebih dari 41 juta rupiah).

Marcos kemudian memboyong keluarganya kabur ke Hawaii, Amerika Serikat, tidak lama setelah dilengserkan dari kursi presiden. Namun anak-anak dan istrinya, Imelda Marcos kemudian kembali ke Filipina setelah ia meninggal dalam pengasingan pada 1989. Jadi, Ferdinand Marcos tersingkir dari kursi presiden Filipina karena tiga hal prinsipil: kediktatoran, korupsi, dan pelanggaran HAM.

Kini keluarga Marcos ingin membangun kembali citra mereka setelah sekian lama hidup di pengasingan. Ikhtiar pemulihan citra keluarga Marcos kepada publik Filipina itu memiliki dimensi politik, yaitu  kedua anak Marcos ingin terjun ke dunia politik. Imee—anak tertua—berhasil memenangkan kursi senat Mei 2019. Namun, saudaranya—Ferdinand “Bong Bong Marcos Jr.—gagal dalam pemilihan wakil presiden 2016 secara terpisah, untuk mendampingi presiden Rodrigo Duterte yang pro keluarga Marcos.

Kekalahan tersebut memiliki hubungan kausalitas (memperoleh pembenarannya) sebagaimana dilukiskan Phaedrus (15-50)—filsuf Romawi abad I: “Siapa pun yang terdeteksi melakukan kecurangan yang memalukan, tidak akan pernah dipercaya meskipun mereka berbicara tentang kebenaran.”

Karakter pemerintahan Marcos yang dinilai buruk itu justru ditoleransi dan diapresiasi oleh Rodrigo Duterte, sehingga menggunakan kekuasaannya sebagai presiden mengusulkan supaya proses penyelidikan kekayaan keluarga Marcos dihentikan (“dilemarieskan”), bahkan Duterte mengampuni sekaligus mengizinkan jasad Marcos dimakamkan di Heroes Cemetery, Manila, Filipina, Sabtu (18/11/2016). Padahal banyak rakyat Filipina yang memprotes dan mengecam kebijakan Duterte, yang tidak pantas untuk memberikan tempat terhormat kepada seorang presiden yang berada di belakang penculikan, penyiksaan, dan pembunuhan ribuan orang, yang sampai sekarang belum terungkap.

Meski Duterte berapologi dan mengampuni secara individu atau atas nama permerintah Filipina terhadap mantan diktator Ferdinand Marcos, pengampunan itu tidak digeneralisir sebagai pengampunan kolektif dari seluruh rakyat Filipina. Kejahatan terhadap HAM masa lalu yang terstruktur, sistematis, dan masif, tidak cukup hanya dengan meminta maaf. “No peace without justice, tak ada perdamaian tanpa keadilan,” kata Paus Yohanes Paulus II (1920-2005).

Tentu masyarakat Filipina bersedia mengampuni/rekonsiliasi apabila keadilan hukum bagi Marcos dan keluarganya harus ditegakkan, agar setara dengan prinsip politik Nelson Mandela (1918-2013), negarawan Afrika Selatan, Forgive but don’t forget ([masa lalu] dimaafkan, tapi jangan dilupakan).

Duterte membuat kebijakan kontroversial dan melukai hati mayoritas rakyat Filipina atas kekejaman Marcos di masa lalu: kejahatan HAM dan menggarong uang rakyat. Ia bahkan tanpa ragu dan gamblang pernah mengatakan, lebih baik Filipina dipimpin oleh diktator jika ia tidak ada karena korupsi dan obat-obatan terlarang begitu mengakar di Filipina.

Tampak Duterte lupa dengan karakter seorang diktator yang memimpin sebuah Negara, tapi melakukan berbagai kebijakan yang akan menabrak nilai-nilai kemanusiaan. Diktator memang memimpin negara dengan disiplin, tetapi kebanyakan mengabaikan martabat kemanusiaan.

Diktator sulit melihat politik sebagai seni yang mengandung kesantunan—ada ruang perdebatan, dialektika, ada oposisi, demokrasi, demonstrasi, konflik, dan konsensus. Justru sebaliknya, diktator melihat kritik dari oposan dan dan aktivis sebagai musuh pemerintah yang harus dilibas. Seperti kata Thomas Hobbes (1588-1679), filsuf empirisme Inggris, “Homo homini lupus, bellum omnium contra omnes/the war of all against all”(manusia yang satu menjadi serigala bagi manusia lain, perang semua, melawan semua).

Pemerintahan diktator selalu akrab dengan kekerasaan, korupsi, dan pelanggaran HAM. Banyak fakta yang menyatakan, tidak selamanya seorang diktator itu selalu memimpin dengan jujur dan bersih, hingga ia bisa sukses juga memberantas para koruptor dan pengguna serta pengedar obat-obatan terlarang seperti yang dikatakan oleh Duterte.

Justru di balik pemerintahan diktator, banyak korupsi, kejahatan kemanusiaan, dan menjauhkan kemampuannya untuk menjalankan  misi negara, untuk mewujudkan masyarakat adil, damai, sejahtera, dan demokratis.

Karakter kekuasaan yang cenderung disalahgunakan itulah yang dilukiskan oleh Lord Acton (1834-1902), sejarawan Inggris, “Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely (kekuasaan yang cenderung korup, cenderung melahirkan korupsi yang absolut juga).

Selain itu, senjata terbaik dalam pemerintahan diktator adalah kerahasiaan, sedangkan senjata paling baik dalam pemerintahan demokrasi adalah “keterbukaan.”

Penghargaan nobel

Penganugerahan nobel perdamaian kepada Maria Ressa oleh Komite Hadiah Nobel Perdamaian menunjukkan bahwa apa yang digagaskan dan diperjuangkannya memperoleh pembenaran, sebab selama ini ia secara konsisten berjuang untuk kebebasan berpendapat dan HAM, tetapi selalu mendapat resistensi dari pemerintahan Duterte.

Penganugerahan nobel perdamaian ini tentu harus menjadi pukulan telak terhadap pemerintahan Duterte, bahwa sejumlah kebijakan yang diluncurkan selama ini bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan, hingga memicu keprihatinan bagi para pemerhati dan jurnalis—termasuk Maria Ressa—untuk mengadvokasi dan investigasi dengan mengungkap semua kebobrokan pemerintahan Duterte.

”Penghargaan nobel perdamaian ini menunjukkan komite hadiah Nobel Perdamain menyadari bahwa dunia tanpa fakta berarti dunia tanpa kebenaran dan kepercayaan,” kata Maria Ressa, dalam pidatonya saat bersama Dmitry Muratov, jurnalis surat kabar Rusia independen Novaya Gazeta yang menentang Kremlin di bawah Presiden Vladimir Putin atas penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi, sekaligus secara ekstensif meliput konflik Ukraina menerima hadiah Nobel Perdamaian, di Oslo, Norwegia, Senin (11/10 2021).

Nobel perdamaian itu pertama kali diberikan kepada jurnalis sejak Carl Von Ossietzky dari Jerman memenanginya karena mengungkap program rahasia persenjataan kembali negaranya pascaperang. Nobel perdamaian diberikan pada 10 Desember 2021, bertepatan dengan peringatan kematian industrialis Swedia, Alfred Nobel. Bersambung. (*)

Penulis adalah aktivis HAM dan advokat muda Papua

Editor: Timoteus Marten 

Related posts

Leave a Reply